Pengertian Akad Salam Dalam Akuntansi Syariah | Gudang artikel

Pengertian Akad Salam Dalam Akuntansi Syariah

Minggu, 09 Desember 2018

Akad Salam
Akad salam adalah akad yang sering digunakan oleh perbankan syari’ah dalam bentuk pertukaran jual beli. Akad ini terjadi ketika bank melakukan pembiayaan kepada sebuah perusahaan manufaktur, petani , atau produsen barang lainnya. Biasanya pembiayaan ini dibatasi jangka waktu yang relative pendek. Bank akan bertindak sebagai pembeli dan produsen sebagai pembeli.
Dalam hal ini bank biasanya akan menjualnya lagi kepada pembeli kedua dengan akad salam.  Maka dalam praktiknya pembeli (nasabah) akan mengajukan spesifikasi barang yang diinginkan kepada bank. Kemudian bank akan memesan kan barang tersebut kepada produsen dalam bentuk pembiayaan. Maka disini kita kenal istilah Salam Paralel antara pembeli kedua, bank, dan produsen.

Akad salam menguntungkan kedua belah pihak yang melakukan transaksi, dan sangat jauh dari praktek riba. Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1.      Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2.       Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.

Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
1.      Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2.      Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.

Rukun dan Syarat jual beli Salam
Walau demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah dari disyari'atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan ghoror (untung-untungan/spekulasi) yang dapat merugikan salah satu pihak. Dalam jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu: 
a.       Pembeli (muslam)
b.       Penjual (muslam ilaih)
c.         Modal / uang (ra’sul maal)

Modal mempunyai syarat tertentu pula, yaitu:
·         Jelas spesifikasinya, baik jenis, kualitas, dan jumlahnya.
·         Harus diserahkan saat terjadinya akad.

d.       Barang (muslam fiih).

Barang yang menjadi obyek transaksi harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat diakui sebagai hutang.
Sedangkan syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
a.       Pembayaran dilakukan dimuka (kontan)
b.       Dilakukan pada barang-barang yang memiliki criteria jelas
c.        Penyebutan criteria barang dilakukan saat akad dilangsungkan
d.      Penentuan tempo penyerahan barang pesanan
e.       Barang pesanan tersedia pada saat jatuh tempo
f.       Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha



Istishna’
Istishna’ adalah jual beli  dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara angsuran. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah disepakati  di awal akad.
Akad Istishna'  ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya.

Syarat dan Rukun Istishna’

Dengan memahami hakekat akad istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama' mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:
1.      Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo penyerahan barang  yang dipesan.
2.      Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah. Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari'at
3.      Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala. Dengan demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna' yang telah saya sebutkan, maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak, karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.
Contoh-contoh al-istishna’ dalam kehidupan kita sehari-hari adalah sebagai berikut :
1.      Seseorang memesan kepada tukang kayu untuk membuatkan rak buku dengan tipe tertentu, nanti bayarnya ketika rak buku itu sudah selesai. Semua bahannya yang menyediakan adalah tukang kayu tersebut .
2.      Seseorang memesan kepada pemilik konveksi baju untuk membuat seragam baju sekolah dengan motif dan model tertentu.
3.      Seseorang memesan kepada kontraktor untuk membangun kantor atau rumah di atas tanah miliknya dengan bentuk dan ukuran tertentu. Semua bahan bangunan berasal dari kontraktor tersebut.


0 komentar:

Posting Komentar