Farmasi | Gudang artikel
Tampilkan postingan dengan label Farmasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Farmasi. Tampilkan semua postingan

Contoh Surat Ijin Apotek Ke Dinas Kesehatan

Sabtu, 13 April 2019

Saat akan bekerja di apotek seorang apoteker harus membuat surat ijin yang di tujukan ke dinas terkait. Guna pendataan kepada pemerintah dan merupan salah satu syarat untuk dapat mulai bekerja di apotek. Buat kamu yang berprofesi sebagai apoteker dan ingin membuat Surat Ijin Apotek ( SIA ) yang di layangkan ke dinas kesehatan setempat . Berikut format dan contoh surat ijin apotek beserta daftar lampiran yang di perlukan. 

Perihal : Permohonan SIA                                                                 Yogyakarta, Oktober 2019
Lamp     : Satu berkas

Kepada Yth.
Bupati Sleman
Cq. Kepala DinKes Kabupaten Sleman
Di Sleman


Bersama ini  kami  mengajukan permohonan untuk mendapatkan ijin Apotek dengan data-data sebagai berikut :
               
1. Pemohon
 Nama                                            : Bambang Suherman, S. Far., Apt
 Nomor KTP                                  : 34892.240883.0004
 Alamat                                         : jl bantul km 12 Banguntapan, Bantul
                                                          Yogyakarta
 Telepon                                        : 081578949980
 Kecamatan                  : Banguntapan
 Kabupaten                   : Bantul
 Propinsi                                         : Daerah Istimewa Yogyakarta
2. Dengan menggunakan sarana : Milik pihak lain
 Nama Pemilik Sarana               : Pamungkas Raharja
 Alamat                                         :  Jl Kaliurang km 19,  Kalasan, Sleman
 NPWP                                           : 47.746.202.2-467.000

Bersama Permohonan ini kami lampirkan :
1.       Foto kopi Izin Gangguan/ HO
2.       Foto kopi Surat Penugasan Apoteker Pengelola Apotek
3.       NPWP PSA
4.       Denah ruang/ bangunan & denah lokasi apotek
5.       Surat keterangan/ Pernyataan status bangunan
6.       Hasil pemeriksaan kualitas air oleh laboratorium Dinas Kesehatan Sleman
7.       Foto kopi Ijazah Apoteker Pendamping
8.       Data Ketenagaan di apotek
9.       Daftar peralatan apotek dan Obat Generik Berlogo
10.    Surat pernyataan bahwa Apoteker Pengelola Apotek, tidak sedang bekerja pada perusahaan farmasi lain
11.    Surat pernyataan bahwa Apoteker Pendamping, tidak sedang bekerja pada perusahaan farmasi lain
12.    Format Laporan Pengelolaan Obat (OGB, Narkotik, Psikotropik)
13.    Foto kopi akta perjanjian kerjasama antara APA (Apoteker Pengelola Apotek) dengan PSA (Pemilik Sarana Apotek).
14.    Surat rekomendasi dari ISFI
Demikianlah permohonan kami, atas perhatian dan persetujuannya kami ucapkan terima kasih.




                                                                                                                                             Yogyakarta, 11 Oktober 2019
                                  Pemohon,



                      Bambang Suherman, S. Far., Apt




Kata Kunci : Surat ijin apotik , surat ijin apotek, contoh surat ijin apotek , contoh format Surat ijin apotek.


Rancangan Entity Relationship Diagram Pada Poliklinik

Selasa, 01 Januari 2019

Rancangan Entity Relationship Diagram : Poliklinik
Oleh: Suprapto/0525047801

Pendahuluan
Entity relationship diagram dalam sistem informasi pelayanan medis pada poliklinik penyakit dalam,  menggambarkan hubungan antar entitas dalam penyimpanan.
Beberapa entitas yang terkandung didalamnya antara lain yaitu entitas pasien, entitas medical record, entitas dokter, entitas perawat, entitas petugas, entitas obat, entitas pemasukan hasil periksa penunjang. Beberapa relasi/hubungan yang menghubungkan entitas yaitu antara lain hubungan pendaftaran, hubungan anamnesa, hubungan periksa medis, hubungan ppp (permintaan periksa penunjang) dan hubungan resep.

Membuat Entity Relationship Diagram
Hubungan-hubungan yang terjadi antar entitas penyimpanan tersebut dapat dijelaskan susun dengan langkah-langkah/tahapan-tahapan sebagai berikut:
Langkah 1 : Mengidentifikasi dan Menetapkan Himpuan Entitas yang terlibat
Seperti telah dijelaskan di atas, maka entitas yang dapat diidentifikasi adalah entitas pasien, medical record, dokter, perawat, obat, adminitrasi, kasir dan petugas non medis lainnya.
Berdasarkan hasil identifikasi entitas tersebut, makan dapat ditetapkan himpunan entitas utama sebagai berikut:
No
Entitas
Atribut
1
Pasien
id_pasien, nama_pasien, almt_pasien, no_telp_pasien, gol_darah, tinggi_bdn, berat_bdn, tgl_hasil_rontgen_awal
2
Medical Record (MR)
id_med_rec, tgl_berobat, jenis_penyakit, terapi, tgl_hasil_rontgen_baru, tgl_hsl_lab, id_pasien
3
Dokter
id_dokter, nama_dokter, jenis_dokter, alamat_dokter, no_telp_dokter





Langkah 2: Menentukan Atribut Kunci
          Atribu kunci dari ketiga himpunan entitas tersebut di atas adalah sebagai berikut:
-  pasien                           : id_pasien
-  medical record (mr)        : jenis_penyakit
-  dokter                           : id_dokter



Langkah 3: Menetapkan Himpunan Relasi dan Menetapkan Atribut Kunci pada Himpunan Relasi
a.    Menetapakan Himpunan Relasi
Entitas pasien dan Entitas mr : memeriksakan
Entitas dokter dan Entitas mr : memeriksa
b.    Menetapkan Atribut Kunci pada Himpunan Relasi
Himpunan memeriksakan >> id_pasien dan jenis_penyakit




Himpunan memeriksa >>>> id_dokter dan jenis_penyakit
Langkah 4: Menentukan Kardinalitas untuk himpunan Relasi 
Langkah 5: Melengkapi dengan Atribut Non Kunci

Transformasi Entity Relationship Diagram
Langkah 1: Transformasi Himpunan Entitas menjadi File Tabel



Penyakit Saluran Cerna Dyspepsia

Senin, 30 Juli 2018

Dyspepsia adalah suatu penyakit saluran cerna yang disertai dengan nyeri ulu hati ( epegastrium ), mual,muntah,kembung-kembung, rasa penuh atau rasa cepat kenyang dan sendawa.Dyspepsia setring ditemukan dalam kehidupan sehari- hari, keluhan ini sangat berpariasi, baik dalam jenis gejala yang ada maupun intensitas gejala tersebut dari waktu kewaktu ( Kapita Selekta Kedokteran).
1.      Klasifikasi
Dyspepsia dibagi menjadi dua yaitu :
a.       Dyspepsia Organik
Terjadi apabila telah diketahuio adanya kelainan organik sebagai penyebab atau adanya kelainan sistemik yang jelas misalnya ( tukak peptik, gastritis,pankriatitis,kolesitis dan lain-lainnya )
b.      Dyspepsia Non Organik ( Dyspepsia fungsional/non ulkos )
Terjadi apabila tidak ada kejelasan penyebabnya atau tanpa didapat kelainan struktur/organik.

A.    EPIDEMIOLOGI
            Penyakit ini sering diderita oleh masyarakat karena penyakit ini berhubungan dengan:
1.      Keadaan sosial ekonomi masyarakat
2.      Pola makan
3.      Keadaan makanan
            Prevalensi dyspepsia di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan antara 6-15 % terutama pada usia 20-50 tahun. Di Inggris populasi yang menderita dyspepsia sekitar 10%, dan  4500 orang meninggal setiap tahunnya. Di Amerika 15.000 orang meninggal karena dyspepsia setiap tahunnya.
a.       15 – 30% dari populasi umum pernah mengalami dispepsia
b.      Dijumpai 30% dari pasien dokter praktek umum
c.       60% dari semua pasien di klinik gastroenterologi
d.      Di Negara barat: prevalensi 7 – 41% (yang berobat hanya 10-20%)
e.       Di Indonesia : data secara nasional masih belum diketahui

B.     ETIOLOGI
        Etiologi dyspepsia kurang dipahami, meskipun bakteri gram negatif H. Pylori telah sangat diyakini sebagai faktor penyebab. Diketahui bahwa dyspepsia terjadi hanya pada area saluran GI yang terpapar pada asam hidrochlorida dan pepsin. Penyakit ini terjadi dengan frekuensi paling besar pada individu antara usia 40 dan 60 tahun. Tetapi, relatif jarang pada wanita menyusui, meskipun ini telah diobservasi pada anak-anak dan bahkan pada bayi. Pria terkenal lebih sering daripada wanita, tapi terdapat beberapa bukti bahwa insiden pada wanita hampir sama dengan pria. Setelah menopause, insiden ulkus peptikum pada wanita hampir sama dengan pria. Sebab pada wanita yang sudah menopause terjadi peningkatan penggunaan NSAID. Ulkus peptikum pada korpus lambung dapat terjadi tanpa sekresi asam berlebihan.
Predisposisi :
          Upaya masih dilakukan untuk menghilangkan penyebab ulkus. Beberapa pendapat mengatakan stress atau marah yang tidak diekspresikan adalah faktor predisposisi. Ulkus nampak terjadi pada orang yang cenderung emosional, tetapi apakah ini faktor pemberat kondisi, masih tidak pasti. Kecenderungan keluarga yang juga tampak sebagai faktor predisposisi signifikan. Hubungan herediter selanjutnya ditemukan pada individu dengan golongan darah lebih rentan daripada individu dengan golongan darah A, B, atau AB. Faktor predisposisi lain yang juga dihubungkan dengan dyspepsia mencakup penggunaan kronis obat antiinflamasi non steroid(NSAID). Minum alkohol dan merokok berlebihan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dyspepsia dapat dihubungkan dengan infeksi bakteri dengan agen seperti H. Pylori. Adanya bakteri ini meningkat sesuai dengan usia. Ulkus karena jumlah hormon gastrin yang berlebihan, yang diproduksi oleh tumor (gastrinomas-sindrom zolinger-ellison)jarang terjadi. Dyspepsia dapat terjadi pada pasien yang terpajan kondisi penuh stress.

C.    MANIFESTASI KLINIS
Klasifikasi klinis praktis didasarkan atas keluhan/ gejala yang dominan, dibagi dalam tiga katagori :
1.      Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkos ( Ulkus-Like Dyspepsia )
dengan gejala nyeri ulu hati ( epegastrium ) terlokalisasi, nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid, nyeri saat lapar, nyeri epesodic.
2.      Dyspepsia dengan gejala seperti dismotilitas ( dyspepsia like motility )
dengan gejala mual Kenyang, perut cepat tersa penuh saat makan, mual. muntah, upper abdominal.
3.      Dyspepsia non specifik ( tidak ada gejala seperti dua jenis diatas )
pembagian akut dan kronis berdasarkan atas jangka waktu .

D.    PATOFISIOLOGI
            Menurut dr. Wewen Siswanto (1999), patofisiologi Dyspepsia Non Ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut mungkin berperan penting (multifaktorial) :
1.      Abnormalitas Motorik Gaster
Dengan Studi Scintigrapic Nuklear dibuktikan lebih dari 50 %klien Dyspepsia Non Ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula pada studi Monometrik  didapatkan gangguan mobilitas antrum post prandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala dyspepsia tidak jelas.
Penelitian akhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang “kaku” bertanggung jawab terhadap dyspepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari korpus gaster menujuke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks fagal. Pada beberapa pasien Dyspepsia Non Ulkus, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.
2.      Perubahan Sensitivitas Gaster
Lebih dari 50 % pasien Dyspepsia Non Ulkus menunjukkan sensitivitas terhadap distensi gaster ayau intestinunm, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sudikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini bagian antrum post prandial dapat menginduksi nyeri bagian ini.
3.      Psikosomatis (Faktor Psiko Sosial)
Emosi, intelegensi dan kepribadian sangat berpengaruh terhadap cara manusia menyelesaikan konfliknya. Bila konflik tidak teratasi akan menimbulkan stres psikis dan selanjutnya bisa menimbulkan gangguan somatic baik gangguan fungsional maupun organik.       

E.     GEJALA DAN TANDA
1.      Mual
2.      Muntah     
3.      Nyeri ulu hati
4.      Nyeri saat lapar
5.      Perut terasa penuh saat makan
6.      Perut terasa kenyang saat makan
7.      Nyeri tekan

F.     DIAGNOSIS
1.      Radiologi  yaitu, OMD dengan kontras ganda.
2.      Serologi Helicobacer pylori.
3.       Urea breath test (belum tersedia di Indonesia).
4.       Endoskopi  :
a.       CLO (rapid urea test).
b.      Patologi anatomi.
c.       Kultur miroorganisme (MO) jaringan.
d.      PCR (polmerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian.

Penyakit paru obstruktif kronik

Minggu, 29 Juli 2018

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK/CPOD) adalah suatu penyakit pernafasan kronik yang dikarakteristikkan dengan kehilangan fungsi paru secara bertahap secara progresif. Bercirikan penyumbatan (obstruktif)bronchi disertai pengembangan mukosa  (udema)  dan sekresi dahak  (sputum) berlebihan (Tjay TH dan Rahardja K, 2002). Simptom pada pasien memiliki tipe seperti kronik bronkitis dan emfisema, tapi asma juga termasuk simptom triad klasik (Anonim, 2013).


II.                Patofisiologi
Perubahan patologi pada PPOK terlihat di pernafasan besar (sentral), bronkiolus kecil (periferal), dan jaringan parenkim paru. Kebanyakan penyakit PPOK adalah hasil dari paparan stimulasi yang berbahaya, biasanya asap rokok. Respon inflamasi diperkuat pada pasien yang rentan terhadap perkembangan penyakit. Aktivasi stimulus dari sel inflamasi dan mediator akibat paparan partikel dan gas yang berbahaya melalui inhalasi. Mekanisme patogenik tidak terlihat jelas tetapi kemungkinan banyak beragam. Naiknya jumlah leukosit dan pembebasan makrofag yang tidak dapat dinetralkan oleh antiprotease, mengakibatkan kerusakan paru-paru (Anonim, 2013).
Penyebab utama yang telah ditemukan yaitu elastase leukosit, dengan peran yang sinergis antara proteinase-3 dan makrofag yang berasal dari matrix metalloproteinase (MMPs), proteinase sistein, dan aktivator plasminogen. Selanjutnya, peningkatan stres oksidatif yang terjadi karena radikal bebas didalam asap rokok, oksidan keluar dari pagosit, dan polimorfinuklear leukosit akan menuntun pada apoptosis atau nekrosis dari sel yang terkena (Anonim, 2013).
Usia dan autoimun mempercepat mekansime patogenesis PPOK. Berdasarkan klasifikasinya, PPOK dibagi menjadi dua yaitu :
1.      Bronkitis Kronik
Mukus dan kelenjar hyperplasia adalah tanda histologik dari bronkitis kronis. Perubahan struktur pernafasan seperti atrofi, jarak squamus metaplasia, abnormal ciliary, banyaknya faktor hyperplasia dari otot halus, inflamasi, dan dinding tebal bronkial.
Kerusakan pada respon mucociliary endothelium bersih dari mukus dan bakteri. Inflamasi dan sekret menyediakan komponen obstruktif dari bronkitis kronik. Ada netrofil di lumen pernafasan, dan akumulasi infiltrat neutrofilik yang terakumulasi di sub mukosa. Pernafasan bronkeolus memperlihatkan proses inflamasi mononuclear, dimana adanya kemacetan lumen oleh penyumbatan mukus, metaplasia sel goblet, hiperplasia otot halus, dan distori yang berkaitan dengan fibrosis. Perubahan ini, dikombinasikan dengan hilangnya kelengkapan pendukung alveolar, menyebabkan aliran udara yang sedikit dengan membiarkan kerusakan bentuk dan penyempitan dinding aliran udara pernafasan.
Perbedaan kontras dengan emfisema, kronik bronkitis dihubungkan dengan relatif tidak rusaknya pulmonary capillary bed. Respon tubuh terjadi karena penurunan ventilasi dan kenaikan cardiac output. Hasil ini mengindikasikan hipoksemia dan policytemia karena sirkulasi yang cepat tetapi ventilasi paru-paru kurang baik. Terjadi pula vasokontriksi pada arteri pulmonary. Dengan adanya hipoksemia, policythemia, dan peningkatan retensi CO2, tanda-tanda gagal jantung akan terlihat pada pasien ini dan dikenal dengan sebutan ‘blue bloaters’ (Anonim, 2013).
2.      Emfisema
Emfisema adalah diagnosis patologik yang ditetapkan dari pembesaran permanen ruang udara distal sampai terminal bronkiolus. Hal ini mengindikasikan kemunduran yang dramatis dari permukaan area alveolar yang tersedia untuk pertukaran udara. Kehilangan alveoli menuntun keterbatasan aliran udara oleh 2 mekanisme. Pertama, kehilangan dinding alveolar menghasilkan penurunan elastisitas, yang menyebabkan keterbatasan aliran udara. Kedua, kehilangan struktur dukungan alveolar menyebabkan penyempitan jalan udara, dimana membuat keterbatasan aliran udara lebih lanjut.
Emfisema mempunyai 3 pola morfologi :
a.       Emfisema centriacinar
Yaitu emfisema yang dikarakteristikkan oleh terbatasnya kerusakan fokal ke saluran bronkeolus pernafasan dan bagian sentral dari sel asinus. Emfisema ini disebabkan oleh asap rokok dan biasanya terjadi keparahan di lobus atas.
b.      Panaciar
Emfisema panaciar melibatkan semua distal alveolus sampai ke akhir bronkeolus. Tipe panaciar ini memiliki tingkat keparahan pada zona paru-paru bagian bawah dan umumnya berkembang pada pasien dengan defisiensi alpha 1-antitrypsin (AAT)
c.       Distal acinar
Emfisema distal acinar, atau disebut juga emfisema paraseptal, adalah bentuk paling umum dan melibatkan struktur aliran udara distal, pembuluh alveolus, dan pundi-pundi paru-paru. Bentuk emfisema ini terbatas sampai ke fibrous septa atau sampai pleura dan akan membentuk formasi bullae. Bullae terjadi karena pneumotorax. Emfisema paraseptal tidak termasuk dalam kerusakan aliran udara (Anonim, 2013).
III.             Penatalaksanaan PPOK
Sasaran penatalaksanaan PPOK adalah untuk memperbaiki status fungsional pasien dan kualitas hidupnya dengan mengoptimalkan fungsi paru-paru, mengurangi gejala, dan mencegah keterulangan eksaserbi. Sekarang ini, tidak ada pengobatan terlepas dari transplantasi paru-paru yang memperlihatkan perkembangan fungsi paru-paru yang signifikan atau mengurangi angka kematian. Ketika telah terdiagnosis PPOK, sangat penting untuk mengedukasi pasien tentang penyakit ini dan juga untuk mendorong partisipasinya dalam terapi pengobatan (Anonim, 2013).
Pendekatan penatalaksanaan untuk terapi PPOK seperti yang disusun oleh GOLD (Global initiatif for chronic Obstruction Lung Disease)
a.       Stage 1 (mild obstruction) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza); bronkodilator aksi pendek bila diperlukan
b.      Stage 2 (moderate obstruction) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza), bronkodilator aksi pendek bila diperlukan; bronkodilator aksi panjang; rehabilitasi cardiopulmonory
c.       Stage 3 (severe obstruction) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza); bronkodilator aksi pendek; bronkodilator aksi panjang; rehabilitasi cardiopulmonary; kortikosteroid inhalasi bila terjadi pengulangan eksaserbi
d.      Stage 4 (very severe obstruction or moderate obstruction with evidence of chronic respiratory failure) : mereduksi faktor resiko (vaksin influenza); bronkodilator aksi pendek; bronkodilator aksi panjang; rehabilitasi cardiopulmonary; kortikosteroid inhalasi bila terjadi pengulangan eksaserbi, terapi oksigen yang lama; pertimbangkan untuk operasi pembedahan seperti LVRS dan transplantasi paru-paru (Anonim, 2013).
Pengobatan oral dan inhalasi berfungsi untuk pasien yang penyakitnya stabil untuk mengurangi dispnea dan memperbaiki daya tahan pergerakan tubuh. Kebanyakan pengobatan yang digunakan untuk penyebab potensial yang reversible yang diakibatkan dari kurangnya aliran udara pada status penyakit  yang sebagian besar telah mengalami obstruksi pada kontraksi oto halus bronkus, kongesti dan pembengkakan pada mukosa bronkus, inflamasi jalan udara, dan sekresi aliran udara yng meningkat (Anonim, 2013).
1.      Beta 2 adrenergik agonis aksi singkat
Golongan ini mengaktifkan reseptor beta 2 adrenergik pada permukaan sel otot halus, yang akan menaikkan siklus intraseluler cAMP dan merelaksasi otot halus.obat ini digunakan untuk mengurangi simptomatis dari penyakit PPOK.
Contoh : albuterol
2.      Beta 2 adrenergik agonis aksi panjang
Memiliki cara kerja yang sama tetapi aktif dipakai untuk pasien dengan gejala simptomatis yang persisten.
Contoh : salmeterol
3.      Antikolinergik
Antikolinergik melawan asetilkolin untuk reseptor postganglion muskarinik. Dengan cara tersebut mediator kolinergik terhambat, menghasilkan bronkodilatasi. Obat ini juga mem-blok mediasi yang menyebabkan bronkokontriksi.
Contoh : ipraptropium, Tiotropium
4.      Derivat xantin
Derivat xantin seperti teofilin dapat merelaksasi otot halus bronkus dan pembuluh darah pulmonary. Menghambat fosfodiesterase dimana agen ini dapat meningkatkan cAMP, menyebabkan relaksasi pada otot halus bronkial.
Contoh : aminofilin
5.      Inhibitor 4-fosfodiesterase
Selektif phosphodiesterase-4 (PDE-4) inhibitor mengurangi eksaserbasi, memperbaiki dyspnea, dan meningkatkan fungsi paru-paru pada pasien dengan PPOK berat.
Contoh : roflumilast
6.      Kortikosteroid
Golongan ini bekerja memperbaiki fungsi paru pada akut eksaserbi. Kortikosteroid inhalasi lebih cepat sampai pada rute administrasi jalan nafas, dan seperti obat inhalasi lainnya, sangat sedikit diabsorbsi. Agen ini sangat meguntungkan untuk mengurangi progres untuk pasien PPOK yang mengalami penurunan cepat.
Contoh : prednisone, metilprednisolone, fluticasone inhaled, budesonid inhaled
7.      Antibiotik
Pada pasien PPOK, infeksi kronik atau kolonisasi di saluran nafas bawah  biasanya dari bakteri S pneumoniae, H influenzae, and M catarrhalis. Pemakaian antibiotik ini juga untuk pengobatan suportif eksaserbi.
Contoh : amoksisilin, doksisiklin, kotrimoksazol, azitromicin, klaritromisin(Anonim, 2013).