Penyakit paru obstruktif kronik | Gudang artikel

Penyakit paru obstruktif kronik

Minggu, 29 Juli 2018

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK/CPOD) adalah suatu penyakit pernafasan kronik yang dikarakteristikkan dengan kehilangan fungsi paru secara bertahap secara progresif. Bercirikan penyumbatan (obstruktif)bronchi disertai pengembangan mukosa  (udema)  dan sekresi dahak  (sputum) berlebihan (Tjay TH dan Rahardja K, 2002). Simptom pada pasien memiliki tipe seperti kronik bronkitis dan emfisema, tapi asma juga termasuk simptom triad klasik (Anonim, 2013).


II.                Patofisiologi
Perubahan patologi pada PPOK terlihat di pernafasan besar (sentral), bronkiolus kecil (periferal), dan jaringan parenkim paru. Kebanyakan penyakit PPOK adalah hasil dari paparan stimulasi yang berbahaya, biasanya asap rokok. Respon inflamasi diperkuat pada pasien yang rentan terhadap perkembangan penyakit. Aktivasi stimulus dari sel inflamasi dan mediator akibat paparan partikel dan gas yang berbahaya melalui inhalasi. Mekanisme patogenik tidak terlihat jelas tetapi kemungkinan banyak beragam. Naiknya jumlah leukosit dan pembebasan makrofag yang tidak dapat dinetralkan oleh antiprotease, mengakibatkan kerusakan paru-paru (Anonim, 2013).
Penyebab utama yang telah ditemukan yaitu elastase leukosit, dengan peran yang sinergis antara proteinase-3 dan makrofag yang berasal dari matrix metalloproteinase (MMPs), proteinase sistein, dan aktivator plasminogen. Selanjutnya, peningkatan stres oksidatif yang terjadi karena radikal bebas didalam asap rokok, oksidan keluar dari pagosit, dan polimorfinuklear leukosit akan menuntun pada apoptosis atau nekrosis dari sel yang terkena (Anonim, 2013).
Usia dan autoimun mempercepat mekansime patogenesis PPOK. Berdasarkan klasifikasinya, PPOK dibagi menjadi dua yaitu :
1.      Bronkitis Kronik
Mukus dan kelenjar hyperplasia adalah tanda histologik dari bronkitis kronis. Perubahan struktur pernafasan seperti atrofi, jarak squamus metaplasia, abnormal ciliary, banyaknya faktor hyperplasia dari otot halus, inflamasi, dan dinding tebal bronkial.
Kerusakan pada respon mucociliary endothelium bersih dari mukus dan bakteri. Inflamasi dan sekret menyediakan komponen obstruktif dari bronkitis kronik. Ada netrofil di lumen pernafasan, dan akumulasi infiltrat neutrofilik yang terakumulasi di sub mukosa. Pernafasan bronkeolus memperlihatkan proses inflamasi mononuclear, dimana adanya kemacetan lumen oleh penyumbatan mukus, metaplasia sel goblet, hiperplasia otot halus, dan distori yang berkaitan dengan fibrosis. Perubahan ini, dikombinasikan dengan hilangnya kelengkapan pendukung alveolar, menyebabkan aliran udara yang sedikit dengan membiarkan kerusakan bentuk dan penyempitan dinding aliran udara pernafasan.
Perbedaan kontras dengan emfisema, kronik bronkitis dihubungkan dengan relatif tidak rusaknya pulmonary capillary bed. Respon tubuh terjadi karena penurunan ventilasi dan kenaikan cardiac output. Hasil ini mengindikasikan hipoksemia dan policytemia karena sirkulasi yang cepat tetapi ventilasi paru-paru kurang baik. Terjadi pula vasokontriksi pada arteri pulmonary. Dengan adanya hipoksemia, policythemia, dan peningkatan retensi CO2, tanda-tanda gagal jantung akan terlihat pada pasien ini dan dikenal dengan sebutan ‘blue bloaters’ (Anonim, 2013).
2.      Emfisema
Emfisema adalah diagnosis patologik yang ditetapkan dari pembesaran permanen ruang udara distal sampai terminal bronkiolus. Hal ini mengindikasikan kemunduran yang dramatis dari permukaan area alveolar yang tersedia untuk pertukaran udara. Kehilangan alveoli menuntun keterbatasan aliran udara oleh 2 mekanisme. Pertama, kehilangan dinding alveolar menghasilkan penurunan elastisitas, yang menyebabkan keterbatasan aliran udara. Kedua, kehilangan struktur dukungan alveolar menyebabkan penyempitan jalan udara, dimana membuat keterbatasan aliran udara lebih lanjut.
Emfisema mempunyai 3 pola morfologi :
a.       Emfisema centriacinar
Yaitu emfisema yang dikarakteristikkan oleh terbatasnya kerusakan fokal ke saluran bronkeolus pernafasan dan bagian sentral dari sel asinus. Emfisema ini disebabkan oleh asap rokok dan biasanya terjadi keparahan di lobus atas.
b.      Panaciar
Emfisema panaciar melibatkan semua distal alveolus sampai ke akhir bronkeolus. Tipe panaciar ini memiliki tingkat keparahan pada zona paru-paru bagian bawah dan umumnya berkembang pada pasien dengan defisiensi alpha 1-antitrypsin (AAT)
c.       Distal acinar
Emfisema distal acinar, atau disebut juga emfisema paraseptal, adalah bentuk paling umum dan melibatkan struktur aliran udara distal, pembuluh alveolus, dan pundi-pundi paru-paru. Bentuk emfisema ini terbatas sampai ke fibrous septa atau sampai pleura dan akan membentuk formasi bullae. Bullae terjadi karena pneumotorax. Emfisema paraseptal tidak termasuk dalam kerusakan aliran udara (Anonim, 2013).
III.             Penatalaksanaan PPOK
Sasaran penatalaksanaan PPOK adalah untuk memperbaiki status fungsional pasien dan kualitas hidupnya dengan mengoptimalkan fungsi paru-paru, mengurangi gejala, dan mencegah keterulangan eksaserbi. Sekarang ini, tidak ada pengobatan terlepas dari transplantasi paru-paru yang memperlihatkan perkembangan fungsi paru-paru yang signifikan atau mengurangi angka kematian. Ketika telah terdiagnosis PPOK, sangat penting untuk mengedukasi pasien tentang penyakit ini dan juga untuk mendorong partisipasinya dalam terapi pengobatan (Anonim, 2013).
Pendekatan penatalaksanaan untuk terapi PPOK seperti yang disusun oleh GOLD (Global initiatif for chronic Obstruction Lung Disease)
a.       Stage 1 (mild obstruction) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza); bronkodilator aksi pendek bila diperlukan
b.      Stage 2 (moderate obstruction) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza), bronkodilator aksi pendek bila diperlukan; bronkodilator aksi panjang; rehabilitasi cardiopulmonory
c.       Stage 3 (severe obstruction) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza); bronkodilator aksi pendek; bronkodilator aksi panjang; rehabilitasi cardiopulmonary; kortikosteroid inhalasi bila terjadi pengulangan eksaserbi
d.      Stage 4 (very severe obstruction or moderate obstruction with evidence of chronic respiratory failure) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza); bronkodilator aksi pendek; bronkodilator aksi panjang; rehabilitasi cardiopulmonary; kortikosteroid inhalasi bila terjadi pengulangan eksaserbi, terapi oksigen yang lama; pertimbangkan untuk operasi pembedahan seperti LVRS dan transplantasi paru-paru (Anonim, 2013).
Pengobatan oral dan inhalasi berfungsi untuk pasien yang penyakitnya stabil untuk mengurangi dispnea dan memperbaiki daya tahan pergerakan tubuh. Kebanyakan pengobatan yang digunakan untuk penyebab potensial yang reversible yang diakibatkan dari kurangnya aliran udara pada status penyakit  yang sebagian besar telah mengalami obstruksi pada kontraksi oto halus bronkus, kongesti dan pembengkakan pada mukosa bronkus, inflamasi jalan udara, dan sekresi aliran udara yng meningkat (Anonim, 2013).
1.      Beta 2 adrenergik agonis aksi singkat
Golongan ini mengaktifkan reseptor beta 2 adrenergik pada permukaan sel otot halus, yang akan menaikkan siklus intraseluler cAMP dan merelaksasi otot halus.obat ini digunakan untuk mengurangi simptomatis dari penyakit PPOK.
Contoh : albuterol
2.      Beta 2 adrenergik agonis aksi panjang
Memiliki cara kerja yang sama tetapi aktif dipakai untuk pasien dengan gejala simptomatis yang persisten.
Contoh : salmeterol
3.      Antikolinergik
Antikolinergik melawan asetilkolin untuk reseptor postganglion muskarinik. Dengan cara tersebut mediator kolinergik terhambat, menghasilkan bronkodilatasi. Obat ini juga mem-blok mediasi yang menyebabkan bronkokontriksi.
Contoh : ipraptropium, Tiotropium
4.      Derivat xantin
Derivat xantin seperti teofilin dapat merelaksasi otot halus bronkus dan pembuluh darah pulmonary. Menghambat fosfodiesterase dimana agen ini dapat meningkatkan cAMP, menyebabkan relaksasi pada otot halus bronkial.
Contoh : aminofilin
5.      Inhibitor 4-fosfodiesterase
Selektif phosphodiesterase-4 (PDE-4) inhibitor mengurangi eksaserbasi, memperbaiki dyspnea, dan meningkatkan fungsi paru-paru pada pasien dengan PPOK berat.
Contoh : roflumilast
6.      Kortikosteroid
Golongan ini bekerja memperbaiki fungsi paru pada akut eksaserbi. Kortikosteroid inhalasi lebih cepat sampai pada rute administrasi jalan nafas, dan seperti obat inhalasi lainnya, sangat sedikit diabsorbsi. Agen ini sangat meguntungkan untuk mengurangi progres untuk pasien PPOK yang mengalami penurunan cepat.
Contoh : prednisone, metilprednisolone, fluticasone inhaled, budesonid inhaled
7.      Antibiotik
Pada pasien PPOK, infeksi kronik atau kolonisasi di saluran nafas bawah  biasanya dari bakteri S pneumoniae, H influenzae, and M catarrhalis. Pemakaian antibiotik ini juga untuk pengobatan suportif eksaserbi.
Contoh : amoksisilin, doksisiklin, kotrimoksazol, azitromicin, klaritromisin(Anonim, 2013).

0 komentar:

Posting Komentar