Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK/CPOD) adalah suatu penyakit pernafasan kronik yang dikarakteristikkan
dengan kehilangan fungsi paru secara bertahap secara progresif. Bercirikan
penyumbatan (obstruktif)bronchi disertai pengembangan mukosa (udema) dan sekresi dahak (sputum) berlebihan (Tjay TH dan
Rahardja K, 2002). Simptom pada pasien memiliki tipe seperti kronik bronkitis
dan emfisema, tapi asma juga termasuk simptom triad klasik (Anonim, 2013).
II.
Patofisiologi
Perubahan patologi pada PPOK
terlihat di pernafasan besar (sentral), bronkiolus kecil (periferal), dan
jaringan parenkim paru. Kebanyakan penyakit PPOK adalah hasil dari paparan
stimulasi yang berbahaya, biasanya asap rokok. Respon inflamasi diperkuat pada
pasien yang rentan terhadap perkembangan penyakit. Aktivasi stimulus dari sel
inflamasi dan mediator akibat paparan partikel dan gas yang berbahaya melalui
inhalasi. Mekanisme patogenik tidak terlihat jelas tetapi kemungkinan banyak
beragam. Naiknya jumlah leukosit dan pembebasan makrofag yang tidak dapat
dinetralkan oleh antiprotease, mengakibatkan kerusakan paru-paru (Anonim, 2013).
Penyebab utama yang telah ditemukan
yaitu elastase leukosit, dengan peran yang sinergis antara proteinase-3 dan
makrofag yang berasal dari matrix metalloproteinase (MMPs), proteinase sistein,
dan aktivator plasminogen. Selanjutnya, peningkatan stres oksidatif yang
terjadi karena radikal bebas didalam asap rokok, oksidan keluar dari pagosit,
dan polimorfinuklear leukosit akan menuntun pada apoptosis atau nekrosis dari
sel yang terkena (Anonim, 2013).
Usia dan autoimun mempercepat
mekansime patogenesis PPOK. Berdasarkan klasifikasinya, PPOK dibagi menjadi dua
yaitu :
1. Bronkitis
Kronik
Mukus dan kelenjar hyperplasia
adalah tanda histologik dari bronkitis kronis. Perubahan struktur pernafasan
seperti atrofi, jarak squamus metaplasia, abnormal ciliary, banyaknya faktor
hyperplasia dari otot halus, inflamasi, dan dinding tebal bronkial.
Kerusakan pada respon mucociliary
endothelium bersih dari mukus dan bakteri. Inflamasi dan sekret menyediakan
komponen obstruktif dari bronkitis kronik. Ada netrofil di lumen pernafasan,
dan akumulasi infiltrat neutrofilik yang terakumulasi di sub mukosa. Pernafasan
bronkeolus memperlihatkan proses inflamasi mononuclear, dimana adanya kemacetan
lumen oleh penyumbatan mukus, metaplasia sel goblet, hiperplasia otot halus,
dan distori yang berkaitan dengan fibrosis. Perubahan ini, dikombinasikan
dengan hilangnya kelengkapan pendukung alveolar, menyebabkan aliran udara yang
sedikit dengan membiarkan kerusakan bentuk dan penyempitan dinding aliran udara
pernafasan.
Perbedaan kontras dengan emfisema, kronik
bronkitis dihubungkan dengan relatif tidak rusaknya pulmonary capillary bed.
Respon tubuh terjadi karena penurunan ventilasi dan kenaikan cardiac output.
Hasil ini mengindikasikan hipoksemia dan policytemia karena sirkulasi yang
cepat tetapi ventilasi paru-paru kurang baik. Terjadi pula vasokontriksi pada arteri
pulmonary. Dengan adanya hipoksemia, policythemia, dan peningkatan retensi CO2,
tanda-tanda gagal jantung akan terlihat pada pasien ini dan dikenal dengan
sebutan ‘blue bloaters’ (Anonim, 2013).
2. Emfisema
Emfisema adalah diagnosis patologik
yang ditetapkan dari pembesaran permanen ruang udara distal sampai terminal
bronkiolus. Hal ini mengindikasikan kemunduran yang dramatis dari permukaan
area alveolar yang tersedia untuk pertukaran udara. Kehilangan alveoli menuntun
keterbatasan aliran udara oleh 2 mekanisme. Pertama, kehilangan dinding
alveolar menghasilkan penurunan elastisitas, yang menyebabkan keterbatasan
aliran udara. Kedua, kehilangan struktur dukungan alveolar menyebabkan
penyempitan jalan udara, dimana membuat keterbatasan aliran udara lebih lanjut.
Emfisema mempunyai 3 pola morfologi :
a. Emfisema
centriacinar
Yaitu emfisema yang
dikarakteristikkan oleh terbatasnya kerusakan fokal ke saluran bronkeolus
pernafasan dan bagian sentral dari sel asinus. Emfisema ini disebabkan oleh
asap rokok dan biasanya terjadi keparahan di lobus atas.
b. Panaciar
Emfisema panaciar melibatkan semua
distal alveolus sampai ke akhir bronkeolus. Tipe panaciar ini memiliki tingkat
keparahan pada zona paru-paru bagian bawah dan umumnya berkembang pada pasien
dengan defisiensi alpha 1-antitrypsin (AAT)
c. Distal
acinar
Emfisema distal acinar, atau
disebut juga emfisema paraseptal, adalah bentuk paling umum dan melibatkan
struktur aliran udara distal, pembuluh alveolus, dan pundi-pundi paru-paru.
Bentuk emfisema ini terbatas sampai ke fibrous septa atau sampai pleura dan
akan membentuk formasi bullae. Bullae terjadi karena pneumotorax. Emfisema
paraseptal tidak termasuk dalam kerusakan aliran udara (Anonim, 2013).
III.
Penatalaksanaan
PPOK
Sasaran penatalaksanaan PPOK adalah
untuk memperbaiki status fungsional pasien dan kualitas hidupnya dengan
mengoptimalkan fungsi paru-paru, mengurangi gejala, dan mencegah keterulangan
eksaserbi. Sekarang ini, tidak ada pengobatan terlepas dari transplantasi
paru-paru yang memperlihatkan perkembangan fungsi paru-paru yang signifikan
atau mengurangi angka kematian. Ketika telah terdiagnosis PPOK, sangat penting
untuk mengedukasi pasien tentang penyakit ini dan juga untuk mendorong
partisipasinya dalam terapi pengobatan (Anonim, 2013).
Pendekatan penatalaksanaan untuk
terapi PPOK seperti yang disusun oleh GOLD (Global initiatif for chronic
Obstruction Lung Disease)
a. Stage
1 (mild obstruction) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza);
bronkodilator aksi pendek bila diperlukan
b. Stage
2 (moderate obstruction) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza),
bronkodilator aksi pendek bila diperlukan; bronkodilator aksi panjang;
rehabilitasi cardiopulmonory
c. Stage
3 (severe obstruction) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza);
bronkodilator aksi pendek; bronkodilator aksi panjang; rehabilitasi
cardiopulmonary; kortikosteroid inhalasi bila terjadi pengulangan eksaserbi
d. Stage
4 (very severe obstruction or moderate obstruction with evidence of chronic
respiratory failure) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza);
bronkodilator aksi pendek; bronkodilator aksi panjang; rehabilitasi
cardiopulmonary; kortikosteroid inhalasi bila terjadi pengulangan eksaserbi,
terapi oksigen yang lama; pertimbangkan untuk operasi pembedahan seperti LVRS
dan transplantasi paru-paru (Anonim, 2013).
Pengobatan oral dan inhalasi
berfungsi untuk pasien yang penyakitnya stabil untuk mengurangi dispnea dan
memperbaiki daya tahan pergerakan tubuh. Kebanyakan pengobatan yang digunakan
untuk penyebab potensial yang reversible yang diakibatkan dari kurangnya aliran
udara pada status penyakit yang sebagian
besar telah mengalami obstruksi pada kontraksi oto halus bronkus, kongesti dan
pembengkakan pada mukosa bronkus, inflamasi jalan udara, dan sekresi aliran
udara yng meningkat (Anonim, 2013).
1. Beta
2 adrenergik agonis aksi singkat
Golongan ini mengaktifkan reseptor
beta 2 adrenergik pada permukaan sel otot halus, yang akan menaikkan siklus
intraseluler cAMP dan merelaksasi otot halus.obat ini digunakan untuk
mengurangi simptomatis dari penyakit PPOK.
Contoh : albuterol
2. Beta
2 adrenergik agonis aksi panjang
Memiliki cara kerja yang sama
tetapi aktif dipakai untuk pasien dengan gejala simptomatis yang persisten.
Contoh : salmeterol
3. Antikolinergik
Antikolinergik melawan asetilkolin
untuk reseptor postganglion muskarinik. Dengan cara tersebut mediator
kolinergik terhambat, menghasilkan bronkodilatasi. Obat ini juga mem-blok
mediasi yang menyebabkan bronkokontriksi.
Contoh : ipraptropium, Tiotropium
4. Derivat
xantin
Derivat xantin seperti teofilin
dapat merelaksasi otot halus bronkus dan pembuluh darah pulmonary. Menghambat
fosfodiesterase dimana agen ini dapat meningkatkan cAMP, menyebabkan relaksasi
pada otot halus bronkial.
Contoh : aminofilin
5. Inhibitor
4-fosfodiesterase
Selektif phosphodiesterase-4
(PDE-4) inhibitor mengurangi eksaserbasi, memperbaiki dyspnea, dan meningkatkan
fungsi paru-paru pada pasien dengan PPOK berat.
Contoh : roflumilast
6. Kortikosteroid
Golongan ini bekerja memperbaiki
fungsi paru pada akut eksaserbi. Kortikosteroid inhalasi lebih cepat sampai
pada rute administrasi jalan nafas, dan seperti obat inhalasi lainnya, sangat
sedikit diabsorbsi. Agen ini sangat meguntungkan untuk mengurangi progres untuk
pasien PPOK yang mengalami penurunan cepat.
Contoh : prednisone,
metilprednisolone, fluticasone inhaled, budesonid inhaled
7. Antibiotik
Pada pasien PPOK, infeksi kronik
atau kolonisasi di saluran nafas bawah biasanya
dari bakteri S pneumoniae, H influenzae, and M catarrhalis. Pemakaian antibiotik ini juga untuk pengobatan
suportif eksaserbi.
Contoh : amoksisilin,
doksisiklin, kotrimoksazol, azitromicin, klaritromisin(Anonim,
2013).
0 komentar:
Posting Komentar