A. Pendahuluan
Kearifan
lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan
masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini,
kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan
alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama,
adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat Wietoler dalam Akbar (2006) yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas
masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini
berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara
turun-temurun. Secara umum, budaya lokal atau
budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang
unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam
pelaksanaan pembangunanan
berkelanjutan oleh adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya
tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali
budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini,
sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat.
Pembelajaran akan lebih bermakna adalah pembelajaran yang menempatkan siswa
sebagai pusat pembelajaran student
centered daripada teacher centered. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suparno
(dalam Darlia 2010: 2)
bahwa belajar bukan sekedar kegiatan pasif menerima materi dari guru, melainkan
proses aktif menggali pengalaman lama, mencari dan menemukan pengalaman baru
serta mengasimilasi dan menghubungkan antara keduanya sehingga membentuk makna.
Makna tercipta dari apa yang siswa lihat, dengar, rasakan, dan alami. Untuk
guru, mengajar adalah kegiatan memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi sendiri pengetahuannya
lewat keterlibatannya dalam kegiatan
pembelajaran. Dengan kata lain, sebagian besar waktu proses pembelajaran
berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa.
Guru
selalu berusaha agar kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dapat dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien. Guru juga
berperan penting dalam perancang strategi pembelajaran. Guru yang professional
hendaknya merancang pembelajaran yang aktif, kreatif, afektif, dan menarik.
Indikator guru yang professional sebagai perancang pembelajaran, yaitu: (1)
menguasai kurikulum dan perangkat pembelajaran, maksudnya guru harus tanggap
dalam penguasaan kurikulum dan perangat pembelajarannya, (2) menguasai materi,
(3) menguasai berbagai macam metode, dan (4) mampu mengelola pembelajaran.
Hal ini
menuntut guru untuk kreatif dalam menentukan strategi pengelolaan pembelajaran
dengan menetapkan model pembelajaran yang efektif dalam mencapai tujuan
pembelajaran.
B. Pembahasan
Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu
kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara umum maka local
wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat
(local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk
sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam
arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai
yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Kearifan
lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan
masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini,
kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan
alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama,
adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang
terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi
dengan lingkungan di sekitarnya.
Secara umum,
budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di
suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku bangsa yang tinggal di
daerah itu. Dalam pelaksanaan pembangunanan
berkelanjutan oleh adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya
tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali
budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini,
sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat.
Pemaknaan terhadap kearifan lokal
dalam dunia pendidikan masih sangat kurang. Ada istilah muatan lokal dalam
struktur kurikulum pendidikan, tetapi pemaknaannya sangat formal karena muatan
lokal kurang mengeksporasi kearifan lokal. Muatan lokal hanya sebatas bahasa
daerah dan tari daerah yang diajarkan kepada siswa. Tantangan dunia pendidikan
sangatlah kompleks. Apalagi jika dikaitkan dengan kemajuan global di bidang
sains dan teknologi, nilai-nilai lokal
mulai memudar dan ditinggalkan. Karena itu eksplorasi terhadap kekayaan luhur
budaya bangsa sangat perlu untuk dilakukan.
Pendidikan bebasis kearifan lokal
adalah pendidikan yang lebih didasarkan kepada pengayaan nilai- nilai cultural.
Pendidikan ini mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi
konkrit yang mereka hadapi sehari-hari. Dengan kata lain model pendidikan
ini mengajak kepada kita semua untuk
selalu dekat dan menjaga keadaan sekitar yang bersifat nilai yang berada di
dalam lokal masayarakat tersebut. Model pendidikan ini bisa diidentifikasi
dengan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Gagasan dan dasar hukum yang melindungi
Gagasan tentang pendidikan berbasis
kearifan lokal ini berawal dari sebuah ungkapan yang disampaikan oleh Jhon Naisbit
(1990) yang kemudian direspon dan dikembangkan oleh sebagian para pakar sosial
dengan ungkapan “thinks globaly acts localy” (berpikir global dan
bertindak lokal). Maksud dari ungkapan tersebut adalah, seseorang bisa
mengambil pengalaman dan pengetahuan apapun, dari suku manapun dan bangsa
manapun, akan tetapi dalam pengaplikasiannya dalam sebuah tindakan ketika
seseorang berada di dalam suatu tempat, maka ia harus menyesuaikan dengan nilai
dan budaya yang ada di tempat tersebut.
Dengan adanya pengetahuan yang bersifat
global, seseorang akan dapat dengan mudah membaca dan mengenali suatu masalah
dan memecahkannya. Maka dari itu seseorang perlu untuk berpengetahuan banyak
agar wawasan menjadi relatif luas. Akan tetapi dalam hal pendidikan pada
umumnya dan belajar mengajar khususnya, seorang pendidik tidak cukup hanya
dengan berpengetahuan banyak dan berwawasan luas, akan tetapi untuk
merefleksikan transfer of knolage
(proses pembelajaran) tersebut juga harus disertai dengan emotion skill (kemampuan emosi) yaitu bagaimana seorang pendidik
harus bisa masuk ke dalam dunia di mana anak didik tersebut berada. Dalam
masalah ini ada satu hal yang perlu diingat yaitu “seorang anak didik yang
datang ke sebuah kelas dalam suatu sekolah tidaklah seperti gelas kososong,
akan tetapi mereka sudah membawa pengetahuan dan kebiasaan- kebiasaan dari
tempat di mana ia tinggal”. Dengan kata lain bahwa lingkungan yang menjadi
tempat tinggal seorang anal didik yang satu, berbeda dengan lingkungan yang
menjadi tempat tinggal anak didik yang lain. Dengan begitu sudah barang tentu
bahwa status sosial dan ekonomi merekapun pasti berbeda- beda. Begitu juga
dalam lokal masyarakat, di dalam sebuah lokal masyarakat yang satu, pasti akan
berbeda dengan lokal masyarakat yang lain. Itulah sebabnya kenapa di Indonesia
ada semboyan “Bineka Tunggal Ika”
yang maksud dari semboyan tersebut adalah walaupun kita berasal dari suku yang
berbeda serta budaya yang berbeda pula, akan tetapi kita memiliki satu kesatuan
yaitu Indonesia.
Dari kata semboyan yang tersebut di atas bisa disimpulkan
bahwa negara Indonesia memang telah mempunyai banyak sekali lokal masyarakat
yang tentunya memiliki keanekaragaman budaya yang berbeda- beda pula. Maka dari
itu sudah barang tentu bahwa negara Indonesia sebenarnya telah memiliki
kekayaan budaya yang pastinya bisa memberi sebuah warna dan corak yang bisa
dikembangkan menjadi sebuah karakter bangsa.
Pendidikan bebasis kearifan lokal sebenarnya adalah
bentuk refleksi dan realisasi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19/ 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu pasal 17 ayat 1 yang menjelaskan
bahwa ”kurikilum tingkat satuan pendidikan SD- SMA, atau bentuk lain yang
sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, sosial
budaya, dan peserta didik”.
2. Tujuan
dan manfaat dari pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal
Tujuan dari pendidikan berbasis
kearifan lokal ialah sesuai dengan nas yang telah termaktub dalam undang-
undang nasional yaitu Undang- undang (UU) No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Sedangkan manfaat dari pendidikan yang berbasis kepada
kearifan lokal antara lain ialah:
a.
Melahirkan generasi- generasi yang kompeten dan bermartabat
b.
Merefleksikan nilai- nilai budaya
c.
Berperan serta dalam membentuk karakter bangsa
d.
Ikut berkontribusi demi terciptanya identitas bangsa
e.
Ikut andil dalam melestarikan budaya bangsa
3. Arti
penting sebuah nilai
Bicara tentang nilai, maka sudah barang
tentu tidak bisa lepas dari sebuah kata integritas, yang apabila dibahas
lebihlanjut, maka integritas tersebut akan menjadi sebuah identitas Akbar, 2000),
yang menyatakan bahwa ternyata kesuksesan seseorang tidak bisa ditentukan
semata-mata hanya Maksud dari nilai tersebut adalah sebuah integritas yangakan
menjadi identitas dalam suatu bangsa. Dengan nilai tersebut maka suatu bangsa
akan menjadi maju dan bermartabat. Begitu juga yang terjadi di dunia
pendidikan. Seorang pengajar, tidak akan pernah bisa lepas dari sebuah kata
sederhana yang disebut nilai. Karena dengan nilai tersebut maka seorang
pengajar akan memiliki sebuah integritas yang pada akhirnya akan menjadi sebuah
identitas, dan dengan identitas tersebut maka seorang pengajar akan memiliki
sebuah kekhasan yang akan membedakan dengan para pengajar yang lain. Di sinilah
biasanya terdapat suatu kecenderungan yang biasa terjadi di kalangan para
pengajar adalah, mereka sering berlomba- lomba dengan metode pengajaran yang
dimiliki dan sudah dipelajarinya. Mereka tidak sadar bahwa sebuah integritas
tidak bisa disederhanakan hanya dengan sebuah kata metode. Dengan kata lain
bisa dikatakan sebagus apapun metode, jika tanpa disertai dengan integritas
yang ada di dalam diri pengajar tersebut maka metode tersebut tidak akan
menjadi efektif.
Cara yang bisa dilakukan oleh seorang pepelaku
pendidikan, baik itu pengajar ataupun peserta didik adalah dengan menggali
berbagi potensi nilai yang ada dalam sebuah lokal masyarakat tersebut. Dari
situlah maka seorang pelaku pendidikan tersebut akan bisa melakukan perubahan
pada dunia pendidikan yang dijalani dan ditekuninya.
4.
Pengenalan identitas lingkungan melalui media pembelajaran
Metode yang bisa digunakan untuk
pengenalan lingkungan dalam pembelajaran yang berbasis pada kearifan lokal
sebenarnya sangatlah vareatif. Untuk siswa SMP- SMA, bagi guru bahasa
Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Jawa, dapat menugaskan para siswa untuk
membuat karangan tentang potensi wisata kota. Bagi guru seni rupa, anda bisa
mengajarkan bagaimana cara menggambar rumah serotongan, limasan dan joglo khas
Jawa. Bagi guru matematika, dapat mengenalkan bentuk-bentuk geometris kepada
para siswa melalui bentuk atap rumah adat. Metoda lain yang dapat dipraktekkan
adalah lewat kegiatan bercerita atau mendongeng, dengan menyertakan gambar,
foto, boneka, iringan musik, miniatur rumah adat, atau barang bawaan guru yang
menarik. Cara semacam ini sangat efektif untuk mendidik siswa di tingkat
Kelompok Bermain, Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar.
5. Kata-
kata bijak yang mengandung motivasi dalam bahasa lokal (Jawa)
Dalam sebuah lokalitas biasanya
memiliki banyak sekali kekayaan budaya yang sifatnya khas dan mengandung nilai
yang tinggi. Beberapa di antaranya adalah beberapa kata mutiara/ kata- kata
bijak yang sedikit- banyak sering dijadikan semboyan dalam aktifitas masyarakat
(Jawa) sehari- hari:
a.
Rame ing Gawe
Sepi ing Pamrih:
Kalimat ini
memiliki arti yang mengandung sebuah perintah atau ajakan. Yaitu ajakan agar
seseorang senantiasa berbuat baik kepada siapapun, tanpa ada pilih kasih.
Setelah berbuat baik seseorang diajak untuk tidak mengharapkan imbalan (pamrih)
sedikitpun dari apa yang telah ia perbuat. Dari ungkapan kata tersebut bisa
dibayangkan, apa yang akan terjadi di Jawa khususnya jika sebagian besar
masyarakatnya bisa memaknai dan mengaplikasikan ungkapan tersebut dalam
kehidupan sehari- hari? Pertanyaan berikutnya adalah apa yang akan terjadi di
negara Indonesia, jika semua pemimpin dan pejabatnya yang berasal dari suku
Jawa bisa memaknai dan mengaplikasikannya dalam aktifitas kepemerintahannya?
Dari ungkapan tersebut sekarang bisa terlihat bahwa sebenarnya nilai dari
sebuah budaya lokal adalah sesuatu yang hebat.
b. Ing Ngarsa Sung Tulada, ing Madya Mangun
Karsa, Tutwuri Handayani: kalimat ini adalah sebuah ajakan agar seseorang bisa menyesiaikan dengan kondisi
dan posisinya masing- masing. Apabila ia menjadi seorang pimpinan maka ia mampu
menjadi suri teladan yang baik, apabila ia berposisi menjadi seorang penggerak
(mentri/ pejabat tinggi) maka ia mampu memelihara kualitas kinerjanya, dan
apabila ia menjadi seorang pejabat/ pegawai/ aparat perintah dan sebagainya
maka ia sanggup menjaga dedikasi (memberi kekuatan/ dukungan).
c. Becik Ketitik Ala Ketara:
Kalimat ini memberi inspirasi kepada
siapa saja, bahwa pada akhirnya seseorang akan menuai apa yang telah
ditanamnya. Dengan begitu tidak ada alasan bagi seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan yang buruk, karena pada akhirnya sudah pasti orang tersebut tidak
akan bisa mendapatkan kebahagiaan.
Dari tiga ungkapan kata bijak di atas
sekiranya cukup untuk menjadikan sedikit gambaran bahwa, betapa luhur potensi
nilai yang terkandung dalam lokal masyarakat Indonesia. Dari beberapa gambaran
di atas hanyalah sedikit contoh yang diambil dari satu lokal masyarakat yang
ada di Indonesia yaitu Jawa, padahal masih banyak lagi suku- suku lain yang ada
di Indonesia, yang tentunya dalam tiap- tiap satu lokal sudah pasti memiliki
ciri khas sendiri- sendiri. Seperti suku Batak yang kental dengan
keterbukaannya, Jawa yang nyaris identik dengan kehalusannya, dan suku Madura
yang menjunjung tinggi nilai- nilai harga diri.. Berdasarkan fenomena yang
terjadi di negara Indonesia saat ini, sudah barang tentu jika semua warga dari
seluruh lapisan masyarakat Indonesia merasa prihatin dan bersedih hati. Begitu
juga dengan dunia pendidikan, sekiranya sudah saatnya untuk menjadi pasukan
garda depan dalam misi menciptakan negara Indonesia yang besar dan berkarakter.
Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan
kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan kita secara luas adalah bagian dari
upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Budaya
nusantara yang plural dan dinamis merupakan sumber kearifan lokal yang tidak akan mati, karena semuanya
merupakan kenyataan hidup (living reality) yang
tidak dapat dihindari.
C. Kesimpulan
Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali
keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan
kita secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita
sebagai sebuah bangsa. Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan sesuatu
yang benar dan yang salah tetapi pendidikan karakter juga menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham
(kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai
yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor).