Desember 2015 | Gudang artikel

IFRS untuk Persediaan: Principle Based vs Rule Based

Minggu, 06 Desember 2015


IFRS untuk Persediaan: Principle Based vs Rule Based

Akuntansi persediaan menjadi perhatian utama pada sebagian besar perusahaan, terutama perusahaan dagang dan perusahaan manufaktur, karena pengaruhnya yang cukup signifikan atas laporan rugi laba, yaitu dalam bentuk kos penjualan, dan juga atas laporan posisi keuangan (neraca). Menurut IAS 2, persediaan didefinisikan sebagai berikut:
Inventories are assets: (a) held for sale in the ordinary course of business; (b) in the process of production for such sale; or (c) in the form of materials or supplies to be consumed in the production process or in the rendering of services.
Definisi persediaan menurut IAS 2 tersebut di atas tidak berbeda dengan definisi persediaan menurut US GAAP, sebagaimana dikutip oleh Kieso (2007) sebagai berikut:
Inventories are asset items held for sale in the ordinary course of business or goods that will be used or consumed in the production of goods to be sold.
Kompleksitas akuntansi persediaan disebabkan oleh beberapa faktor seperti tingkat volume perputaran persediaan, ragam alternatif pengukuran arus kos yang dapat diterima, dan klasifikasi persediaan.  Pertanyaan mendasar dalam akuntansi persediaan adalah:
1.    Kapan item persediaan bisa diakuli dan dilaporkan sebagai persediaan?
2.    Kos atau pengeluaran apa saja yang dapat dimasukkan sebagi kos dari persediaan?
3.    Asumsi arus kos yang mana yang boleh digunakan untuk mengukur kos persediaan?
4.    Berdasarkan nilai apa persediaan harus dilaporkan (net realizable value)?
Secara umum dalam merumuskan standard akuntansi, IFRS dikatakan menggunakan principles-based sedangkan US GAAP menggunakan rules-based. Benarkah demikian untuk kasus standard akuntansi persediaan?  
PEMBAHASAN
Konsep Dasar Pengukuran Kos Persediaan
Sebelum tahun 2005 IAS 2 membolehkan penggunaan tiga alternatif pengukuran kos persediaan, yaitu metode FIFO dan  Rata-rata Tertimbang yang oleh IAS 2 disebut sebagai ?benchmark treatments?, serta satu lagi metode yang oleh IAS 2 disebut sebagai ?allowed alternative treatments? yaitu metode LIFO. Namun efektif mulai  1 Januari 2005 IFRS tidak membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kos yang berlaku tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang. Pembatasan penggunakan metode akuntansi semacam ini merupakan indikasi bahwa IFRS pada dasarnya tidak sepenuhnya menggunakan principles-based, bahkan dalam kasus akuntansi persediaan menjadi lebih rules-based dibanding US GAAP.
Pada dasarnya metode LIFO telah lama digunakan di US dalam yurisdiksi tertentu, sebagai contoh di US metode ini telah lama digunakan untuk memenuhi  kepentingan pemenuhan pajak, yaitu karena pengalaman yang cukup panjang terjadinya kecenderungan kenaikan harga, sehingga untuk kepentingan pajak metode LIFO dianjurkan untuk digunakan agar menghasilkan pelaporan laba dan pembayaran pajak yang lebih kecil. Dalam kasus ini FASB menghadapi kendala yang cukup berat bahkan tidak mungkin bisa melakukan konvergensi dengan IFRS, kecuali undang-undang pajak di US juga diubah menjadi tidak membolehkan penggunaan metode LIFO. Namun demikian jika undang-undang pajak diubah jelas akan memberikan dampak sangat tidak menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di US.  Di sisi lain, SIC (the Standing Interpretations Committee), yaitu komite yang bertugas untuk menginterpretasikan IFRS, menyatakan bahwa perusahaan harus menggunakan formula kos yang sama untuk seluruh persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang sama, perbedaan lokasi geografis persediaan tidak bisa digunakan sebagai pembolehan penggunaan formula kos yang berbeda. Sama dengan paragraf sebelumnya, Uraian dalam paragraf ini mengindikasikan bahwa IFRS lebih condong ke rules-based dibanding ke principles-based.
Sebagaimana halnya US GAAP, IFRS juga mengharuskan penggunaan metode akuntansi secara konsisten, kecuali perubahan metode pengukuran kos tersebut dipandang memenuhi kriteria IAS 8. Namun demikian untuk persediaan yang memiliki sifat dan fungsi yang berbeda dimungkinkan untuk menggunakan metode pengukuran kos yang berbeda, tetapi jika sifat dan fungsinya sama, meskipun lokasi geografisnya berbeda, pengukuran kos persediaan tetap harus menggunakan metode yang sama. Untuk persediaan yang perputarannya rendah, serta disediakan dan dipisahkan untuk proyek-proyek tertentu, dimungkinkan untuk menggunakan metode identifikasi khusus dalam pengukuran kosnya.  Dalam hal penilaian persediaan, IFRS (IAS2) menetapkan bahwa the lower of cost and net realizable value harus digunakan sebagai basis penilaian persediaan.
Metode pengukuran kos dan penilaian persediaan sebagaimana diatur dan ditetapkan dalam IFRS adalah metode-metode yang selama ini sudah dikenal dan diterapkan dalam US GAAP.  Sehingga perbedaan mendasar akuntansi persediaan antara IFRS dan US GAAP adalah pada alternatif metode yang diperkenankan untuk diterapkan.  IFRS lebih membatasi penggunakan alternatif metode akuntansi yang boleh digunakan, sedangkan US GAAP memberi  keleluasaan lebih luas dalam memilih alternatif akuntansi persediaan yang akan diterapkan, sesuai dengan situasi dan keadaan yang dihadapi oleh masing-masing perusahaan, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk kasus standard akuntansi persediaan, fakta yang terjadi justru sebaliknya, yaitu IFRS justru lebih condong ke rules-based sedangkan US GAAP justru lebih condong ke principles-based.
Kepemilikan Persediaan

Tidak ada perbedaan tentang standard pengakuan persediaan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya menyatakan bahwa persediaan hanya akan diakui sebagai aset perusahaan atau mudahnya diakui sebagai persediaan pada saat persediaan tersebut telah menjadi sumber ekonomi bagi perusahaan, atau secara hukum telah menjadi hak milik perusahaan. Secara umum, perusahaan harus mencatat adanya pembelian atau penjualan persediaan pada saat secara legal telah terjadi perpindahan kepemilikan persediaan.  Baik IFRS maupun  US GAAP menyatakan pentingnya ketepatan cut-off transaksi persediaan pada akhir periode akuntansi untuk menjamin ketepatan pengukuran kinerja operasional perusahaan selama satu periode, sehingga untuk kepentingan pelaporan persediaan dan kos penjualan dalam laporan keuangan diperlukan ketepatan penentuan transfer kepemilikan atas persediaan.
Kesalahan umum yang banyak terjadi, yang sama-sama menjadi topik utama kajian akuntansi persediaan, baik pada akuntansi persediaan berdasarkan IFRS maupun berdasarkan US GAAP adalah adanya anggapan atau pemahaman bahwa yang dimaksud dengan persediaan adalah seluruh persediaan yang ada di tangan, sementara secara legal persediaan yang ada ditangan belum tentu milik perusahaan dan sebaliknya persediaan yang tidak ditangan tidak selalu berarti tidak dimiliki oleh perusahaan, misalnya dalam kasus barang konsinyasi atau barang komisi.
Baik kajian akuntansi berdasarkan IFRS maupun berdasarkan US GAAP menyadari adanya empat hal yang bisa menimbulkan ketidaktepatan pelaporan persediaan, yaitu: (1) persediaan dalam perjalanan dengan syarat FOB destination atau FOB shipping point, (2) penjualan konsinyasi, (3) pembelian persediaan dengan skema pendanaan tertentu (product financing arrangements), dan (4) penjualan dengan hak istimewa untuk pengembalian barang (sales with generous or unusual right of return). Tidak ada perbedaan standard akuntansi  antara IFRS dan US GAAP untuk akuntansi atas empat kemungkinan kasus pembelian dan penjualan persediaan seperti tersebut di atas.
Dalam hal product financing arrangements, IAS 18 dan FAS 49 (accounting for product financing) sama-sama menyatakan bahwa substansi transaksi sama dengan peminjaman uang. Untuk kasus sales with generous or unusual right of return, baik IAS 18 maupun FAS 48 (revenue recognition when right of return exists) sama-sama menyatakan bahwa pendapatan akan diakui pada saat jumlah retur penjualan dapat diestimasi dengan memadai. Dapat disimpulkan bahwa ketentuan standard akuntansi untuk kepemilikan persediaan, baik IFRS maupun US GAAP sama-sama menekankan pada kejelasan aturan akuntansi dengan mengacu pada substansi transaksi, sehingga bisa dikatakan bahwa kedua standard sama-sama menggunakan basis aturan atau rules-based, atau jika sudut pandangnya ditekankan pada substansi transaksi, dapat dikatakan bahwa keduanya sama-sama menggunakan basis prinsip atau principles-based.

Penilaian Persediaan
IAS 2 mendiskripsikan bahwa basis utama akuntansi persediaan adalah kos, dan kos didefinisikan sebagai jumlah kos pembelian atau kos konversi, termasuk kos lain untuk membuat persediaan ada di lokasi perusahaan dan dalam kondisi seperti pada saat pelaporan persediaan.  Dikatakan bahwa kos atas pembelian persediaan mencakup harga beli, biaya angkut, asuransi, dan biaya penanganan persediaan (handling costs). Potongan tunai, rabat, dan jenis-jenis potongan  pembelian lain jika ada harus dikurangkan ke kos persediaan.  Dapat disimpulkan bahwa sampai dengan titik ini, tidak ada perbedaan kententuan pengukuran kos persediaan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya membuat aturan yang boleh dikatakan sama persis, karena memang untuk kasus kos perolehan persediaan tidak ada ruang untuk penerapan konsep principles-based, sehingga mau tidak mau harus menggunakan konsep rules-based.
            Untuk kasus persediaan yang memerlukan proses produksi cukup lama, IAS 23 mengatur bahwa bagian dari biaya pendanaan (borrowing costs) harus diperlakukan sebagai bagian dari kos persediaan. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa  IFRS justru sangat mengatur tentang bagaimana biaya pendanaan harus diperlakukan, atau justru menggunakan rules-based  dan bukannya menggunakan principles-based. Semestinya jika konsisten menggunakan principles-based,  financing costs untuk keperluan proses produksi yang panjang semacam ini tetap diperlakukan sebagai period costs dan bukannya diperlakukan sebagai production costs, karena jika manajemen memutuskan untuk tidak menggunakan dana luar dalam proses produksinya, maka financing costs tidak akan pernah terjadi.
Dalam IAS 23 selanjutnya dikatakan bahwa biaya pendanaan ?biasanya? tidak dikapitalisasi sebagai kos persediaan untuk kasus persediaan yang diperoleh dalam keadaan siap untuk dijual.
IAS 2 menyebutkan bahwa kos konversi untuk proses produksi persediaan mencakup seluruh kos yang berhubungan langsung dengan proses produksi persediaan, seperti biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead. Alokasi biaya overhead harus dilakukan secara sistematis dan rasional, dan dalam kasus biaya overhead tetap, yaitu yang jumlahnya tidak berubah-ubah menyesuaikan dengan volume produksi, alokasi harus dilakukan berdasarkan tingkat produksi normal. Dalam periode tingkat produksi turun secara tidak normal, sebagian dari biaya overhead tetap harus dibebankan langsung ke periode terjadinya biaya, atau dengan kata lain harus diperlakukan sebagai biaya periode (period costs), dan tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kos persediaan.  Dalam kasus standard pengukuran kos produksi ini, sekali lagi dapat dirasakan bahwa IFRS membuat aturan dengan cukup jelas tetang bagaimana pengukuran kos produksi harus dilakukan, sama sekali tidak berbeda dengan standard pengukuran kos produksi versi US GAAP, sehingga dapat disimpulkan baik IFRS maupun US GAAP tetap menggunakan konsep rules-based, dan bukannya menggunakan konsep principles-based. Berdasarkan paparan dalam paragraf ini, sama sekali tidak ada alasan untuk bisa mengatakan IFRS menggunakan principles-based dan US GAAP menggunakan konsep  rules-based.
            Kos produksi selain bahan baku dan biaya konversi (biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead) hanya akan dibebankan sebagai bagian dari kos persediaan pada saat biaya tersebut dipandang sangat diperlukan untuk membuat persediaan dalam kondisi siap untuk dijual atau dilaporkan dalam laporan keuangan.  Contoh biaya semacam ini adalah biaya perancangan produk dan biaya persiapan produksi untuk memenuhi kepuasan sekelompok pelanggan tertentu. Di sisi lain, seluruh biaya riset dan pengembangan produk, berdasarkan IAS 38, tidak boleh diperlakukan sebagai bagian dari kos persediaan.  Kos lain yang juga tidak perperbolehkan diperlakukan sebagai bagian dari kos persediaan adalah biaya administrasi dan biaya penjualan atas persediaan, kos sisa bahan-bahan produksi, serta kos penggudangan persediaan. Kos lain yang harus dimasukkan sebagai bagian dari kos overhead, dan oleh karenanya diperlakukan sebagai bagian dari kos persediaan adalah biaya perbaikan dan pemeliharaan mesin, biaya peralatan produksi, biaya sewa peralatan produksi, biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya gaji pengawas produksi, kos bahan-bahan produksi tidak langsung, biaya pengendalian dan pengawasan kualitas produk, dan kos atas peralatan kecil yang tidak dikapitalisasi. Ketentuan dalam IFRS atas biaya produksi selain kos bahan baku dan kos konversi, yang diuraikan dalam paragraf ini, juga memperjelas fakta bahwa untuk kasus ini IFRS tidak menggunakan principles-based, tetapi menggunakan rules-based sebagaimana yang terjadi pada US GAAP.
Joint Products dan By-Products
Dalam beberapa kasus proses produksi, perusahaan memproduksi lebih dari satu jenis produk secara bersamaan. Jika masing-masing jenis produk memiliki nilai yang cukup signifikan, produk tersebut dinamakan sebagai joint products atau produk bersama, jika hanya salah satu produk yang memiliki nilai signifikan, maka produk lain dinamakan sebagai by-produks atau produk sampingan.  Dalam IAS 2, pada saat kos dari masing-masing produk dalam produk bersama sulit diidentifikasi, maka diperlukan alokasi kos produksi secara rasional ke masing-masing jenis produk. Biasanya, alokasi dilakukan berdasarkan pada nilai relatif dari masing-masing jenis produk, yaitu yang diukur berdasarkan harga jual masing-masing jenis produk.  By-products didefinisikan sebagai produk yang memiliki nilai relatif tidak signifikan dibanding nilai dari produk utama perusahaan. IAS 2 menganjurkan bahwa by-products dinilai berdasarkan nilai bersih yang dapat direalisasi (net realizable value), selanjutnya kos yang dialokasikan ke by-products dikurangkan terhadap keseluruhan kos produksi.  Dalam kasus pengukuran kos untuk joint products dan by-products, IFRS mendiskripsikan dengan sangat jelas tentang bagaimana standard akuntansinya, dan dalam hal ini standard akuntansi yang ditawarkan oleh IFRS juga tidak berbeda dengan standard akuntansi versi US GAAP, sehingga dalam kasus inipun tidak bisa dikatakan bahwa IFRS menggunakan konsep principles-based dan US GAAP menggunakan konsep rules-based, tetapi akan lebih tepat dikatakan bahwa baik IFRS maupun US GAAP sama-sama menggunakan konsep rules-based.

Direct Costing
Metode yang telah diterima secara umum dalam mengalokasikan kos overhead tetap ke dalam persediaan akhir dan kos penjualan dikenal dengan nama (full) absorption costing. Dalam kasus ini IAS 2 mengharuskan penerapan metode ini.  Namung demikian untuk keperluan keputusan manajerial perusahaan bisa menerapkan alternatif dari absorption costing, yaitu variable costing atau direct costing. Dalam direct costing kos persediaan hanya terdiri dari kos langsung saja, yaitu terdiri dari kos bahan baku, kos tenaga kerja langsung, dan kos overhead variabel, selanjutnya seluruh kos tetap diperlakukan sebagai kos periode (period costs). Alasan utama penggunakan direct costing adalah agar kontribusi marjinal (marginal contribution) untuk masing-masing jenis produk bisa kelihatan jelas efek linieritasnya, sehingga memudahkan proses perencanaan dan pengendalian bisnis.  Namun demikian, penggunakan direct costing mengakibatkan kos persediaan tidak mencakup seluruh kos yang diperlukan untuk memproduksi persediaan, sehingga direct costing dipandang sebagai metode yang tidak sesuai dengan IAS 2, sehingga jika perusahaan secara interen menggunakan direct costing maka untuk keperluan pelaporan keuangan harus membuat penyesuaian untuk membuat kos persediaan sesuai dengan IFRS yang menganjurkan penggunakan absorption costing. Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus direct costing, IFRS tidak menggunakan konsep principles-based melainkan sama persis dengan US GAAP yang menggunakan konsep rules-based.

Pengukuran Kos Persediaan Dengan Metode Identifikasi Khusus
Basis teoritis penilaian persediaan dan kos penjualan adalah berdasarkan kos produksi atau kos peroleh yang melekat pada barang yang masih ada dalam persediaan atau barang yang sudah terjual, dan jika teori ini benar-benar diterapkan maka dikatakan bahwa penilaian persediaan menggunakan metode identifikasi khusus. Namun demikian, secara umum praktik penilaian persediaan semcam ini dipandang tidak praktis, bahkan tidak bisa dioprasionalkan dalam tataran praktik, karena biasanya setiap produk akan kehilangan identitas spesifiknya pada saat produk tersebut telah melewati proses produksi dan proses penjualan, kecuali untuk persediaan-persediaan yang memiliki nilai sangat tinggi dan perputarannya sangat rendah. IAS 2 menetapkan bahwa metode identifikasi khusus harus diterapkan atas persediaan yang tidak saling menggantikan (interchangeable) serta atas barang  yang dibuat dan dipisahkan untuk memenuhi projek tertentu. Untuk persediaan yang memenuhi kreteria semacam ini penggunaan metode identifikasi khusus menjadi keharusan (mandatory) dan alternatif metode penilaian persediaan yang lain tidak diperkenankan untuk diterapkan.  US GAAP tidak mengharuskan penerapan metode penilaian persediaan tertentu, tetapi hanya menyodorkan alternatif metode penilaian, yang menjadi keharusan hanyalah konsistensi dalam menggunakan metode akuntansi yang dipilih untuk diterapkan. Melihat fakta semacam ini, dapat dikatakan bahwa untuk kasus semacam ini US GAAP lebih princile-based dibanding IFRS.
Firs-In, First-Out (FIFO) dan Weighted-Average Cost
Metode penilaian persediaan lain  yang diperkenankan oleh IFRS adalah metode FIFO dan metode rata-rata tertimbang (weighted-average method). Dalam metode FIFO diasumsikan bahwa barang yang pertama dibeli akan menjadi barang yang pertama digunakan atau barang yang pertama dijual, tanpa memperhatikan aliran fisik persediaan yang sesungguhnya. Metode ini dipandang paralel atau paling tidak lebih dekat dengan aliran fisik persediaan pada perusahaan-perusahaan yang memiliki persediaan dengan tingkat perputaran persediaan sedang hingga tinggi. Kekuatan metode ini adalah pada pelaporan persediaan dalam laporan posisi keuangan (neraca), karena persediaan yang pertama dibeli diasumsikan sebagai persediaan yang pertama dijual, maka saldo persediaan akan terdiri dari persediaan yang terakhir dibeli, sehingga pelaporan persediaan menjadi semakin dekat dengan tujuan pelaporan aset sebesar nilai wajarnya.  Dalam metode rata-rata tertimbang, kos persediaan akhir ditentukan sebesar rata-rata kos persediaan selama satu periode. Meskipun dalam metode rata-rata kos persediaan bisa terdistorsi oleh perubahan tingkat harga persediaan, tetapi metode persediaan ini dalam kasus-kasus tertentu cukup praktis untuk diterapkan.  Untuk kasus metode FIFO dan metode rata-rata tertimbang tidak ada perbedaan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya membuat aturan dan ketentuan yang sama.
Net Realizable Value
IAS 2 mendefinisikan Net Realizable Value sebagai berikut:
Net realizable value is the estimated selling price in the ordinary course of business less the estimated costs of completion and the estimated costs necessary to make the sale.
Definisi tersebut sama definisi batas bawah (floor) pada penilaian persediaan dengan metode COMWIL  atau LCM yang ditawarkan pada akauntansi persediaan berbasis US GAAP.  Ketentuan ini didasarkan pada dua basis pertimbangan, yaitu pertama  persediaan tidak boleh dilaporkan di atas nilai bersih yang dapat direalisasi (net realizable value), dan kedua penurunan nilai persediaan harus dilaporkan pada periode terjadinya penurunan nilai persediaan untuk ketepatan penandingan dengan pendapatan pada periode yang bersangkutan.
IAS 2 menyatakan bahwa estimasi net realizable value harus diterapan untuk setiap jenis persediaan atau item demi item, kecuali terdapat sekelompok persediaan yang sejenis dan dapat dinilai secara tepat per kelompok jenis persediaan. Sebagai pedoman umum, penilaian harus dilakukan untuk setiap jenis persediaan untuk mencegah kemungikan terjadinya kompensasi unrealized gain dengan unrealized loss kelompok persediaan lain, sehingga menurunkan jumlah rugi yang harus diakui, hal ini penting untuk diperhatikan mengingat IFRS melarang pengakuan unrealized gain pada laporan rugi-laba. Dikatakan bahwa evaluasi penurunan nilai persediaan yang dilakukan atas sekelompok persediaan, tidak atas item per item persediaan, adalah merupakan mekanisme tidak langsung atau ?backdoor mechanism?  untuk mengakui unrealized gain yang seharusnya tidak diakui, sehingga perlu ditegaskan bahwa tuntutan dasar evaluasi penurunan nilai persediaan adalah diterapkan atas item demi item persediaan. Paparan dalam dua paragraf di atas menegaskan bahwa IAS 2 sangat mengatur penerapan net realizable value, yaitu harus diterapkan item demi item demi untuk mencegah potensi pengakuan unrealized gain secara tidak langsung, di sisi lain US GAAP tidak mengatur hingga sedetil ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa IFRS ternyata justru lebih condong ke rules-based dan bukannya berbasis pada konsep principles-based.
            Recoveries of previously recognized losses. Untuk kasus terjadinya kenaikan kembali nilai persediaan, IAS 2 mendeskripsikan bahwa pengukuran net realizable value harus dilakukan pada setiap periode pelaporan keuangan, dan pada saat tidak terdapat lagi fakta adanya penurunan nilai persediaan, misalnya karena nilai persediaan mengalami kenaikan kembali, maka penurunan nilai persediaan harus dibatalkan dengan membuat jurnal koreksi, dan karena penurunan nilai persediaan telah dimasukkan ke dalam laporan rugi-laba, maka jurnal koreksi atas penurunan nilai persediaan juga harus direfleksikan dalam laporan rugi-laba. Juga ditegaskan bahwa jurnal koreksi atau recovery hanya diperkenankan maksimum sebesar penurunan nilai yang telah diakui pada periode sebelumnya. Dalam kasus ini perbedaannya dengan US GAAP adalah bahwa dalam US GAAP penurunan nilai persediaan yang telah diakui pada periode sebelumnya tidak boleh ditutup dengan kenaikan nilai pada periode berikutnya.  Dari sudut pandang istilah konsep principles-based dan ruled-based, ternyata untuk kasus inipun keduanya lebih bisa dikatakan sama-sama menggunakan ruled-based.

Metode Harga Eceran (Retail Method)
IAS 2 menjelaskan bahwa metode harga eceran mungkin diterapkan pada kelompok industri tertentu. Metode harga eceran konvensional digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang menjual barangnya secara eceran untuk mengestimasi kos persediaan akhir. Metode harga eceran dapat diterapkan pada metode pengukuran kos FIFO, rata-rata tertimbang, atau pada metode the lower of cost or net realizable value (LCNRV). Kunci utama metode harga eceran adalah pada penentuan rasio kos atas harga eceran (cost-to-retail ratio). Perhitungan rasio bisa bervariasi sesuai dengan asumsi arus kos yang digunakan, yaitu FIFO atau rata-rata tertimbang. Metode perhitungan rasio kos atas harga eceran dapat diterapkan dengan berbagai kemungkinan sebagai berikut:
1.    FIFO cost
2.    FIFO ? menggunakan LCNRV
3.    Average cost
4.    Average cost ? menggunakan LCNRV
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hal persediaan dinilai dengan metode harga eceran (retail method), tidak ada perbedaan teknis perhitungan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya mengatur teknis perhitungan kos persediaan dengan cara yang sama, sehingga untuk kasus ini dapat dikatakan IFRS dan US GAAP menggunakan konsep rules-based atau bisa juga dikatakan menggunakan konsep principles-based dari sisi keleluasaan pemilihan alternatif metode.
Gross Profit Method
Metode lain yang juga dikenal dalam IFRS adalah metode laba bruto (gross profit method), metode ini secara konsep tidak berbeda dengan metode harga eceran, fungsinya adalah untuk menentukan nilai persediaan akhir berdasarkan rasio kos atas harga jual, terutama pada saat perusahaan dalam posisi tidak memungkinkan untuk melakukan perhitungan fisik persediaan, atau pada saat perhitungan fisik persediaan dipandang tidak layak untuk diterapkan. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kewajaran (reasonableness) jumlah dan nilai persediaan akhir. Dalam hal teknis penerapan metode ini, dapat disimpulkan pula bahwa tidak ada perbedaan antara IFRS dengan US GAAP.
Fair Value as an Inventory Costing Method
Secara umum persediaan dilaporkan sebesar kos-nya, namun demikian sebagaimana telah dideskripsikan dalam berbagai metode penilaian persediaan di atas, kos persediaan kemungkinan harus dipastikan kelayakannya dengan menggunakan berbagai metode penilaian sebagaimana  dideskripsikan dalam IAS 2, dan pada saat jumlah nilai persediaan (recoverable amounts) tidak sama dengan kos persediaan (dalam hal ini lebih rendah dari kos), maka perlu dilakukan penghapusan atas kos persediaan untuk merefleksikan adanya penurunan nilai (impairment) persediaan.
Namun demikian untuk lingkungan industri tertentu dimungkinkan untuk melaporkan persediaan sebesar fair value di atas kos produksi atau kos perolehan persediaan. IAS 41 menyatakan bahwa untuk produk-produk pertanian dapat dilaporkan berdasarkan fair value-nya, selanjutnya IAS 41 juga mendeskripsikan bahwa seluruh aset biologis harus dinilai berdasarkan fair value dikurangi taksiran biaya penjualan, kecuali pada saat fair value tidak bisa diukur dengan memadai. Produk-produk pertanian dinilai berdasarkan fair value pada saat penen dikurangi dengan taksiran biaya penjualan. Ketentuan tentang penggunaan fair value dalam penilaian persediaan, sampai sejauh ini juga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan signifikan antara IFRS dengan US GAAP.
PENUTUP
Persediaan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap laporan keuangan, karena esensi dari kegiatan bisnis, terutama perusahaan dagang dan perusahaan manufaktur, adalah melakukan jual beli persediaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa volume transaksi dan volume saldo persediaan secara umum jumlahnya akan signifikan terhadap laporan keuangan. Kesalahan akuntansi atas persediaan secara otomatis akan berakibat ganda, yaitu mempengaruhi laporan posisi keuangan (neraca) dan sekaligus mempengaruhi laporan rugi-laba, karena jumlah persediaan dalam neraca akan menentukan jumlah kos penjualan pada laporan rugi-laba.
IFRS dan US GAAP adalah dua mainstream standar akuntansi yang mempengaruhi praktik akuntansi secara internasional, yang dalam banyak hal memiliki perbedaan standard akuntansi yang cukup signifikan, yang secara umum dikatakan bahwa standard akuntansi IFRS bersifat ?principles-based? sedangkan US GAAP bersifat ?rules-based?. Principles-based mengandung makna bahwa standard akuntansi tidak bersifat ketat atau rigid, melainkan hanya memberikan prinsip-prinsip umum standard akuntansi yang harus diikuti untuk memastikan pencapaian kualitas informasi tertentu, misalnya relevan, dapat diperbandingkan, dan objektif.  Sedangkan rules-based mengandung makna bahwa untuk mencapai kualitas informasi tertentu, misalnya relevan, dapat diperbandingkan, dan objektif,  standard akuntansi harus bersifat ketat atau rigid.  Namun demikian, untuk kasus standard akuntansi persediaan, berdasarkan kajian standard akuntansi IFRS dan US GAAP sebagaimana dipaparkan dalam artikel ini, tidak ditemukan adanya fakta pendukung yang dapat digunakan untuk mendukung pernyataan bahwa IFRS bersifat principles-based sedangkan US GAAP bersifat rules-based. Bahkan dalam beberapa hal IFRS justru lebih mengatur atau lebih bersifat rules-based dibanding US GAAP.

IFRS tantangan Praktek Dunia Akuntansi

Sabtu, 05 Desember 2015


IFRS, THE BIG CHALLENGE IN ACCOUNTING PRACTICES


Akuntansi memiliki posisi yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, bahkan dalam pembangungan ekonomi global. Fakta menunjukkan bahwa pada saat ini tidak ada satu negarapun yang mampu menjalankan roda perekonomiannya dengan tanpa melibatkan negara lain, bahkan dari waktu ke waktu tingkat ketergantungan ekonomi antar negara cenderung semakin meningkat. Kemajuan ekonomi suatu negara, sangat dipengaruhi oleh kemampuan negara yang bersangkutan dalam melakukan interaksi ekonomi dengan negara lain, baik dalam bentuk relokasi kegiatan produksi, penyebaran kegiatan produksi, penciptaan daya tarik investasi, perluasan pasar industri, maupun  dalam bentuk-bentuk kreativitas ekonomi yang lain.
Akuntansi sebagai alat untuk mengendalikan, mengukur, dan mengevaluasi kinerja kegiatan ekonomi suatu organisasi, kinerja pelaksanaan suatu proyek investasi, dan bahkan kinerja ekonomi nasional, telah menjadi tumpuhan harapan bagi semua pelaku ekonomi untuk kepentingan perencanaan dan keputusan bisnis yang harus dilakukannya dengan tingkat kecermatan dan ketepatan yang tinggi. Namun demikian pada saat ini informasi akuntansi belum mampu menjawab tuntutan glogal para pelaku ekonomi dan bisnis, karena akuntansi masih dipraktikkan sesuai dengan standar yang berlaku pada masing-masing negara, sebagai akibatnya, informasi akuntansi tidak memiliki daya banding yang kuat pada level internasional. Fakta semacam ini telah membuat kegiatan investasi atau bisnis lintas negara atau yang berskala internasional tidak bisa memanfaatkan informasi akuntansi secara optimal.
IFRS (International Financial Reporting Standards) adalah standar pelaporan keuangan yang dikembangkan untuk mengatasi ketidakseragaman standar akuntansi yang berlaku pada masing-masing negara. Dengan mengadopsi IFRS diharapkan akuntansi akan mampu memberikan informasi yang lebih bernilai serta memiliki daya banding berskala internasional atau berskala global. Dua pihak yang paling berkepentingan terhadap praktik akuntansi, yaitu dunia pendidikan dan dunia bisnis, dituntut untuk mampu memahami dan mengimplementasikan IFRS sebagai standar akuntansi yang berterima secara internasional/global.
Sampai dengan saat ini belum semua negara menerapkan IFRS, namun standar ini telah diterapkan pada lebih dari 150-an negara, termasuk Jepang, China, Kanada dan 27 negara Uni Eropa. Sedikitnya, 85 dari negara-negara tersebut telah mewajibkan laporan keuangan mereka menggunakan IFRS untuk semua perusahaan domestik atau perusahaan yang tercatat (listed) di bursa efek setempat. Untuk perusahaan yang memiliki partner dari Uni Eropa, Australia, Russia dan beberapa negara di Timur Tengah tidak ada pilihan lain selain menerapkan IFRS. Tidak terkecuali Indonesia, yang saat ini dan kedepan sangat membutuhkan kerjasama dengan para pelaku ekonomi dan bisnis berskala internasional, maka tidak ada jalan lain kecuali harus bersedia mengadopsi IFRS.

IFRS Aset Tetap Atau PPE : Property, Plant, and Equipment

Jumat, 04 Desember 2015


Aset tetap atau PPE (Property, Plant, and Equipment) adalah aset berwujud (tangible assets) yang digunakan dalam kegiatan operasional perusahaan, yang memiliki manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Istilah aset tetap digunakan untuk membedakan dengan aset tidak berwujud, yang juga memiliki masa manfaat lebih dari satu periode akuntansi tetapi tidak memiliki wujud fisik, serta nilainya tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh eksistensi fisik dari aset.
Dalam standar akuntansi yang mengacu ke Amerika (US GAAP), akuntansi untuk aset tetap relatif tidak menimbulkan banyak masalah, karena standar akuntansi aset tetap berdasar US GAAP menggunakan basis kos historis. IFRS tidak menggunakan basis kos historis, mengingat basis kos historis berimplikasi pada penyajian laporan keuangan yang dipandang kurang relevan dengan kebutuhan nyata pengguna informasi karena tidak mampu menggambarkan nilai riil aset tetap yang disajikan di dalam laporan keuangan.
Artikel ini tidak dimaksudkan untuk membahas secara detil seluruh aspek teknis akuntansi atas aset tetap, tetapi dimaksudkan untuk mendeskripsikan aspek-aspek umum akuntansi aset tetap yang membedakan antara US GAAP dengan IFRS. Secara umum permasalahan akuntansi aset tetap yang akan dibahas dalam artikel ini adalah mencakup prinsip-prinsip dasar akuntansi aset tetap sebagai berikut:
  1. Akuntansi perolehan aset tetap
  2. Akuntansi alokasi kos aset tetap ke masing-masing periode akuntansi yang menikmati jasa aset tetap.
  3. Akutansi perubahan nilai aset setelah pemilikan aset, seperti akuntansi kenaikan nilai dan penurunan nilai (impairments) aset tetap.
  4. Akuntansi penghentian aset.
Baik standar akuntansi versi US GAAP maupun versi IFRS area utama permasalahan akuntansi yang diatur dalam masing-masing standard adalah sama, yaitu dalam empat area tersebut di atas, sehingga dengan melakukan pengkajian atas keempat area utama akuntansi tersebut akan diperoleh pemahaman tentang kesamaan dan perbedaan standard akuntansi yang berlaku pada masing-masing standar.

PEMBAHASAN
Pengukuran Kos Investasi Awal
Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membuat aset tetap dalam kondisi siap dioperasikan harus dicatat sebagai bagian dari kos aset. Elemen kos mencakup (1) harga beli, termasuk biaya legal dan fee perantara, pajak impor, pajak pertambahan nilai, dan pajak-pajak lain yang bersifat final, dikurangi dengan diskon atau rabat  dan (2) seluruh biaya langsung untuk membawa aset ke lokasi hingga siap dioperasikan sesuai harapan manajemen, termasuk biaya persiapan lokasi penempatan aset tetap, biaya pemasangan, dan biaya uji coba, dan (3) taksiran biaya pembongkaran (dismantling costs), pemindahan barang, dan penyiapan lokasi. Dari tiga macam elemen kos, letak perbedaan US GAAP dan IFRS adalah pada perlakukan akuntansi atas dismantling costs, US GAAP menggunakan prinsip kos historis, sehingga unsur biaya yang sifatnya masih preditif, apalagi peristiwanya akan terjadi setelah aset tetap dihentikan pemanfaatannya, tidak diperlakukan sebagai unsur kos aset tetap.
Dalam hal aset tetap diperoleh dengan cara kredit, bunga kredit tidak termasuk sebagi kos aset tetap, dalam kasus ini kos aset tetap diakui sebesar nilai tunai dari pembayaran periodik. Biaya inkremental lain, seperti biaya konsultasi dan biaya komisi dalam rangka pembelian aset termasuk sebagai bagian dari kos aset tetap berwujud. Dalam kasus ini, secara prinsip dan konsep tidak ada perbedaan antara US GAAP dengan IFRS.
Biaya restorasi lokasi aset (decommissioning costs) yang diprediksi akan terjadi pada akhir masa manfaat aset diperlakukan sebagai bagian dari kos aset tetap. Dengan demikian kos aset tetap adalah mencakup kos perolehan aset tetap ditambah dengan decommissioning costs dan dismantling costs. Rekening lawan dari decommissioning costs adalah rekening utang bersyarat. IAS 37 menegaskan bahwa provisions atau pencadangan utang atas decommissioning costs akan diakui hanya pada saat dipenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Pada saat pelaporan keuangan perusahaan terbukti memiliki kewajiban (present obligation) baik secara legal maupun bersifat konstruktif, sebagai akibat dari peristiwa yang lalu.
  2. Dapat diprediksi akan terjadinya arus keluar sumberdaya ekonomi untuk menyelesaikan kewajiban, dan
  3. Dapat diprediksi secara memadai jumlah kewajiban yang harus diselesaikan diwaktu yang akan datang.
Dalam proposal amandemen IAS 37: Provision, Contingent Liabilities and Contingent Assets, IASB (the International Accounting Standards Board) mengusulkan untuk menghapus istilah ?Provisions? dan menggantinya dengan istilah baru ?nonfinancial liabilities?.  Dalam US GAAP masalah decommissioning costs tidak diatur karena prinsip yang digunakan adalah kos historis, meskipun pada dasarnya jika unsur decommissioning costs diakomodasi oleh US GAAP perlakukan akuntansinya cocok dengan prinsip kehati-hatian atau conservative principle yang digunakan sebagai basis pengembangan US GAAP. Namun demikian US GAAP tidak menerapkan prinsip hati-hati untuk mengakui decommissioning costs, dengan kemungkinan alasan karena objectivitas atau validitas estimasi kos sulit untuk diukur.
Contoh implementasi decommissioning costs adalah sebagai berikut, misalnya dalam rangka memenuhi ketentuan perizinan pemerintah dalam pengadaan aset tetap, perusahaan diwajibkan pada akhir masa pakai aktiva tetap perusahaan harus membongkar aktiva tetap, membersihkan lokasi penempatan aktiva tetap, dan mengembalikan tanah seperti keadaan semula. Kondisi semacam ini memenuhi ketentuan sebagai kewajiban masa sekarang sebagai akibat peristiwa masa lalu (pengadaan aset tetap), yang kemungkinan besar akan mengakibatkan arus keluar sumberdaya di masa yang akan datang. Pengakuan kos atas peristiwa di masa yang akan datang semacam ini memerlukan estimasi yang cukup cermat, mengingat estimasi berhubungan dengan jangka waktu yang cukup panjang, yang sangat rentan dengan berbagai kemungkinan yang bisa mempengaruhi ketepatan estimasi, paling tidak bisa sangat dipengaruhi oleh evolusi atau bahkan revolusi perubahan teknologi, yang kemungkinan besar akan mempengarui realisasi decommissioning dan dismantling costs.
Untuk mengatasi kerumitan estimasi, IAS 37 memberikan arahan teknis dengan menyatakan bahwa estimasi yang terbaik adalah dengan cara mengukur dengan tepat decommissioning dan dismantling costs pada akhir masa kegunaan aset tetap, kemudian mengukurnya dengan nilai sekarang (discounted to present value), selanjutnya present value dari kedua unsur kos tersebut dimasukkan sebagai bagian dari kos perolehan aset tetap. Meskipun telah disediakan arahan teknis semacam ini, kesulitan dalam praktik tetap akan terjadi, karena yang menjadi persoalan utama adalah pada teknis pengukuran secara tepat prediksi potensi kos yang akan terjadi pada akhir umur ekonomis aset tetap, bukan pada bagaimana mengukur nilai sekarang dari kedua unsur kos tersebut. Dari kaca mata US GAAP, masalah berat seperti ini barangkali yang membuat US GAAP tidak mengatur standard tentang unsur biaya semacam ini.
Perlu difahami bahwa dismantling costs, legal costs atau constructive obligations, yang merupakan bagian dari kos perolehan aset tetap, tidak diperkenankan untuk diperluas sampai dengan kos operasional aset tetap di waktu yang akan datang, mengingat kos operasional di waktu yang akan datang tidak memenuhi kriteria sebagai kewajiban masa sekarang (present obligation). Konsekuensi dari ketentuan kapitalisasi dismantling costs maka dismantling costs harus dibebankan ke masing-masing periode yang menikmati jasa aset tetap melalui prosedur depresiasi.  Pada masing-masing periode dismantling costs harus disesuaikan dengan perkembangan informasi terbaru dengan tujuan untuk meningkatkan ketepatan prediksi dismantling costs. Kenaikan nilai cadangan (provision) dari dismantling costs dilaporkan sebagai bunga atau semacam biaya pendanaan.
Beberapa  contoh decommissioning costs atau dismantling costs yang harus diakui pada saat perolehan aset tetap, misalnya sebagai berikut:
Contoh 1:
Kasus lease premises (leasing aset tetap). Misalnya dalam transaksi leasing terdapat kewajiban bagi lessee atau  pembeli bahwa pada akhir umur ekonomi aset tetap harus mengosongkan lokasi penempatan aset tetap, atau harus membongkar dan memindahkan aset tetap ke lokasi lain. Dalam hal terjadi kasus semacam, jika leasing termasuk kategori leasing pendanaan (finance lease), maka taksiran biaya pembongkaran dan pemindahan aset (distmantling dan decommissioning costs) harus dikapitalisasi atau dibukukan sebagai bagian dari kos aset tetap, dan didepresiasi selama umur ekonomi aset tetap. Dalam hal leasing termasuk sebagai kategori leasing operasional, kos semacam ini harus dipalorkan sebagai beban ditangguhkan (deferred charge). Dalam US GAAP kos semacam ini tidak diperlakukan sebagai kos aset tetap, karena kos aset tetap diukur berdasarkan kos yang telah terjadi (historical costs), dan tidak termasuk kos yang kemungkinan akan terjadi.

Contoh 2:
Kepemilikan aset tetap (owned premises).  Mesin dalam contoh 1 dipasang pada lokasi pabrik yang dimiliki perusahaan. Pada akhir umur ekonomi mesin, perusahaan memiliki opsi untuk membongkar dan memindahkan mesin serta menanggung seluruh biaya pembongkaran dan pemindahan mesin, atau membiarkan mesin tetap ditempatnya dan tidak dioperasikan lagi. Jika perusahaan memilih tidak membongkar dan memindahkan mesin, maka akibat yang ditimbulkan adalah menurunkan nilai wajar (fair value) dari lokasi mesin, jika perusahaan memutuskan untuk menjual lokasi mesin sebagaimana adanya.  Tetapi karena tidak ada kewajiban legal untuk membongkar dan memindahkan aset tetap, dalam hal ini mesin, maka kos pembongkaran tersebut tidak dimasukkan sebagai bagian kos dari aset tetap. Semestinya kos pembongkaran harus tetap diakui sebagai kos aset tetap, agar perlakuan akuntansinya konsisten dengan kasus nomor 1 (satu) di atas.
Contoh 3:
Dengan menggunakan kasus yang sama seperti contoh 1 dan 2, misalnya dalam kasus ini pemilik perusahaan memberi opsi kepada fihak ketiga untuk membeli perusahaan pada akhir tahun ke 5, yaitu akhir umur ekonomis aset tetap. Di dalam menawarkan opsi, secara verbal pemilik perusahaan mengatakan bahwa perusahaan akan dalam keadaan bersih, seluruh mesin serta perlengkapan kantor akan disingkirkan dari lokasi pabrik. Pemilik perusahaan berharap bahwa pembeli opsi menjadi tertarik karena biaya pembongkaran aset tetap (dalam hal ini mesin) ditanggung oleh penjual, yaitu dalam bentuk janji untuk membersihkan pabrik dari mesin-mesin lama. Dalam kasus semacam ini, meskipun status legalnya kemungkinan masih dapat dipertanyakan, tetapi secara janji semacam ini telah memunculkan kewajiban konstruktif (constructive obligation) dan harus diakui sebagai decommissioning costs.
Contoh 4:
PT X bergerak dalam produksi bahan-bahan kimia.  Perusahaan memasang tank bawah tanah untuk menyimpan berbagai jenis bahan kimia. Tank dipasang pada saat perusahaan membeli fasilitas pabrik tujuh tahun yang lalu. Pada bulan Februari 2009 pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan perusahaan untuk membongkar tank semacam ini pada saat tank sudah tidak digunakan lagi. Dalam kasus semacam ini maka mulai sejak dikeluarkan peraturan pemerintah perusahaan harus mengakui decomissioning obligation.

Misalnya dalam kasus PT X ini, dalam kegiatan operasionalnya perusahaan juga menggunakan cairan kimia untuk membersihkan peralatan pabrik yang dimilikinya, yang ditempatkan dalam penampungan yang khusus dirancang untuk tujuan tersebut. Penampungan dan tanah sekitarnya yang semuanya adalah milik PT X, terkontaminasi oleh pembersih berbahan kimia tersebut. Pada tanggal 1 Februari 2009 pemerintah menerbitkan peraturan yang berisi keharusan untuk membersihkan dan membuang limbah produksi yang membahayakan pada akhir penggunaan fasilitas penampungan sisa bahan kimia. Atas berlakunya peraturan pemerintah tersebut, berakibat timbulnya keharusan untuk mengakui dengan segera biaya pembersihan dan pembuangan limbah industri (decommissioning costs and obligation) yang berhubungan dengan kontaminasi yang telah terjadi.
Tentang kemungkinan terjadinya perubahan taksiran decommissioning costs dan dismantling costs,  IFRIC nomor 1 menginterpretasikan bahwa penyesuaian hanya diperlukan untuk sisa umur aset tetap, atau berlaku secara prospektif, dan tidak berlaku secara restrospektif.
Inilah salah satu perbedaan antara US GAAP dan IFRS, karena US GAAP berbasis kos historis, maka dismantling dan decommissioning costs tidak diakui. Utang bersyarat yang selama ini diakomodasi oleh US GAAP adalah bukan untuk konteks semacam ini, misalnya hutang hadiah, utang garansi, atau utang karena adanya tuntutan hukum fihak ketiga, yang jumlah nominalnya relatif lebih mudah pengukurannya.  Hambatan yang akan dihadapi pada saat IFRS diterapkan adalah pada penaksiran atau pengukuran dismantling costs dan taksiran kos lain yang akan timbul pada saat aset tetap dihentikan pemanfaatannya. Namun demikian IFRIC nomor 1, telah memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi hambatan ini.
Kos Aset yang Dibangun Sendiri
Konsep pengukuran kos atas aset tetap yang dibangun sendiri adalah sama dengan aset tetap yang diperoleh dengan membeli dalam bentuk jadi, yaitu bahwa seluruh kos yang diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan aset diperlakukan sebagai kos aset tetap, permasalahan hanya akan terjadi pada saat kos aset ternyata melampaui recoverable amount, kelebihan kos harus diperlakukan sebagai biaya pada periode terjadinya kos. Jumlah abnormal dari sisa bahan, tenaga, dan sumberdaya yang lain tidak boleh diperlakukan sebagai kos aset tetap.
Aset tetap yang dibangun sendiri juga mencakup biaya pendanaan selama proses pembangunan berlangsung. Ketentuan kapitalisasi biaya pendanaan diatur dalam IAS 23. Kontroveri muncul untuk perlakuan akuntansi atas overhead kos tetap. Terdapat dua alternatif perlakuan akuntansi atas overhead kos tetap:
  1. Dibebankan ke kos aset berdasarkan jumlah wajarnya atau dibebankan secara rata-rata, misalnya menggunakan basis yang sama dengan pembebanan untuk persediaan yang diproduksi sendiri, atau
  2. Dibebankan ke kos aset tetap hanya sebesar kenaikan fixed overhead cost yang dapat diidentifikasi.
Ketentuan dalam IAS 23 tersebut tidak berbeda dengan ketentuan yang berlaku dalam US GAAP.  Ketika IFRS belum mengatur masalah ini, praktisi akuntansi dianjurkan untuk mempertimbangkan pedoman yang dikeluarkan oleh US GAAP. Dalam monograf riset akuntansi AICPA, saran tersebut dinyatakan sebagai berikut:
???in the absence of compelling evidence to the contrary, overhead costs considered to have ?discernible future benefits? for the purposes of determining the cost of inventory should be presumed to have ?discernible future benefits? for the purpose of determining the cost of a self-constructed depreciable asset???
            Sejauh hasil penelitian penulis, dalam hal aset tetap diperoleh dengan cara dibangun sendiri, sampai dengan saat ini belum ada perbedaan konsep dan standar antara US GAAP dan IFRS.
Kos atas Pertukaran Aset Tetap
Aset tetap kemungkinan diperoleh melalui pertukaran antar aset tetap. US GAAP mengatur bahwa pertukaran harus dibedakan sebagai berikut:
  1. Pertukaran tersebut antar aset sejenis atau tidak sejenis, kriteria sejenis atau tidak sejenis adalah pada fungsi dari aset tetap, jika fungsinya sama maka akan disimpulkan sebagai aset tetap sejenis.
  2. Jika pertukaran dilakukan antara aset tetap sejenis, maka tidak boleh diakui adanya laba pertukaran aset tetap, kecuali dalam pertukaran tersebut diterima sejumlah kas, maka laba diakui proporsional dengan kas yang diterima.
IFRS menetapkan standar yang kurang lebih sejalan dengan yang diatur dalam US GAAP, perbedaanya adalah pada ketentuan sejenis dan tidak sejenis. IFRS menggunakan istilah ?substansi ekonomi?, dalam arti bahwa pertukaran tersebut mengandung substansi ekonomi atau tidak. Ukuran substansi ekonomi adalah pada pengaruhnya terhadap arus kas di waktu yang akan datang, jika arus kas di waktu yang akan datang diprediksi tidak terpengaruh oleh pertukaran, maka pertukaran akan dianggap sebagai tidak memiliki substansi ekonomi, atau dianggap sebagai pertukaran aset tetap sejenis, meskipun pada dasarnya aset tetap tersebut memiliki fungsi dan kegunaan yang berbeda.
Kos Setelah Kepemilikan
Kos yang terjadi setelah kepemilikan aset tetap, seperti perbaikan, pemeliharaan, atau perbaikan (betterment). Perlakukan akuntansi atas kos setelah pemilikan ditentukan oleh karakteristik dari kos tersebut. Kos setelah pemilikan dapat dikapitalisasi sepanjang kos tersebut diprediksi akan memberikan manfaat ekonomi di waktu yang akan datang melampau prediksi manfaat ekonomi semula, misalnya umur ekonomisnya bertambah, kapasitas produksinya bertambah, atau kualitas outputnya meningkat.
Sebagaimana halnya dalam kos aset yang dibuat sendiri, jika kos penggantian melampaui batasan kos yang telah ditetapkan, maka kelebihan kos harus dibebankan sebagai biaya pada periode yang berjalan, dan pada saat perbaikan aset menyangkut penggantian sebagian dari aset, bagian aset yang diganti harus diperlakukan sebagai penghentian aset.
Untuk komponen aset tetap yang harus diganti secara periodic, karena usia ekonomisnya lebih cepat dibanding aset tetap utamannya, maka komponen tersebut harus didepresiasi tersendiri sesuai dengan umur ekonomis bagian dari aset tetap tersebut, sehingga ketika komponen tersebut diganti atau direnovasi total, komponen tersebut diharapkan sudah habis didepresiasi secara penuh. Jika ternyata masih tersisa kos komponen aset tetap yang belum didepresiasi penuh dan komponen aset tetap yang baru telah dibukukan sebagai komponen aset tetap, maka sisa kos aset tetap tersebut harus dihapus dari rekening komponen aset tetap.
Prinsip umum yang dapat digunakah adalah jika pengeluaran kos setelah pemilikan hanya ditujukan untuk membuat aset tetap dapat berfungsi sesuai dengan prediksi kapasitas produksi pada saat aset tetap diperoleh, atau untuk mengembalikan kapasitas aset tetap ke kapasitas semula, pengeluaran kos setelah pemilikan tersebut tidak boleh dikapitalisasi.
Pengecualian dapat diberikan pada saat aset tetap diperoleh dalam kondisi memerlukan pengeluran tertentu untuk membuat aset tetap tersebut dalam kondisi dapat dioperasikan sebagaimana yang diharapkan. Dalam kondisi semacam ini, kos kos yang dalam kondisi normal masuk dalam kategori biaya pemeliharan dan tidak dikapitalisasi, dapat diperlakukan sebagai kos yang dikapitalisasi. Setelah restorasi aset tetap selesai, selanjutnya pengeluaran biaya pemeliharaan harus diperlakukan sebagai biaya periode.
Kos yang berkaitan dengan keharusan inspeksi, misalnya dalam kasus inspeksi pesawat terbang, kos semacam ini dapat dikapitalisasi dan didepresiasi sesuai dengan periode berlakunya inspeksi teknis. Jika dikemudian hari diperlukan inspeksi ulang karena kasus tertentu, maka kos inspeksi yang belum didepresiasi harus dikeluarkan dari rekening dan diganti dengan kos inspeksi yang baru. Untuk memudahkan teknis pembukuan, kos inspeksi dapat diperlakukan sebagai komponen terpisah dari aset tetap utama.
Secara umum standar akuntansi untuk pengeluaran setelah pemilikan, tidak ada perbedaan antara standard versi US GAAP dengan versi IFRS. Ketentuan tentang kapitaliasi pengeluaran, yang dalam US GAAP diklasifikasi ke dalam capital expenditures dan revenue expenditures, dalam IFRS juga berlaku ketentuan yang sama.
Depresiasi
Tidak ada perbedaan antara US GAAP dan IFRS tentang peran penting prinsip penandingan (matching principle). Sesuai dengan konvensi dasar tentang prinsip penandingan, kos aset tetap harus dialokasikan ke masing-masing periode yang menikmati jasa aset tetap melalui depresiasi.  Pemilihan metode depresiasi harus disesuaikan dengan karakteristik aset tetap yang didepresiasi, dengan tujuan agar menghasilkan alokasi kos aset tetap secara sistematis dan rasional selama umur ekonomis aset tetap.
Penentuan umur ekonomis aset tetap harus mempertimbangkan sejumlah factor, misalnya faktor perubahan teknologi, keusangan normal, penggunaan secara fisik, serta kemampuan untuk menggunakan aset tetap, baik secara legal maupun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan keterbatasan yang lainnya.  IAS 16 menyatakan bahwa, meskipun secara normal tanah memiliki umur ekonomis tak terbatas sehingga kos tanah tidak didepresiasi, tetapi pada saat di dalam kos tanah dimasukkan unsur kos penataan kembali atau kos restorasi tanah pada akhir masa penggunaannya, maka kos penataan kembali atau kos restorasi tanah harus didepresiasi sesuai dengan umur ekonomisnya. Dalam bidang industri tertentu, tanah kemungkinan memiliki umur ekonomis yang terbatas, misalnya terjadinya penurunan kesuburan tanah atau karena spesifik yang lainnya, dalam kasus semacam ini kos tanah harus didepresiasi sesuai dengan umur ekonomisnya.
IAS 16, revisi 2003, menganjurkan penggunaan pendekatan komponen dalam depresiasi aset tetap. Dalam pendekatan ini masing-masing komponen aset tetap yang memiliki umur ekonomis berbeda atau memiliki pola pemanfaatan berbeda, didepresiasi secara terpisah dengan metode yang bebeda. Pendekatan ini ditujukan untuk keperluan ketepatan perlakuan akuntansi atas pengeluaran-pengeluaran di waktu yang akan datang yang berkaitan dengan komponen aset tetap yang bersangkutan. Selanjutnya IAS 16 menyatakan bahwa metode depresiasi harus merefleksikan pola harapan manfaat ekonomis aset tetap di waktu yang akan datang, sehingga ketepatan metode depresiasi harus dikaji ulang paling tidak satu tahun sekali untuk disesuaikan dengan kemungkinan perubahan pola manfaat ekonomis aset tetap.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa IFRS mengatur secara lebih rinci tentang ketentuan depresiasi aset tetap, terlebih lagi jika ketentuan depresiasi ini dihubungkan dengan depresiasi untuk dismantling dan decommissioning costs. Dalam hal terdapat situasi khusus seperti dalam kasus depresiasi tanah tersebut di atas, pada dasarnya di bawah US GAAP praktik semacam itu tetap dimungkinkan melalui wadah yang disebut dengan praktik industri, artinya praktik-praktik akuntansi tertentu tetap dimungkinkan untuk diterapkan sepanjang praktik tersebut telah berterima umum dalam bidang industri yang bersangkutan, serta sesuai dengan rerangka konseptual akuntansi keuangan.
Nilai Residu
IAS 16 menyatakan bahwa nilai residu sering tidak material dan dalam praktik sering diabaikan, namun demikian untuk aset tertentu sangat dimungkinkan bahwa nilai residu cukup material, terutama pada saat perusahaan menghentikan aset lebih awal dari umur ekonomisnya, misalnya nilai residu aset tetap untuk bisnis perhotelan, yang karena tuntutan kualias pelayanan,  aset tetap cenderung dipelihara dengan standar tinggi, bahkan untuk aset tetap tertentu bisa jadi nilai residunya lebih tinggi dari kos perolehannya.
            Dalam perspektif kos historis, nilai residu didefinisikan sebagai nilai yang diharapkan dari aset tetap pada akhir masa kegunaan aset tetap, berdasar nilai mata uang sekarang. Namun demikian nilai residu harus diukur berdasarkan nilai bersih di luar biaya penghentian aset tetap. Dalam kasus tertentu, dimungkinkan aset tetap memiliki nilai residu negatif, sebagai contoh adalah nilai residu aset tetap pada saat suatu entitas harus mengeluarkan biaya untuk penghentian aset  tetap dalam jumlah yang cukup besar, atau pada saat suatu perusahaan harus mengembalikan property seperti keadaan sebelum suatu aset ditempatkan, misalnya untuk kasus tanah pertambangan yang menjadi objek undang-undang perlindungan lingkungan. Dalam kasus semacam ini total beban depresiasi  kemungkinan akan melampaui kos perolehan aset tetap, sehingga pada akhir umur ekonomis aset tetap, taksiran utang atas penghentian aset akan sama dengan jumlah nilai residu negatif.  Sehubungan dengan potensi kasus semacam ini, nilai residu akan menjadi objek pengkajian ulang paling tidak satu tahun sekali.
Jika pengukuran aset tetap menggunakan metode revaluasi, nilai residu harus diukur ulang pada setiap tanggal revaluasi aset tetap. Pengukuran nilai residu dilakukan dengan menggunakan data nilai realisasi aset sejenis, dan umur ekonomis aset tetap pada saat dilakukan revaluasi. Namun demikian dalam pengukuran nilai residu tidak perlu dilakukan pengukuran potensi inflasi serta tidak perlu dilakukan pengukuran nilai sekarang untuk mengakui adanya perubahan nilai waktu uang. Sesuai dengan prinsip kos historis dalam akuntansi aset tetap, jika diprediksi terjadi nilai residu negatif, nilai residu negatif dibebankan selama umur ekonomis aset tetap, dengan cara seperti ini pada akhir umur ekonomis jumlah biaya penghentian aset tetap telah habis dibebankan dan disebar ke seluruh periode akuntansi selama umur ekonomis aset tetap.
Umur Ekonomis Aset Tetap
Umur ekonomis aset tetap dipengaruhi oleh berbagai hal seperti kebijakan perbaikan dan pemeliharaan aset, perubahan teknologi, dan permintaan pasar atas barang yang diproduksi dengan menggunakan aset tetap yang bersangkutan. Jika ketika melakukan review metode depresiasi ternyata dapat diidentifikasi berbagai hal yang mempengaruhi penggunaan aset tetap, sehingga taksiran umur ekonomis menjadi di atas atau di bawah taksiran sebelumnya, maka perubahan taksiran umur ekonomis diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi, bukan sebagai koreksi atas kesalahan  akuntansi.  Dengan demikian, tidak perlu dilakukan pelaporan ulang atas biaya depresiasi yang dibebankan pada periode sebelumnya, perubahan diperhitungkan secara prospektif, yaitu direfleksikan pada periode terjadinya perubahan dan periode-periode sesudahnya.
Contoh perlakuan akuntansi atas perubahan estimasi umur ekonomis aset tetap, misalnya suatu aset tetap dengan kos Rp100.000.000,00, prakiraan awal umur ekonomis 10 tahun, tanpa antisipasi nilai residu. Depresiasi menggunakan metode garis lurus, sehingga depresiasi per tahun adalah Rp100.000.000/10 tahun = Rp 10.000.000. Setelah dua tahun berjalan, manajemen merevisi umur ekonomis aset tetap tersebut menjadi 6 tahun. Dalam kasus ini maka depresiasi tahun ke 3 sampai dengan tahun ke enam adalah berdasarkan sisa nilai buku aset tetap, tanpa harus merevisi depresiasi yang telah dibebankan selama dua tahun sebelumnya, sehingga dipresiasi per tahun setelah tahun ke dua adalah: ? x Rp80.000.000 = Rp20.000.000,00.

Revaluasi Aset Tetap
IAS 16 menyediakan dua pendekatan akuntansi untuk revaluasi aset tetap berwujud. Pertama adalah akuntansi berdasar kos historis, di mana kos perolehan atau kos konstruksi digunakan sebagai dasar pengakuan perolehan aset tetap, menjadi dasar perhitungan depresiasi selama umur ekonomis aset tetap, dan juga sebagai dasar penghapusan aset tetap dalam hal terjadi penurunan nilai aset tetap yang bersifat permanen. Dalam sejumlah Negara metode ini menjadi satu-satunya metode yang diperkenankan, tetapi dalam beberapa negara tertentu, terutama di negara-negara yang tingkat inflasinya tinggi, mengijinkan baik revaluasi penuh maupun revaluasi secara terbatas (selected revaluation), dan IAS 16 membolehkan praktik semacam ini dengan memberi mandat yang dinyatakan dalam suatu model yang disebut ?model revaluasi (revaluation model)?. Dalam model revaluasi, setelah pengakuan aset, selanjutnya elemen-elemen aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur dengan terpercaya (reliable) harus disajikan sebesar nilai revaluasinya, yaitu sebesar nilai wajar aset tetap pada tanggal revaluasi dikurangi dengan akumulasi depresiasi sesudah revaluasi dan akumulasi rugi penurunan nilai setelah revaluasi.
Dasar pemikiran pengakuan revaluasi adalah berhubungan dengan laporan posisi keuangan (neraca) dan pengukuran kinerja periodik entitas yang disajikan dalam laporan rugi laba komprehensif. Sehubungan dengan pengaruh inflasi, yang jika diukur secara tahunan tidak material, tetapi jika diukur selama umur ekonomis aset tetap jumlahnya bisa menjadi material, maka laporan pisisi keuangan dapat menjadi kumpulan beragam kos yang tidak bermakna jika prinsip kos historis tetap dipertahankan dan revaluasi aset tetap tidak diperkenankan untuk diterapkan.
Lebih jauh lagi, jika pembebanan depresiasi ke dalam laporan rugi laba didasarkan pada kos historis, maka konsekuensinya laba akan menjadi lebih saji (overstated).  Dalam situasi semacam ini, entitas yang secara nominal tampak menguntungkan, karena kinerjanya diukur dengan kos historis, bisa jadi akan menghadapi persoalan likuiditas dan tidak mampu melanjutkan usahanya, atau paling tidak akan berada dalam posisi kinerja organisasi yang lebih rendah dari yang dipersepsikan pembaca laporan keuangan, tanpa adanya dukungan utang baru atau investasi baru. IAS 29, Financial Reporting in Hyperinflationary Economies, mengatur masalah penyesuaian depresiasi pada kondisi hiper inflasi. Disadari bahwa penggunaan metode revaluasi akan menjadi tidak tepat dalam situasi ekonomi yang dari waktu ke waktu tidak menghadapi inflasi yang yang berarti.
Dalam model revaluasi, frekuensi revaluasi tergantung pada perubahan nilai wajar dari elemen yang akan direvaluasi, dan konsekuensinya kekita nilai wajar aset yang direvaluasi berbeda cukup material dengan nilai tersajinya (carrying amount), maka diperlukan revaluasi ulang. Telah pula disadari bahwa model revaluasi memakan biaya yang lebih besar dibanding model kos historis, oleh sebab itu hasil survey di Inggris tahun 2005 yang dilakukan oleh the Institute of Chartered Accountants  menyimpulkan bahwa hanya 4% dari EU Companies yang menggunakan model revaluasi untuk bangungan, tetapi tidak menggunakan model revaluasi untuk aset tetap yang lain, dan hanya 28% dari EU Companies dengan investasi pada property yang menggunakan metode nilai wajar (revaluasi) untuk aset yang dimilikinya.
Berdasarkan uraian di atas, secara konseptual model revaluasi memang lebih ideal dibanding model kos historis, namun demikian dalam praktik model revaluasi lebih sulit untuk diterapakan serta lebih memakan biaya.  Pertanyaan lain yang bisa muncul adalah tentang kenaikan manfaat informasi kuangan dengan model revalusi dibandingkan dengan biaya untuk mengimplementasikan model revaluasi. Jika manfaatnya jauh melampaui biayanya, maka model revaluasi akan menjadi relevan untuk diterapkan. US GAAP tidak mengatur masalah revaluasi karena berbagai pertimbangan tentang konsekuensi dari penerapan model revaluasi.
Nilai Wajar
Sebagai basis dari metode revaluasi, standar mendeskripsikan nilai wajar yang digunakan dalam setiap kasus revaluasi, yaitu yang didefinisikan sebagai nilai aset yang dapat digunakan sebagai basis nilai pertukaran antara dua fihak yang sama-sama memahami aset dan berkenan untuk melakukan pertukaran.
Lebih jauh standar mensyaratkan bahwa sekali suatu entitas menggunakan model revaluasi, mereka harus secara konsiten melakukannya di waktu yang akan datang, atau memastikan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara nilai wajar dengan nilai saji pada saat pelaporan laporan keuangn. Dengan kata lain, jika suatu entitas telah menggunakan metode revaluasi, entitas tersebut tidak boleh melaporkan nilai aset yang tidak relevan dengan nilai wajarnya. Jika metode revaluasi tidak dijalankan secara konsisten, dampaknya akan sangat besar terhadap interpretasi pengguna laporan keuangan.
Sesuai dengan IAS 16, pengukuran nilai wajar biasanya dilakukan oleh jasa penilai (appraisers) dengan menggunakan bukti-bukti pasar yang valid. Namun demikian untuk aset tetap yang tidak memiliki nilai pasar yang jelas, yang siap untuk dugunakan, aset tersebut dapat dinilai berdasarkan depreciated replacement costs.
            Nilai wajar memang diakui sebagai nilai yang paling tepat untuk diterapkan, terlepas dari sulitnya melakukan pengukuran atas nilai wajar aset tetap. Pada saat ini istilah nilai wajar (fair value) diterapkan dalam IFRS tanpa petunjuk detail tentang bagaimana menerapkannya. Pada bulan Mey 2009, IASB mempublikasikan Exposure Draft (ED) tentang fair value measurements, yang mengacu pada US GAAP, tepatnya mengacu pada FAS 157, yang digunakan oleh IASB sebagai titik awal perumusan nilai wajar (as the starting point for its deliberations) tentang pedoman pengukuran nilai wajar. Berdasarkan ED 2009, IASB mendeskripsikan bahwa pengukuran nilai wajar dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) peringkat  sebagai berikut, peringkat I adalah didasarkan pada harga standar (quoted prices) pada pasar aktif untuk aset atau utang yang dinilai, peringkat II adalah didasarkan pada hasil obervasi langsung atau tidak langsung atas harga di pasar aktif untuk aset dan utang yang sejenis, dan peringkat III adalah berdasarkan data yang tidak diobservasi, tetapi mampu merefkelsikan asumsi bahwa para partisipan pasar akan menggunakannya sebagai dasar pengukuran harga dan utang, termasuk asumsi tentang risiko.

PENUTUP
Secara konseptual IFRS menawarkan standard akuntansi yang lebih ideal untuk diterapkan, terlepas dari berbagai hambatan yang dipastikan akan dihadapi pada saat standard tersebut diterapkan. Dalam hal standard akuntansi untuk aset tetap, terdapat sejumlah kesamaan dan juga sejumlah perbedaan. Hal-hal yang berbeda dalam IFRS pada dasarnya sudah lama menjadi wacana dalam perumusan US GAAP, dan tidak dimasukkannya wacana standar akuntansi ke dalam US GAAP adalah karena faktor pertimbangan biaya, manfaat, dan risiko. Dengan demikian, jika pada akhirnya wacana standar akuntansi yang tidak dimasukkan ke dalam US GAAP sekarang justru dimasukkan ke dalam IFRS, maka pengguna standar harus ?terampil? di dalam menerapkannya sehingga tujuan ideal dari IFRS benar-benar bisa dicapai.
Hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian dan dikaji ulang secara lebih komprehensif dalam kaitannya dengan standard akuntansi untuk aset tetap adalah sebagai berikut:
1.    Masalah saat pengakuan aset tetap, tidak terdapat perbedaan antara US GAAP dan IFRS.
2.    Masalah pengukuran kos perolehan aset tetap, terdapat perbedaan antara US GAAP dengan IFRS, terutama dengan perlunya dimasukkan unsur dismantling costs dan decommissioning costs.
3.    Masalah pengukuran kos depresiasi aset tetap, terdapat perbedaan antara US GAAP dengan IFRS, yaitu dengan dimasukkannya dismantling costs, decommissioning costs, pengukuran nilai residu, dan revaluasi aset tetap.
4.    Masalah penyajian kos aset tetap di dalam laporan posisi keuangan, terdapat perbedaan antara US GAAP dan IFRS, yaitu berdasarkan kos historis untuk US GAAP dan berdasarkan fair value untuk IFRS.
Dengan memahami perbedaan pokok antara US GAAP dan IFRS, serta memahami pemikiran yang melatarbelakangi masing-masing standard, akan menjadi lebih mudah di dalam memetakan permasalah stadard akuntansi untuk aset tetap serta di dalam menerapkannya di dalam dunia praktik. Pembandingan antara US GAAP dan IFRS memegang peran penting dalam proses pemahaman mengingat US GAAP adalah standar akuntansi yang sudah dikenal dan diterapkan secara luas selama puluhan tahun.