Islam sebagai pranata sosial yang
ajarannya diyakini mempunyai kesempurnaan nilai bagi kehidupan manusia telah
berada dalam struktur kehidupan semenjak 15 Abad yang silam dengan ditandai
oleh kenabian dan kerasulan Muhammad SAW. Awal babak baru bagi dunia
kemanusiaan telah dimulai. Muhammad SAW sebagai seorang yang revolusioner telah
memberikan tatanan kehidupan yang baru dalam struktur kehidupan manusia.
Seluruh aspek kehidupan terarah pada satu fokus yaitu tatanan kehidupan yang
diseseuaiakan dengan nilai dan ajaran Islam. Di ataranya dalam bidang muamalah
yang dalam hal ini dikhusukan pada bidang asuransi Islam.
Kajian tentang asuransi dalam
literatur keislaman di Indonesia termasuk sesuatu yang langka dan jarang
ditemukan dalam buku-buku yang membahas tentang ekonomi Islam. Banyak penulis
ekonomi Islam lebih menyukai fokus kajiannya terhadap masalah yang berkenaan
dengan perbankan Islam dibanding kajian asuransi Islam. Padahal kajian mengenai
asuransi terlahir satu “paket” dengan kajian perbankan Islam, yaitu
bersama-sama muncul ke permukaan tatkala dunia Islam tertarik untuk mengkaji
secara mendalam apa dan bagaimana cara mengaktualisasikan konsep ekonomi Islam
dalam tataran kelembagaan.
Pilihan tendensius tersebut lahir
dengan mengedepankan lembaga keuangan perbankan dan asuransi sebagai model
dalam mengkaji ekonomi Islam secara kelembagaan. Dapatlah dijadikan acuan dari
beberapa tulisan para ekonom muslim kontemporer yang telah memberikan gambaran
pada kita tentang keterpaduan kajian antara lembaga keuangan perbankan dengan
lembaga keuangan asuransi dalam sebuah buku yang dijadikan referensi ilmiah
bagi pengembangan ekonomi Islam.
PEMBAHASAN
KONTRUKSI
AKAD ASURANSI SYARI’AH
A. DEVINISI
ASURANSI
Kata
asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance , yang dalam bahasa Indonesia
telah menjadi bahasa popular dan diadopsi dalam kamus besar bahasa Indonesia
dengan padanan kata pertanggungan.
Dalam
Ensiklopedi Hukum Islam, disebutkan bahwa asuransi (at-ta’miin) adalah
“transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban memberikan
jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa
pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”.
Definisi
asuransi menurut UU Republik Indonesia No. 2 tahun 1992 tentang usaha
perasuransian BAB I pasal 1: “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penganggung mengikatkan diri
kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian kerusakan, kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupya seseorang
yang dipertanggungkan.
Islam
memandang “pertanggungan” sebagai suatu fenomena sosial uang dibentuk atas
dasar saling tolong menolong dan rasa kemanusiaan.
B. PRINSIP
DASAR ASURANSI SYARI’AH
Sebuah
bangunan hukum akan tegak secara kokoh, jika dan hanya jika dibangun atas
pondasi dan dasar yang kuat. Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah
tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep Ekonomika
Islami secara koprehensif dan besifat major. Hal ini disebabkan karena kajian
asuransi syariah merupakan turunan (minor) dari konsep Ekonomika Islami.
Begitu juga,
asuransi harus dibangun di atas fondasi dan prinsip dasar yang kuat serta
kokoh. Dalam hal ini prisip dasar aasuransi ada sepuluh macam yaitu:
1. Tauhid
(unity), prinsip ini merupakan dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada
dalam syariah Islam.
2. Keadilan
(justice), harus terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang
terikat dengan akad asuransi.
3. Tolong-menolong
(ta’awuun), semangat tolong-mnolong harus menjadi dasar kegiatan berasuransi
antara nasabah (anggota).
4. Kerjasama
(coorperation), sebagai apresiasi dari posisi manusia sebagai makhluk sosial,
nilai kerja sama adalah suatu norma yang tidak dapat ditawar lagi.
5. Amanah
(trustworthy), dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang
besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan yang harus
mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam bermuamalah dan melalui
auditor publik. Begitu pula nasabah harus memberikan informasi yang benar tanpa
manipulasi mengenai kerugian yang menimpa dirinya jika hal itu terjadi.
6. Kerelaan
(al-ridha), kerelaan dapat diterapkan pada setiap anggota/nasabah asuransi agar
mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang
disetorkan ke perusahaan asuransi yang difungsikan sebagai dana sosial
(tabarru’) yang benar-benar digunakan untuk membantu anggota/nasabah yang lain
jika mengalami kerugian.
7. Kebenaran,
dalam asuransi meliputi kebenaran materiil maupun formil harus didasarkan
dengan nilai-nilai Islam.
8. Larangan
riba, dalam setiap transaksi seorang muslim dilarang memperkaya diri dengan
cara yang tidak dibenarkan .
9. Larangan
maisir (judi), yaitu jangan sampai ada salah satu pihak yang mengalami
kerugian, sementara pihak yang lainnya meraup untung.
10. Larangan Gharar (ketidakpastian),
secara bahasa yaitu suatu penipuan (alkhida’) yang di dalamnya diperkirakan
tidak ada unsur kerelaaan.
C. PENGERTIAN
AKAD DALAM ASURANSI
Lafal akad
berasal dari lafal Arab al-’aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan
pemufakatan al-ittifaq. Secara terminologi fiqih, akad didefinisikan dengan
“pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan
ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikataan”.
Pencantuman
kalimat yang sesuai dengan kehendak syariat maksudnya adalah bahwa seluruh
perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila
tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan
transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain.
Sedangkan, pencantuman kalimat berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya
adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab)
kepada pihak yang lain (yang menyatakan qabul).
Dalam teori
hukum kontrak secara syariah (nazarriyati al-’uqud), setiap terjadi transaksi,
maka akan terjadi salah satu dari tiga hal berikut. Pertama, kontraknya sah;
kedua, kontraknya fasad; dan ketiga, aqadnya batal. Untuk melihat kontrak itu
jatuhnya ke mana, maka perlu diperhatikan instrumen mana dari akad yang dipakai
dan bagaimana aplikasikasinya.
Atas dasar
ini, setiap pernyataan pertama yang di-kemukakan oleh salah satu pihak yang
ingin mengikatkan diri dalam suatu akad disebut ‘pelaku ijab’ dan setiap
pernyataan kedua yang diungkapkan pihak lain setelah ijab disebut qabil ‘pelaku
qabul’; tanpa membedakan antara pihak mana yang memulai pernyataan pertama itu.
Apabila ijab
dan qabul telah memenuhi syarat-syaratnya, sesuai dengan ketentuan syara’, maka
terjadilah petikatan antara pihak-pihak yang melakukan ijab dan qabul dan
muncullah segala akibat hukum dari akad yang disepakati itu.
D. AKAD YANG
MEMBENTUK ASURANSI SYARI’AH
Asuransi
sebagai satu bentuk kontrak modern tidak dapat terhindar dari akad yang
membentuknya. Hal ini disebabkan karena dalam praktiknya asuransi melibatkan
dua orang yang terikat oleh perjanjian untuk saling melaksanakan kewajiban,
yaitu antara peserta asuransi dengan perusahaan asuransi.
Prinsip
dasar yang membentuk akad ada empat macam dan harus ada pada setiap pembentukan
akad, yaitu :
1. Dua orang
yang melakukan akad (al-‘aqidaini).
2. Sesuatau
(barang) yang diakadkan (mahal al-’aqd).
3. Tujuan dari
akad (maudhu’ al-‘aqd).
4. Rukun (arkan
al-’aqd), yaitu Ijab dan Kabul.
Akad yang
dapat diterapkan dalam bisnis asuransi adalah akad ghairu musamma (yang belum
ada penamaannya) dan termasuk akad yang baru dalam literatur fiqh. Dalam
beberapa hal ada proses analogi hukum (qiyas) terhadap praktik operasional
asuransi dengan beberapa akad yang telah dikenal (musamma). Salah satunya
adalah akad muwalat, yaitu akad antara dua orang yang tidak terikat hubungan
nasab (keturunan) yang salah satunya mengcover musibah pertanggungan diyat
terhadap peristiwa pembunuhan.
Di sisi lain
asuransi juga dapat didasarkan pada akad tabarru’ yaitu akad yang didasarkan
atas pemberian dan pertolongan dari satu pihak kepada pihak yang lain. Akad
tabarru’ merupakan bagian dari tabadul hal (pemindahan hak). Walaupun pada
dasarnya akad tabarru’ hanya searah dan tidak disertai dengan imbalan, tetapi
ada kesamaan prinsip dasar di dalamnya, yaitu adanya nilai pemberian yang
didasarkan atas prinsip tolong menolong dengan melibatkan perusahaan asuransi
sebagai lembaga pengelola dana.
Akad lain
yang dapat diterapkan dalam asuransi adalah akad mudharabah, yaitu akad yang
didasarkan pada prinsip profit and loss sharing (berbagi atas untung dan rugi),
di mana dana yang terkumpul dalam total rekening tabungan (saving) dapat
diinvestasikan oleh perusahaan asuransi yang risiko investasi ditanggung
bersama antara perusahaan dan nasabah.
1. Devinisi premi
Ada beberapa pengertian dari premi
itu sendiri yaitu :
a. Kewajiban peserta Asuransi untuk
memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan
dalam akad.
b. Biaya pertanggungan yang dibayar
secara sekaligus atau berkala oleh tertanggung kepada penanggung berdasarkan
suatu polis.
c. Insentif yang dapat ditawarkan bank
kepada nasabah dalam transaksi tertentu, misalnya, berupa penurunan tingkat
bunga terhadap nasabah yang membayar angsuran secara teratur dan sesuai dengan
jadual yang ditetapkan.
d. Biaya yang harus dibayar kepada
perusahaan asuransi untuk memperoleh suatu penlindungan/jaminan asuransi atas
risiko yang dapat menimpa suatu objek asuransi (premium).
e. Kewajiban peserta Asuransi untuk
memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan
dalam akad.
2. Ketentuan
premi pada asuransi syariah
a. Pembayaran
premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru’.
b. Untuk
menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan
rujukan, misalnya tabel mortalitas untuk asuransi jiwa dan table morbiditas
untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam
penghitungannya.
c. Premi yang
berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil
investasinya dibagi hasilkan kepada peserta.
d. Premi yang
berasal dari jenis akad tabarru’ dapat diinvestasikan.
Karena dalam prinsip risk sharing
perusahaan asuransi syariah memungkinkan untuk memberikan bagi hasil
keuntungan investasi dan alokasi surplus underwriting kepada nasabah,
untuk peserta yang melakukan perpanjangan kontrak risk sharing dapat
diperlakukan sebagai berikut:
a.
Peserta yang mendapatkan bagi hasil
investasi dan alokasi surplus underwriting maka sejumlah uang bagi
peserta tersebut dapat diperlakukan sebagai pengurang premi renewal.
b. Besarnya premi risk sharing untuk
periode berikutnya tidak mesti sama dengan premi risk sharing periode
atau tahun pertanggungan pertama.
c. Dengan adanya bagi hasil investasi
dan alokasi surplus underwriting maka besarnya premi renewal adalah
premi risk sharing pada tahun bersangkutan dikurangi dengan bagi hasil
investasi dan surplus underwriting.
F.
TUJUAN dan MANFAAT ASURANSI SYARI’AH
Pada dasarnya, tujuan asuransi syariah sama dengan asuransi
konvensional. Namun pada asuransi syariah ada beberapa dasar yang penting,
seperti akad, anti riba, menghilangkan indikasi perjudian dan lain-lain.Selain
itu, mekanisme pengelolaannya juga berbeda. Contohnya pada soal premi.
Asuransi syariah menerapkan aturan pembayaran yang tetap,
baik secara bulanan, triwulan atau tahunan. Artinya, pembayaran tidak akan
menjadi lebih mahal bila dibayar bulanan dibandingkan dengan jika dibayar
semesteran. Sistem pembayaran ini tidak sama dengan sistem pembayaran premi
pada asuransi konvensional, yang jika dibayar bulanan akan menjadi lebih mahal
dibandingkan dengan jika dibayar tahunan. Pada intinya, asuransi syariah tetap
memenuhi unsur halal dan bermanfaat bagi sesama.
Ada beberapa manfaat dari asuransi syari’ah, Berikut ini
beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu :
1.
Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa
sepenanggungan antaranggota.
2.
Implementasi dari anjuran Rasulullah
saw. agar umat Islam salimg tolong-menolong.
3.
Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang
dilarang syariat.
4.
Secara umum dapat memberikan
perlindungan-perlindungan dari risiko kerugian yang diderita satu pihak.
5.
Juga meningkatkan efesiensi, karena
tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan
perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
6.
Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya
dengan mengeluarkan biaya dalam jumlah tertentu, dan tidak perlu
mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu
dan tidak pasti.
7.
Sebagai tabungan, karena jumlah yang
dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau
berhentinya akad.
8.
Menutup loss of corning power seseorang
atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi (bekerja).
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara ringkas dapatlah dikatakan
bahwa dalam praktik asuransi paling tidak ada dua akad yang membentuknya,
yaitu, akad tabarru; dan akad mudharabah. Akad tabarru’ terkumpul dalam
rekening dana sosial yang tujuan utamanya digunakan untuk saling menaggung
(takaful) peserta asuransi yang mengalami musibah kerugian. Sedangkan akad
mudharabah terwujud tatkala dana yang terkumpul dalam perusahaan asuransi itu
diinvestasikan dalam wujud usaha yang diproyeksikan menghasilkan keuntungan
(profit).
Karena landasan dasar yang awal dari
akad mudharabah ini adalah prinsip profit and loos sharing, maka jika dalam
investasinya mendapat keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagi bersama
sesuai dengan porsi (nisbah) yang disepakati. Sebaliknya jika dalam ivestasinya
mengalamai kerugian (loss and negative return) maka kerugian tersebut juga
dipikul bersama-sama antara asuransi dan perusahaan.
Jumlah yang dibayarkan berdasarkan
polis asuransi diinvestasikan berdasarkan prinsip mudharabah (dimana pemberi
pinjaman ikut menanggung keuntungan maupun kerugian), untuk usaha-usaha
komersial. Sebagai pengganti bunga yang ditentukan sebelumnya, keuntungan
dibagikan sebagaimana umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan komersial.
Untuk menjalankan bisnis asuransi
dalam bentuk koperasi, para pemegang polis diikat dengan persetujuan mereka
untuk menyumbangkan sebagian keuntungan mereka (sepertiga atau seperempat)
untuk dana cadangan dalam bentuk wakaf yang akan digunakan di bawah
peraturan-peraturan khusus untuk membantu orang-orang yang menjadi korban
kecelakaan.
Jika terjadi kecelakaan, bantuan
diberikan hanya kepada mereka yang terikat oleh kontrak ini dan para pemegang
saham perusahaan. Jumlah asli ditambah dengan keuntungan diberikan
kepada setiap pemegang saham yang akan dianggap sebagai hartanya, sedangkan
dana cadangan akan tetap sebagai wakaf (tabarru’).
0 komentar:
Posting Komentar