| Gudang artikel

Pengertian Akad Salam Dalam Akuntansi Syariah

Minggu, 09 Desember 2018

Akad Salam
Akad salam adalah akad yang sering digunakan oleh perbankan syari’ah dalam bentuk pertukaran jual beli. Akad ini terjadi ketika bank melakukan pembiayaan kepada sebuah perusahaan manufaktur, petani , atau produsen barang lainnya. Biasanya pembiayaan ini dibatasi jangka waktu yang relative pendek. Bank akan bertindak sebagai pembeli dan produsen sebagai pembeli.
Dalam hal ini bank biasanya akan menjualnya lagi kepada pembeli kedua dengan akad salam.  Maka dalam praktiknya pembeli (nasabah) akan mengajukan spesifikasi barang yang diinginkan kepada bank. Kemudian bank akan memesan kan barang tersebut kepada produsen dalam bentuk pembiayaan. Maka disini kita kenal istilah Salam Paralel antara pembeli kedua, bank, dan produsen.

Akad salam menguntungkan kedua belah pihak yang melakukan transaksi, dan sangat jauh dari praktek riba. Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1.      Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2.       Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.

Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
1.      Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2.      Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.

Rukun dan Syarat jual beli Salam
Walau demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah dari disyari'atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan ghoror (untung-untungan/spekulasi) yang dapat merugikan salah satu pihak. Dalam jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu: 
a.       Pembeli (muslam)
b.       Penjual (muslam ilaih)
c.         Modal / uang (ra’sul maal)

Modal mempunyai syarat tertentu pula, yaitu:
·         Jelas spesifikasinya, baik jenis, kualitas, dan jumlahnya.
·         Harus diserahkan saat terjadinya akad.

d.       Barang (muslam fiih).

Barang yang menjadi obyek transaksi harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat diakui sebagai hutang.
Sedangkan syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
a.       Pembayaran dilakukan dimuka (kontan)
b.       Dilakukan pada barang-barang yang memiliki criteria jelas
c.        Penyebutan criteria barang dilakukan saat akad dilangsungkan
d.      Penentuan tempo penyerahan barang pesanan
e.       Barang pesanan tersedia pada saat jatuh tempo
f.       Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha



Istishna’
Istishna’ adalah jual beli  dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara angsuran. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah disepakati  di awal akad.
Akad Istishna'  ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya.

Syarat dan Rukun Istishna’

Dengan memahami hakekat akad istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama' mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:
1.      Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo penyerahan barang  yang dipesan.
2.      Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah. Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari'at
3.      Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala. Dengan demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna' yang telah saya sebutkan, maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak, karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.
Contoh-contoh al-istishna’ dalam kehidupan kita sehari-hari adalah sebagai berikut :
1.      Seseorang memesan kepada tukang kayu untuk membuatkan rak buku dengan tipe tertentu, nanti bayarnya ketika rak buku itu sudah selesai. Semua bahannya yang menyediakan adalah tukang kayu tersebut .
2.      Seseorang memesan kepada pemilik konveksi baju untuk membuat seragam baju sekolah dengan motif dan model tertentu.
3.      Seseorang memesan kepada kontraktor untuk membangun kantor atau rumah di atas tanah miliknya dengan bentuk dan ukuran tertentu. Semua bahan bangunan berasal dari kontraktor tersebut.


Penyakit Saluran Cerna Dyspepsia

Senin, 30 Juli 2018

Dyspepsia adalah suatu penyakit saluran cerna yang disertai dengan nyeri ulu hati ( epegastrium ), mual,muntah,kembung-kembung, rasa penuh atau rasa cepat kenyang dan sendawa.Dyspepsia setring ditemukan dalam kehidupan sehari- hari, keluhan ini sangat berpariasi, baik dalam jenis gejala yang ada maupun intensitas gejala tersebut dari waktu kewaktu ( Kapita Selekta Kedokteran).
1.      Klasifikasi
Dyspepsia dibagi menjadi dua yaitu :
a.       Dyspepsia Organik
Terjadi apabila telah diketahuio adanya kelainan organik sebagai penyebab atau adanya kelainan sistemik yang jelas misalnya ( tukak peptik, gastritis,pankriatitis,kolesitis dan lain-lainnya )
b.      Dyspepsia Non Organik ( Dyspepsia fungsional/non ulkos )
Terjadi apabila tidak ada kejelasan penyebabnya atau tanpa didapat kelainan struktur/organik.

A.    EPIDEMIOLOGI
            Penyakit ini sering diderita oleh masyarakat karena penyakit ini berhubungan dengan:
1.      Keadaan sosial ekonomi masyarakat
2.      Pola makan
3.      Keadaan makanan
            Prevalensi dyspepsia di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan antara 6-15 % terutama pada usia 20-50 tahun. Di Inggris populasi yang menderita dyspepsia sekitar 10%, dan  4500 orang meninggal setiap tahunnya. Di Amerika 15.000 orang meninggal karena dyspepsia setiap tahunnya.
a.       15 – 30% dari populasi umum pernah mengalami dispepsia
b.      Dijumpai 30% dari pasien dokter praktek umum
c.       60% dari semua pasien di klinik gastroenterologi
d.      Di Negara barat: prevalensi 7 – 41% (yang berobat hanya 10-20%)
e.       Di Indonesia : data secara nasional masih belum diketahui

B.     ETIOLOGI
        Etiologi dyspepsia kurang dipahami, meskipun bakteri gram negatif H. Pylori telah sangat diyakini sebagai faktor penyebab. Diketahui bahwa dyspepsia terjadi hanya pada area saluran GI yang terpapar pada asam hidrochlorida dan pepsin. Penyakit ini terjadi dengan frekuensi paling besar pada individu antara usia 40 dan 60 tahun. Tetapi, relatif jarang pada wanita menyusui, meskipun ini telah diobservasi pada anak-anak dan bahkan pada bayi. Pria terkenal lebih sering daripada wanita, tapi terdapat beberapa bukti bahwa insiden pada wanita hampir sama dengan pria. Setelah menopause, insiden ulkus peptikum pada wanita hampir sama dengan pria. Sebab pada wanita yang sudah menopause terjadi peningkatan penggunaan NSAID. Ulkus peptikum pada korpus lambung dapat terjadi tanpa sekresi asam berlebihan.
Predisposisi :
          Upaya masih dilakukan untuk menghilangkan penyebab ulkus. Beberapa pendapat mengatakan stress atau marah yang tidak diekspresikan adalah faktor predisposisi. Ulkus nampak terjadi pada orang yang cenderung emosional, tetapi apakah ini faktor pemberat kondisi, masih tidak pasti. Kecenderungan keluarga yang juga tampak sebagai faktor predisposisi signifikan. Hubungan herediter selanjutnya ditemukan pada individu dengan golongan darah lebih rentan daripada individu dengan golongan darah A, B, atau AB. Faktor predisposisi lain yang juga dihubungkan dengan dyspepsia mencakup penggunaan kronis obat antiinflamasi non steroid(NSAID). Minum alkohol dan merokok berlebihan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dyspepsia dapat dihubungkan dengan infeksi bakteri dengan agen seperti H. Pylori. Adanya bakteri ini meningkat sesuai dengan usia. Ulkus karena jumlah hormon gastrin yang berlebihan, yang diproduksi oleh tumor (gastrinomas-sindrom zolinger-ellison)jarang terjadi. Dyspepsia dapat terjadi pada pasien yang terpajan kondisi penuh stress.

C.    MANIFESTASI KLINIS
Klasifikasi klinis praktis didasarkan atas keluhan/ gejala yang dominan, dibagi dalam tiga katagori :
1.      Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkos ( Ulkus-Like Dyspepsia )
dengan gejala nyeri ulu hati ( epegastrium ) terlokalisasi, nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid, nyeri saat lapar, nyeri epesodic.
2.      Dyspepsia dengan gejala seperti dismotilitas ( dyspepsia like motility )
dengan gejala mual Kenyang, perut cepat tersa penuh saat makan, mual. muntah, upper abdominal.
3.      Dyspepsia non specifik ( tidak ada gejala seperti dua jenis diatas )
pembagian akut dan kronis berdasarkan atas jangka waktu .

D.    PATOFISIOLOGI
            Menurut dr. Wewen Siswanto (1999), patofisiologi Dyspepsia Non Ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut mungkin berperan penting (multifaktorial) :
1.      Abnormalitas Motorik Gaster
Dengan Studi Scintigrapic Nuklear dibuktikan lebih dari 50 %klien Dyspepsia Non Ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula pada studi Monometrik  didapatkan gangguan mobilitas antrum post prandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala dyspepsia tidak jelas.
Penelitian akhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang “kaku” bertanggung jawab terhadap dyspepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari korpus gaster menujuke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks fagal. Pada beberapa pasien Dyspepsia Non Ulkus, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.
2.      Perubahan Sensitivitas Gaster
Lebih dari 50 % pasien Dyspepsia Non Ulkus menunjukkan sensitivitas terhadap distensi gaster ayau intestinunm, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sudikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini bagian antrum post prandial dapat menginduksi nyeri bagian ini.
3.      Psikosomatis (Faktor Psiko Sosial)
Emosi, intelegensi dan kepribadian sangat berpengaruh terhadap cara manusia menyelesaikan konfliknya. Bila konflik tidak teratasi akan menimbulkan stres psikis dan selanjutnya bisa menimbulkan gangguan somatic baik gangguan fungsional maupun organik.       

E.     GEJALA DAN TANDA
1.      Mual
2.      Muntah     
3.      Nyeri ulu hati
4.      Nyeri saat lapar
5.      Perut terasa penuh saat makan
6.      Perut terasa kenyang saat makan
7.      Nyeri tekan

F.     DIAGNOSIS
1.      Radiologi  yaitu, OMD dengan kontras ganda.
2.      Serologi Helicobacer pylori.
3.       Urea breath test (belum tersedia di Indonesia).
4.       Endoskopi  :
a.       CLO (rapid urea test).
b.      Patologi anatomi.
c.       Kultur miroorganisme (MO) jaringan.
d.      PCR (polmerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian.

Penyakit paru obstruktif kronik

Minggu, 29 Juli 2018

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK/CPOD) adalah suatu penyakit pernafasan kronik yang dikarakteristikkan dengan kehilangan fungsi paru secara bertahap secara progresif. Bercirikan penyumbatan (obstruktif)bronchi disertai pengembangan mukosa  (udema)  dan sekresi dahak  (sputum) berlebihan (Tjay TH dan Rahardja K, 2002). Simptom pada pasien memiliki tipe seperti kronik bronkitis dan emfisema, tapi asma juga termasuk simptom triad klasik (Anonim, 2013).


II.                Patofisiologi
Perubahan patologi pada PPOK terlihat di pernafasan besar (sentral), bronkiolus kecil (periferal), dan jaringan parenkim paru. Kebanyakan penyakit PPOK adalah hasil dari paparan stimulasi yang berbahaya, biasanya asap rokok. Respon inflamasi diperkuat pada pasien yang rentan terhadap perkembangan penyakit. Aktivasi stimulus dari sel inflamasi dan mediator akibat paparan partikel dan gas yang berbahaya melalui inhalasi. Mekanisme patogenik tidak terlihat jelas tetapi kemungkinan banyak beragam. Naiknya jumlah leukosit dan pembebasan makrofag yang tidak dapat dinetralkan oleh antiprotease, mengakibatkan kerusakan paru-paru (Anonim, 2013).
Penyebab utama yang telah ditemukan yaitu elastase leukosit, dengan peran yang sinergis antara proteinase-3 dan makrofag yang berasal dari matrix metalloproteinase (MMPs), proteinase sistein, dan aktivator plasminogen. Selanjutnya, peningkatan stres oksidatif yang terjadi karena radikal bebas didalam asap rokok, oksidan keluar dari pagosit, dan polimorfinuklear leukosit akan menuntun pada apoptosis atau nekrosis dari sel yang terkena (Anonim, 2013).
Usia dan autoimun mempercepat mekansime patogenesis PPOK. Berdasarkan klasifikasinya, PPOK dibagi menjadi dua yaitu :
1.      Bronkitis Kronik
Mukus dan kelenjar hyperplasia adalah tanda histologik dari bronkitis kronis. Perubahan struktur pernafasan seperti atrofi, jarak squamus metaplasia, abnormal ciliary, banyaknya faktor hyperplasia dari otot halus, inflamasi, dan dinding tebal bronkial.
Kerusakan pada respon mucociliary endothelium bersih dari mukus dan bakteri. Inflamasi dan sekret menyediakan komponen obstruktif dari bronkitis kronik. Ada netrofil di lumen pernafasan, dan akumulasi infiltrat neutrofilik yang terakumulasi di sub mukosa. Pernafasan bronkeolus memperlihatkan proses inflamasi mononuclear, dimana adanya kemacetan lumen oleh penyumbatan mukus, metaplasia sel goblet, hiperplasia otot halus, dan distori yang berkaitan dengan fibrosis. Perubahan ini, dikombinasikan dengan hilangnya kelengkapan pendukung alveolar, menyebabkan aliran udara yang sedikit dengan membiarkan kerusakan bentuk dan penyempitan dinding aliran udara pernafasan.
Perbedaan kontras dengan emfisema, kronik bronkitis dihubungkan dengan relatif tidak rusaknya pulmonary capillary bed. Respon tubuh terjadi karena penurunan ventilasi dan kenaikan cardiac output. Hasil ini mengindikasikan hipoksemia dan policytemia karena sirkulasi yang cepat tetapi ventilasi paru-paru kurang baik. Terjadi pula vasokontriksi pada arteri pulmonary. Dengan adanya hipoksemia, policythemia, dan peningkatan retensi CO2, tanda-tanda gagal jantung akan terlihat pada pasien ini dan dikenal dengan sebutan ‘blue bloaters’ (Anonim, 2013).
2.      Emfisema
Emfisema adalah diagnosis patologik yang ditetapkan dari pembesaran permanen ruang udara distal sampai terminal bronkiolus. Hal ini mengindikasikan kemunduran yang dramatis dari permukaan area alveolar yang tersedia untuk pertukaran udara. Kehilangan alveoli menuntun keterbatasan aliran udara oleh 2 mekanisme. Pertama, kehilangan dinding alveolar menghasilkan penurunan elastisitas, yang menyebabkan keterbatasan aliran udara. Kedua, kehilangan struktur dukungan alveolar menyebabkan penyempitan jalan udara, dimana membuat keterbatasan aliran udara lebih lanjut.
Emfisema mempunyai 3 pola morfologi :
a.       Emfisema centriacinar
Yaitu emfisema yang dikarakteristikkan oleh terbatasnya kerusakan fokal ke saluran bronkeolus pernafasan dan bagian sentral dari sel asinus. Emfisema ini disebabkan oleh asap rokok dan biasanya terjadi keparahan di lobus atas.
b.      Panaciar
Emfisema panaciar melibatkan semua distal alveolus sampai ke akhir bronkeolus. Tipe panaciar ini memiliki tingkat keparahan pada zona paru-paru bagian bawah dan umumnya berkembang pada pasien dengan defisiensi alpha 1-antitrypsin (AAT)
c.       Distal acinar
Emfisema distal acinar, atau disebut juga emfisema paraseptal, adalah bentuk paling umum dan melibatkan struktur aliran udara distal, pembuluh alveolus, dan pundi-pundi paru-paru. Bentuk emfisema ini terbatas sampai ke fibrous septa atau sampai pleura dan akan membentuk formasi bullae. Bullae terjadi karena pneumotorax. Emfisema paraseptal tidak termasuk dalam kerusakan aliran udara (Anonim, 2013).
III.             Penatalaksanaan PPOK
Sasaran penatalaksanaan PPOK adalah untuk memperbaiki status fungsional pasien dan kualitas hidupnya dengan mengoptimalkan fungsi paru-paru, mengurangi gejala, dan mencegah keterulangan eksaserbi. Sekarang ini, tidak ada pengobatan terlepas dari transplantasi paru-paru yang memperlihatkan perkembangan fungsi paru-paru yang signifikan atau mengurangi angka kematian. Ketika telah terdiagnosis PPOK, sangat penting untuk mengedukasi pasien tentang penyakit ini dan juga untuk mendorong partisipasinya dalam terapi pengobatan (Anonim, 2013).
Pendekatan penatalaksanaan untuk terapi PPOK seperti yang disusun oleh GOLD (Global initiatif for chronic Obstruction Lung Disease)
a.       Stage 1 (mild obstruction) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza); bronkodilator aksi pendek bila diperlukan
b.      Stage 2 (moderate obstruction) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza), bronkodilator aksi pendek bila diperlukan; bronkodilator aksi panjang; rehabilitasi cardiopulmonory
c.       Stage 3 (severe obstruction) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza); bronkodilator aksi pendek; bronkodilator aksi panjang; rehabilitasi cardiopulmonary; kortikosteroid inhalasi bila terjadi pengulangan eksaserbi
d.      Stage 4 (very severe obstruction or moderate obstruction with evidence of chronic respiratory failure) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza); bronkodilator aksi pendek; bronkodilator aksi panjang; rehabilitasi cardiopulmonary; kortikosteroid inhalasi bila terjadi pengulangan eksaserbi, terapi oksigen yang lama; pertimbangkan untuk operasi pembedahan seperti LVRS dan transplantasi paru-paru (Anonim, 2013).
Pengobatan oral dan inhalasi berfungsi untuk pasien yang penyakitnya stabil untuk mengurangi dispnea dan memperbaiki daya tahan pergerakan tubuh. Kebanyakan pengobatan yang digunakan untuk penyebab potensial yang reversible yang diakibatkan dari kurangnya aliran udara pada status penyakit  yang sebagian besar telah mengalami obstruksi pada kontraksi oto halus bronkus, kongesti dan pembengkakan pada mukosa bronkus, inflamasi jalan udara, dan sekresi aliran udara yng meningkat (Anonim, 2013).
1.      Beta 2 adrenergik agonis aksi singkat
Golongan ini mengaktifkan reseptor beta 2 adrenergik pada permukaan sel otot halus, yang akan menaikkan siklus intraseluler cAMP dan merelaksasi otot halus.obat ini digunakan untuk mengurangi simptomatis dari penyakit PPOK.
Contoh : albuterol
2.      Beta 2 adrenergik agonis aksi panjang
Memiliki cara kerja yang sama tetapi aktif dipakai untuk pasien dengan gejala simptomatis yang persisten.
Contoh : salmeterol
3.      Antikolinergik
Antikolinergik melawan asetilkolin untuk reseptor postganglion muskarinik. Dengan cara tersebut mediator kolinergik terhambat, menghasilkan bronkodilatasi. Obat ini juga mem-blok mediasi yang menyebabkan bronkokontriksi.
Contoh : ipraptropium, Tiotropium
4.      Derivat xantin
Derivat xantin seperti teofilin dapat merelaksasi otot halus bronkus dan pembuluh darah pulmonary. Menghambat fosfodiesterase dimana agen ini dapat meningkatkan cAMP, menyebabkan relaksasi pada otot halus bronkial.
Contoh : aminofilin
5.      Inhibitor 4-fosfodiesterase
Selektif phosphodiesterase-4 (PDE-4) inhibitor mengurangi eksaserbasi, memperbaiki dyspnea, dan meningkatkan fungsi paru-paru pada pasien dengan PPOK berat.
Contoh : roflumilast
6.      Kortikosteroid
Golongan ini bekerja memperbaiki fungsi paru pada akut eksaserbi. Kortikosteroid inhalasi lebih cepat sampai pada rute administrasi jalan nafas, dan seperti obat inhalasi lainnya, sangat sedikit diabsorbsi. Agen ini sangat meguntungkan untuk mengurangi progres untuk pasien PPOK yang mengalami penurunan cepat.
Contoh : prednisone, metilprednisolone, fluticasone inhaled, budesonid inhaled
7.      Antibiotik
Pada pasien PPOK, infeksi kronik atau kolonisasi di saluran nafas bawah  biasanya dari bakteri S pneumoniae, H influenzae, and M catarrhalis. Pemakaian antibiotik ini juga untuk pengobatan suportif eksaserbi.
Contoh : amoksisilin, doksisiklin, kotrimoksazol, azitromicin, klaritromisin(Anonim, 2013).

Pengertian Penyakit Otitis Media

Sabtu, 28 Juli 2018

Otitis media merupakan inflamasi pada telinga bagian tengah dan terbagi menjadi Otitis Media Akut, Otitis Media Efusi, dan Otitis Media Kronik. Infeksi ini banyak menjadi problem pada bayi dan anak-anak. Otitis media mempunyai puncak insiden pada anak usia 6 bulan-3 tahun dan diduga penyebabnya adalah obstruksi tuba Eustachius dan sebab sekunder yaitu menurunnya imunokompetensi pada anak. Disfungsi tuba Eustachius berkaitan dengan adanya infeksi saluran napas atas dan alergi. Beberapa anak yang memiliki kecenderungan otitis akan mengalami 3-4 kali episode otitis pertahun atau otitis media yang terus menerus selama > 3 bulan (Otitis media kronik)1.

ETIOLOGI & PATOGENESIS
Otitis media akut ditandai dengan adanya peradangan lokal, otalgia, otorrhea, iritabilitas, kurang istirahat, nafsu makan turun serta demam. Otitis media akut dapat menyebabkan nyeri, hilangnya pendengaran, demam, leukositosis. Manifestasi otitis media pada anak-anak kurang dari 3 tahun seringkali bersifat non-spesifik seperti iritabilitas, demam, terbangun pada malam hari, nafsu makan turun, pilek dan tanda rhinitis, konjungtivitis4. Otitis media efusi ditandai dengan adanya cairan di rongga telinga bagian tengah tanpa disertai tanda peradangan akut. Manifestasi klinis otitis media kronik adalah dijumpainya cairan (Otorrhea) yang purulen sehingga diperlukan drainase. Otorrhea semakin meningkat pada saat infeksi saluran pernapasan atau setelah terekspose air. Nyeri jarang dijumpai pada otitis kronik, kecuali pada eksaserbasi akut. Hilangnya pendengaran disebabkan oleh karena destruksi membrana timpani dan tulang rawan.
            Otitis media didiagnosis dengan melihat membran timpani menggunakan otoscope. Tes diagnostik lain adalah dengan mengukur kelenturan membran timpani dengan Tympanometer. Dari tes ini akan tergambarkan ada tidaknya akumulasi cairan di telinga bagian tengah. Pemeriksaan lain menggunakan X-ray dan CT-scan ditujukan untuk mengkonfirmasi adanya mastoiditis dan nekrosis tulang pada otitis maligna ataupun kronik.
Pada kebanyakan kasus, otitis media disebabkan oleh virus, namun sulit dibedakan etiologi antara virus atau bakteri berdasarkan presentasi klinik maupun pemeriksaan menggunakan otoskop saja. Otitis media akut biasanya diperparah oleh infeksi pernapasan atas yang disebabkan oleh virus yang menyebabkan oedema pada tuba eustachius. Hal ini berakibat pada akumulasi cairan dan mukus yang kemudian terinfeksi oleh bakteri. Patogen yang paling umum menginfeksi pada anak adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis.
Otitis media kronik terbentuk sebagai konsekuensi dari otitis media akut yang berulang, meskipun hal ini dapat pula terjadi paska trauma atau penyakit lain. Perforasi membrana timpani, diikuti dengan perubahan mukosa (seperti degenerasi polipoid dan granulasi jaringan) dan tulang rawan (osteitis dan sclerosis). Bakteri yang terlibat pada infeksi kronik berbeda dengan otitis media akut, dimana P. aeruginosa, Proteus species, Staphylococcus aureus, dan gabungan anaerob menjadi nyata1.

TERAPI
Outcome
Tujuan yang ingin dicapai adalah mengurangi nyeri, eradikasi infeksi, dan mencegah komplikasi.
Terapi Pokok
Terapi otitis media akut meliputi pemberian antibiotika oral dan tetes bila disertai pengeluaran sekret. Lama terapi adalah 5 hari bagi pasien risiko rendah (yaitu usia > 2 th serta tidak memiliki riwayat otitis ulangan ataupun otitis kronik) dan 10 hari bagi pasien risiko tinggi. Rejimen antibiotika yang digunakan dibagi menjadi dua pilihan yaitu lini pertama dan kedua. Antibiotika pada lini kedua diindikasikan bila:
- antibiotika pilihan pertama gagal
- riwayat respon yang kurang terhadap antibiotika pilihan pertama
- hipersensitivitas
- Organisme resisten terhadap antibiotika pilihan pertama yang dibuktikan dengan tes sensitifitas
- adanya penyakit penyerta yang mengharuskan pemilihan antibiotika pilihan kedua.
Untuk pasien dengan sekret telinga (otorrhea), maka disarankan untuk menambahkan terapi tetes telinga ciprofloxacin atau ofloxacin. Pilihan terapi untuk otitis media akut yang persisten yaitu otitis yang menetap 6 hari setelah menggunakan antibiotika, adalah memulai kembali antibiotika dengan memilih antibiotika yang berbeda dengan terapi pertama. Profilaksis bagi pasien dengan riwayat otitis media ulangan menggunakan amoksisilin 20mg/kg satu kali sehari selama 2-6 bulan berhasil mengurangi insiden otitis media sebesar 40-50%1.