Akad
Salam
Akad
salam adalah akad yang sering digunakan oleh perbankan syari’ah dalam bentuk
pertukaran jual beli. Akad ini terjadi ketika bank melakukan pembiayaan kepada
sebuah perusahaan manufaktur, petani , atau produsen barang lainnya. Biasanya
pembiayaan ini dibatasi jangka waktu yang relative pendek. Bank akan bertindak
sebagai pembeli dan produsen sebagai pembeli.
Dalam hal ini bank biasanya akan menjualnya lagi kepada
pembeli kedua dengan akad salam. Maka dalam praktiknya pembeli (nasabah)
akan mengajukan spesifikasi barang yang diinginkan kepada bank. Kemudian bank
akan memesan kan barang tersebut kepada produsen dalam bentuk pembiayaan. Maka
disini kita kenal istilah Salam Paralel antara pembeli kedua, bank, dan
produsen.
Akad
salam menguntungkan kedua belah pihak yang melakukan transaksi, dan sangat jauh
dari praktek riba. Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1.
Jaminan
untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia
inginkan.
2.
Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan
harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia
membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
1.
Penjual
mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal,
sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar
bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang
pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2.
Penjual
memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya
tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup
lama.
Rukun dan Syarat jual beli Salam
Walau demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di
atas, jual-beli salam memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus
diindahkan. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud
dan hikmah dari disyari'atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur
riba dan ghoror (untung-untungan/spekulasi) yang dapat merugikan salah satu
pihak. Dalam jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
a.
Pembeli
(muslam)
b.
Penjual (muslam ilaih)
c.
Modal / uang (ra’sul maal)
Modal
mempunyai syarat tertentu pula, yaitu:
·
Jelas
spesifikasinya, baik jenis, kualitas, dan jumlahnya.
·
Harus
diserahkan saat terjadinya akad.
d.
Barang (muslam fiih).
Barang
yang menjadi obyek transaksi harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat
diakui sebagai hutang.
Sedangkan
syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
a.
Pembayaran
dilakukan dimuka (kontan)
b.
Dilakukan pada barang-barang yang memiliki
criteria jelas
c.
Penyebutan criteria barang dilakukan saat akad
dilangsungkan
d.
Penentuan
tempo penyerahan barang pesanan
e.
Barang
pesanan tersedia pada saat jatuh tempo
f.
Barang
Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha
Istishna’
Istishna’ adalah jual beli dimana barang yang
diperjualbelikan masih belum ada dan akan diserahkan secara tangguh sementara
pembayarannya dilakukan secara angsuran. Namun spesifikasi dan harga barang
pesanan harus telah disepakati di awal akad.
Akad Istishna' ialah akad yang terjalin antara pemesan
sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai
pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh
pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya.
Syarat dan Rukun Istishna’
Dengan memahami hakekat akad istishna', kita dapat pahami
bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama' mazhab Hanafi memiliki
beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:
1.
Penyebutan
& penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan
ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat
jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.
2.
Tidak
dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka
akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya
seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah. Akan
tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan
menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu
penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena
demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'. Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan,
karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari'at
3.
Barang
yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'.
Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'.
Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi
umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala. Dengan demikian, akad ini
hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa
dipesan dengan skema akad istishna'. Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil
dibolehkannya akad istishna' yang telah saya sebutkan, maka dengan sendirinya
persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak, karena akad istishna' bukan hanya
berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al
Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk
membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan
dengan skema istishna' saja.
Contoh-contoh
al-istishna’ dalam kehidupan kita sehari-hari adalah sebagai berikut :
1.
Seseorang
memesan kepada tukang kayu untuk membuatkan rak buku dengan tipe tertentu,
nanti bayarnya ketika rak buku itu sudah selesai. Semua bahannya yang
menyediakan adalah tukang kayu tersebut .
2.
Seseorang
memesan kepada pemilik konveksi baju untuk membuat seragam baju sekolah dengan
motif dan model tertentu.
3.
Seseorang
memesan kepada kontraktor untuk membangun kantor atau rumah di atas tanah
miliknya dengan bentuk dan ukuran tertentu. Semua bahan bangunan berasal dari
kontraktor tersebut.