| Gudang artikel

Peresepan Obat Pada Anak

Rabu, 25 April 2018

Seorang praktisi medik dalam praktek sehari-hari sering dihadapkan pada berbagai permasalahan pengobatan yang kadang memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus, seperti misalnya pengobatan pada kelompok  umur tertentu (anak dan usia lanjut), serta pada kehamilan. Meskipun prinsip dasar dan tujuan terapi pada kelompok-kelompok tersebut tidak banyak berbeda, tetapi mengingat masing-masing memiliki keistimewaan khusus dalam penatalaksanaannya, maka diperlukan pendekatan-pendekatan yang sedikit berbeda dengan kelompok dewasa. Pertimbangan pengobatan pada anak, tidak saja diambil berdasarkan ketentuan dewasa, tetapi perlu beberapa penyesuaian seperti dosis dan perhatian lebih besar pada kemungkinan efek samping, karena adanya imaturitas fungsi organ-organ tubuh, sehingga mungkin diperlukan penyesuaian dosis serta pemilihan obat yang benar-benar tepat. Selain itu, pengobatan pada anak juga memerlukan pertimbangan lebih kompleks, antara lain karena berbagai masalah cara pemberian obat, pemilihan bentuk sediaan, dan masalah ketaatan (patient's compliance). Dalam makalah ini akan dibahas pemakaian obat pada kelompok pasien anak, terutama  absorbsi pada anak, faktor-faktor yang mempengaruhi terapi serta masalah pemakaian obat akan dibahas secara singkat agar dapat memberikan gambaran umum mengenai permasalahan pada anak.


Pada peresepan pada anak pemberian obat yang diracik dengan mencampur berbagai obat menjadi puyer atau dimasukkan ke dalam kapsul atau sirup oleh petugas apotek. Peresepan obat puyer untuk anak Indonesia sangat sering dilakukan karena beberapa faktor :
1.      Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan anak secara lebih tepat
2.      Biayanya biar ditekan menjadi lebih murah
3.      Obat yang diserahkan kepada pasien hanya satu macam, walaupun mengandung banyak komponen
4.      Di Negara maju, praktik ini sudah sangat berkurang karena:
5.      Kemungkinan kesalahan manusia dalam pembuatan obat racik puyer ini tidak dapat diabaikan, misalnya kesalahan menimbang obat, atau membagi puyer dalam porsi porsi yang tidak sama besar. Control kualitas sulit sekali dapat dilaksanakan untuk membuat obat racikan ini.
6.      Stabilitas obat tertentu yang dapoat menurunbila bentuk aslinya digerus, misalnya bentuk tablet salut selaput (film coated), tablet salut selaput( enteric coated) , atau obat yang tidak stabil (misalnya asam klavulanat) dan obat yang higroskopis(misalnya preparat yang mengadung enzim pencernaan).
7.      Toksisitas obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat bila digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya.
8.      Waktu penyediaan obat lebih lama. Rata-rata diperlukan 10 menit untuk membuat satu resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan kapsul, sedangkan untuk mengambil obat yang sudah jadi hanya pertlu kurang dari 1 menit kelambatan ini berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien terhadap layanan di apotek
9.      Efektifitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender atau mortir dan kertas pembungkus. Hal ini terutama terjadi pada obat – obat yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, misalnya puyer yang mengandung klorpromazin.
10.  Pembuatan puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang kronis dibagian farmasi akibat bubuk obat yang berterbangan disekitarnya. Hal ini dapat merusak kesehatan petugas setempat.
11.  Obat racikan puyer tidak dapat dibuat dengan tingkat higienis yang tinggi sebagaimana halnya obat yang dibuat pabrik karena kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu pembuatanya.
12.  Pembuatan obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal karena menggunakan jam kerja tenaga dibagian farmasi sehingga asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum tentu tercapai.
13.  Dokter yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat sulit dibuat puyer (difficult to compound drugs) misalnya preparat enzim.
14.  Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.
Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.
Jumlah obat :
1.      Rata-rata 5 ( dengan rentang 2 – 11 obat)
2.      Batuk merupakan kondisi yang jumlah obat dalam peresepannya paling  tinggi yaitu 11 obat.
3.      Tingkat peresepan puyer mencapai 55,4% pada diare akut, 72,6 % pada demam, 77,4 pada ISPA, dan 87% pada batuk.
Anbiotikika:
1.      Demam yaitu 87%
2.      Diare 7%
3.      ISPA 54,4 %
4.      Anak batuk tanpa demam sebesar 47%
Generik :
1.      Tingkat peresepan sangat rendah
2.      0% pada kasus demam
3.      5% pada diare akut
4.      7% pada ISPA
5.      10,5% pada batuk tanpa demam
Steroid :
1.      Anak batuk sebesar 60,9%
2.      ISPA sebesar 50,9%
3.      Demam sebesar 53,5%
4.      Diare 18,5%
5.      Tingginya  tingkat pemberian steroid sangat memprihatinkan, terlebih karena tidak sesui tata laksana ( guideline ) penanganan penyakit-penyakit tersebut dan steroid yang diberikan merupakan steroid yang cukup “ keras “.
Suplemen :
1.      Peresepan  mulitivitamin, enzim, perangsang nafsu makan atau imunomodulator cukup tinggi.
2.      21,9% pada ISPA
3.      Demam 34,9%
4.      Batuk 2,4%
5.      Diare 61,9%
Biaya pembelian obat:
1.      ISPA  Rp 15.000 – Rp 747.000 ( median Rp 117.500 )
2.      Demam Rp 20.800 – Rp 137.000 ( maksimum Rp 326.000 )
3.      Daire akut Rp 56.000 – Rp 161.000 ( maksimum Rp 349.000 )
4.      Analisis biaya pada peresepan pediatri di Jakarta menunjukkan tingginya biaya ketika dokter tidak bekerja sesuai tata laksana.

Penggolongan usia anak berdasarkan perubahan biologis :
·         neonatus/bayi baru lahir (4 minggu pertama setelah kelahiran)
terjadi perubahan fungsi fisiologi yang sangat penting namun masih premature
·         bayi (1 bulan sampai 12 bulan)
merupakan masa awal pertumbuhan yang pesat
·         anak-anak (1-12 tahun)
merupakan masa pertumbuhan secara bertahap.
terbagi menjadi anak usia 1-3 tahun, anak usia pra sekolah 3-5 tahun dan anak usia sekolah 6-12 tahun remaja (13-17 tahun), merupakan akhir tahap perkembangan secara pesat hingga menjadi orang dewasa.


II. ISI
A.    Absorpsi
Secara umum, kecepatan absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik tergantung pada cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat, seperti misalnya berat molekul, dan sifat lipofilik obat. Sifat fisikokimiawi obat terutama menentukan kecepatan dan luasnya transfer molekul obat melalui membran. Hal ini berlaku pada semua golongan usia.
Pada neonatus, sekresi asam lambung relatif rendah, tetapi apakah ini mempengaruhi absorpsi dan kemanfaatan terapi oral, belum banyak diselidiki. Umumnya absorpsi oral pada bayi dan anak tidak jauh berbeda dengan dewasa.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam absorpsi obat pada anak adalah :
1)      Beberapa saat setelah lahir akan terjadi perubahan-perubahan biokimiawi dan fisiologis pada traktus gastrointestinal. Pada 24 jam pertama kelahiran/kehidupan, terjadi peningkatan keasaman lambung secara menyolok. Oleh sebab itu obat-obat yang terutama dirusak oleh asam lambung (pH rendah) sejauh mungkin dihindari.
2)      Pengosongan lambung pada hari I dan II kehidupan relatif lambat (6-8 jam). Keadaan ini berlangsung selama + 6 bulan untuk akhirnya mencapai nilai normal seperti pada dewasa. Pada tahap ini obat yang absorpsi utamanya di lambung akan diabsorpsi secara lengkap dan sempurna, sebaliknya untuk obat-obat yang diabsorpsi di intestinum efeknya menjadi sangat lambat/tertunda.
3)      Absorpsi obat setelah pemberian secara injeksi i.m. atau subkutan tergantung pada kecepatan aliran darah ke otot atau area subkutan tempat injeksi. Keadaan fisiologis yang bisa menurunkan aliran darah antara lain syok kardiovaskuler, vasokonstriksi oleh karena pemberian obat simpatomimetik, dan kegagalan jantung. Absorpsi obat yang diberikan perkutan meningkat pada neonatus, bayi dan anak, terutama jika terdapat ekskoriasi kulit atau luka bakar. Dengan meningkatnya absorpsi ini kadar obat dalam darah akan meningkat pula secara menyolok, yang kadang mencapai dosis toksik obat. Keadaan ini sering dijumpai pada penggunaan kortikosteroid secara berlebihan, asam borat (yang menimbulkan efek samping diare, muntah, kejang hingga kematian), serta aminoglikosida/polimiksin spray pada luka bakar yang dapat menyebabkan tuli.
4)      Pada keadaan tertentu di mana injeksi diperlukan, sementara oleh karena malnutrisi, anak menjadi sangat kurus dan volume otot menjadi kecil, pemberian injeksi harus sangat hati-hati. Pada keadaan ini absorpsi obat menjadi sangat tidak teratur dan sulit diduga oleh karena obat mungkin masih tetap berada di otot dan diabsorpsi secara lambat. Pada keadaan ini otot berlaku sebagai reservoir. Tetapi bila perfusi tiba-tiba membaik, maka jumlah obat yang masuk sirkulasi meningkat secara mendadak dan menyebabkan tingginya konsentrasi obat dalam darah yang dapat mencapai kadar toksik. Obat-obat yang perlu diwaspadai penggunaannya antara lain: glikosida jantung, aminoglikosida, dan anti kejang.
5)      Gerakan peristaltik usus bayi baru lahir relatif belum teratur, tetapi umumnya lambat. Sehingga jumlah obat-obat yang diabsorpsi di intestinum tenue sulit diperkirakan. Jika peristaltik lemah maka jumlah obat yang diabsorpsi menjadi lebih besar, yang ini memberi konsekuensi berupa efek toksik obat. Sebaliknya jika terjadi peningkatan peristaltik, misalnya pada diare, absorpsi obat cenderung menurun oleh karena lama kontak obat pada tempat-tempat yang mempunyai permukaan absorpsi luas menjadi sangat singkat.
6)      Metabolisme
-          Glukoronidasi belum sempurna sampai umur 3 tahun
-          garam empedu masih sedikit
-          obat lipofilik sulit diabsorpsi pada infant.



DIABETES MELLITUS DAN KOMPLIKASINYA

Selasa, 24 April 2018

Untuk download artikel versi Dokumen MS Word bisa klik di sini 

 PENDAHULUAN

·         Pengertian Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
            Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 150 juta orang di dunia mengidap diabetes mellitus.Jumlah ini diperkirakan meningkat dua kali lipatnya pada tahun 2005, dan sebagian besar peningkatan tersebut terjadi di negara-negara berkembang. Populasi penderita DM di Indonesia diperkirakan berkisar 1,5-2,5 persen (kecuali di Manado 6%). Bila jumlah penduduk Indonesia 200 juta jiwa, berarti lebih kurang 3-5 juta penduduk Indonesia menderita DM dan pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 12 juta penderita.

·         Patofisiologi

Pankreas merupakan organ utama yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat.Secara histologi, terdiri dari sel islet Langerhans dan acini. Terda-pat tiga tipe sel islet Langerhans, yaitu: sel alfa, sel beta dan sel delta. Sel alfa mensekresi hormon glucagon sebagai respon dari penurunan kadar gula dalam darah. Sedangkan sel beta menghasilkan hormon insulin sebagai respon dari peningkatan kadar gula dalam darah melebihi 100 mg/dL.
Dalam keadaan normal, metabolisme karbohidrat yang di atur oleh ke-dua hormon tersebut (glucagon dan insulin), akan menjamin kadar gula darah berada pada kisaran yang cukup agar dapat menyuplai kebutuhan glukosa dari sel-sel susunan saraf pusat. Insulin dapat menurunkan kadar gula dalam darah dengan cara: Menghambat glikogenolisis (konversi glikogen menjadi glukosa). Menstimulasi lipogenesis (memfasilitasi masuknya glucosa ke dalam jeringan lemak dan otot) dan Menstimulasi glicogénesis (penyimpanan glucosa menjadi cadangan gula glikogen). Ketika kadar gula dalam darah menurun, sel alfa mengeluarkan glucagon dan menstimulasi hormon-hormon counterregulatory (misalnya hormon kortisol, adrenalin, growth hormone), yang semuanya itu dapat meningkatkan kadar gula darah dengan cara: Menstimulasi glikogenolisis (konversi cadangan glikogen menjadi glucosa dalam darah), Menstimulasi glukoneogenesis (konversi asam amino, gliserol dan asam laktat menjadi glucosa dalam darah), diikuti dengan lipólisis (pembongkaran lemak menjadi asam lemak).
Pada penderita diabetes mellitus, otomatisasi pengaturan kadar gula dalam darah tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Secara ringkas DM terjadi akibat terjadinya insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin ini disebabkan oleh 2 hal, yaitu: Gangguan produksi insulin oleh Langerhans sel beta pancreas atau Menurunnya kepekaan reseptor insulin dalam sel-sel tubuh. Kerusakan sel beta Langerhans sering dapat mengganggu produksi insulin.Sedangkan menurunnya kepekaan reseptor insulin sel-sel tubuh sering berkaitan dengan obesitas pada pasien.
Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003)
1 Diabetes Mellitus Tipe 1: Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
a.       Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
b.      Idiopatik
2 Diabetes Mellitus Tipe 2 Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin
3 Diabetes Mellitus Tipe Lain
a.       Defek genetik fungsi sel β :
-    kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3),
-    kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
-    kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1)
-    DNA mitokondria
b.      Defek genetik kerja insulin
c.       Penyakit eksokrin pankreas:
-    Pankreatitis
-    Trauma/Pankreatektomi
-    Neoplasma
-    Cistic Fibrosis
-    Hemokromatosis
-    Pankreatopati fibro kalkulus
d.      Endokrinopati:
-    Akromegali
-    Sindroma Cushing
-    Feokromositoma
-    Hipertiroidisme
e.       Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asamnikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
f.       Diabetes karena infeksi
g.      Diabetes Imunologi (jarang)
h.      Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington,Chorea, Prader Willi
4 Diabetes Mellitus Gestasional: Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifatsementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
5. Pra-diabetes:
a.       IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa Terganggu)
b.      IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa Tergaggu).

·         Diagnosis DM

Seseorang didiagnosis DM bila memenuhi kriteria: Terdapat gejala klasik DM yaitu Poliuria (banyak kencing terutama malam hari), Polidipsia (selalu ingin minum/selalu haus), Polifagia (banyak makan/selalu lapar) & penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya; Disertai keluhan lain seperti: badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal di kulit, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulvae pada genitalia wanita.

Gejala klasik tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pemeriksaan kadar gula dalam plasma atau kadar gula dalam darah. Bila kadar gula dalam darah sewaktu (GDS) > 200 mg/dL atau kadar gula dalam plasma saat puasa (8-10 jam puasa) > 126 mg/dL maka sudah cukup untuk menegakkan diagnosis Diabetes Mellitus. Kriteria diagnosis dapat dilihat dalam tabel 2. Pasien dengan IFG atau IGT termasuk dalam risiko tinggi yang kemudian dapat berkembang menjadi Diabetes, oleh sebab itu dimasukan dalam kriteria “Pra Diabetes”

Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM

Diagnosis
Kadar Glucosa Plasma Puasa
Kadar Gula dalam Plasma
2 Jam Post Prandial (OGTT)
Normal
< 100 mg/dL (5,6 mmol/L)
< 140 mg/dL (7,8 mmol/L)
Pra Diabetes:
*  IFG
100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L)
-
Pra Diabetes:
*  IGT
-
> 140 mg/dL (> 7,8 mmol/L) dan
< 200 mg/dL (< 11,1 mmol/L)
Diabetes
> 126 mg/dL (> 7 mmol/L)
> 200 mg/dL (> 11,1 mmol/L)
OGTT = Oral Glucosa (75 gram) Tolerance Test; IFG = Impaired Fasting Glucose;
IGT = Impaired Glucose Tolerance 





HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Kasus
Nama pasien                            : Ny. Rochiningsih
TB/BB                                     : 150 cm/48 kg
No. CM                                   : 653621
Alamat                                                : Dukuh Waluh
Ruang                                      : Dahlia
Kelas                                       : I
TTL                                         : 53 tahun
Tanggal MRS                          : 18 Maret 2010
Riwayat penggunaan obat      : Novomic, Humulin R, Captopril, Ranitidin, OBH, Lansoprazol, Valsartan NI, Neurodex, Hedix, anti TBC
Riwayat penyakit                    : DM, hipertensi, TB paru

Ny. Rochingsih datang ke IGD RSUD Dr. Margono Soekarjo dengan keluhan kaki kanan dan kirinya bengkak, sakit yang menjalar ke bahu, sesak napas, dan batuk.Pasien didiagnosis menderita ulkus diabetik, TB, hipertensi, dan CHF.Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Mellitus tipe 2 hipertensi, dan TB. Pasien pernah menerima obat maupun suplemen antara lain Essence of fish (suplemen), Novomic dan Humulin R (insulin), captopril, ranitidine, OBH, Lansoprazole, Neurodex, Hedix, dan anti TBC.
Hasil pengematan

Analisis Kasus
Pasien menderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang mengalami komplikasi yang berupa CHF, hipertensi, nephropathy, neuropathy, dan ulkus diabetikus.
IBW    = 45,4 + (152,4 – 150) x 0,89
            = 47,54 kg
Clcr       = 0,85 x
          = 14,49 ml/menit
Pasien pernah menjalani regimen pengobatan untuk TB paru selama 1 tahun.Pasien mengalami fasting hyperglycemia yang menunjukkan bahwa pasien telah mengalami penurunan sensitivitas insulin.Pasien juga mengalami syndrome X dengan gejala yang dialami, yaitu penurunan sensitivitas insulin, fasting hyperglycemia, hiperuricemia, central obesity (pasien mengalami kegemukan hanya pada bagian perut dan sekitar payudara), dan hipertensi.


Dari hasil rontgen didapatkan hasil masih ada bercak putih di paru-paru pasien yang menandakan bahwa TB paru pasien belum sembuh.Selama di RSUD Margono Soekarjo pasien pernah menjalani operasi pada ulkus diabetikusnya.
Evaluasi Obat Terpilih
1.      Diabetes Mellitus
·         Novomix
Dosis               : 12-0-12
Frekuensi         : 2 kali sehari
Durasi              : 4 hari
Efek Samping : hipoglikemia, edema
Interaksi Obat : -
Evaluasi           : pemilihan obat kurang tepat karena pasien mengalami udem pada kaki kanan dan kiri, padahal novomix mempunyai efek samping edema. Hal ini akan memperparah udem yang diderita oleh pasien. Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa setelah penggunaan novomix udem pasien menjadi bertambah parah, yaitu yang tadinya hanya kaki kanan dan kirinya yang mengalami udem menjadi seluruh tubuh.
·         Actrapid
Dosis               : 12-12-8, 10-10-10, 12-12-12, 8-8-8
Frekuensi         : 3 kali sehari
Durasi              : 16 hari
Efek samping  : reaksi alergi local dan sistemik, lipodistrofi.
Interaksi obat  : -
Evaluasi           : pemilihan obat kurang tepat karena pasien mengalami fasting hyperglycemia sehingga untuk mengontrol kadar gula darah puasanya diperlukan insulin basal. Actrapid merupakan short acting insulin.
·         Humalog
Dosis               : 12-0-12
Frekuensi         : 2 kali sehari
Durasi              : 3 hari
Efek samping  : reaksi alergi local dan sistemik, lipodistrofi, hipoglikemi
Interaksi obat  : -
Evaluasi           : pemilihan obat kurang tepat karena pasien mengalami fasting hyperglycemia sehingga untuk mengontrol kadar gula darah puasanya diperlukan insulin basal. Humalog merupakan rapid acting insulin.Frekuensi penggunaan insulin juga kurang tepat, seharusnya penggunaan Humalog minimal adalah 4 kali sehari.
2.      Hipertensi
·         Furosemid
Dosis               : 20 mg/2 ml
Frekuensi         : 3 kali sehari
Durasi              : 17 hari
Efek samping  : Hipotensi ortostatik, tromboflebitis, aortitis kronik, hipotensi akut,serangan jantung (akibat pemberian melalui I.V atau I.M), parethesias, vertigo, pusing, kepala terasa ringan, sakit kepala, pandangan kabur, demam, tidak bisa beristirahat, hiperglikemia, hiperurisemia, hipokalemia, hipokloremia, alkalosis metabolik, hipokalsemia, hipomagnasemia, hiponatremia, dermatitis eksfoliatif, eritema multiform, purpura, fotosensitifitas, urtikaria, rashm pruritusm vaskulitis kutan,
Interaksi obat  : -
Evaluasi           : sudah tepat karena pasien juga mengalami udem, namun penggunaannya jangan bersamaan dengan bisoprolol karena dapat meningkatkan resiko terjadinya hiperglikemi yang akan memperparah keadaan pasien.Perlu dikombinasikan dengan spironolakton karena pasien mengalami hypokalemia.
·         Obat golongan Angiotensin Reseptor Blocker
a.       Mycardis (Telmisartan)
Dosis                     : 80 mg
Frekuensi               : 2 kali sehari
Durasi                    : 8 hari
Efek samping        : diare, infeksi saluran pernapasan atas, sakit punggung, batuk
Interaksi obat        : -
Evaluasi                 : sudah tepat karena terapi pasien hipertensi yang mengalami gangguan ginjal adalah menggunakan obat-obatan golongan ACE inhibitor dan ARB.
b.      Valsartan
Dosis                     : 40 mg
Frekuensi               : 1 kali sehari
Durasi                    : 9 hari
Efek samping        : pusing, meningkatkan BUN
Interaksi obat        : -
Evaluasi                 : sudah tepat karena terapi pasien hipertensi yang mengalami gangguan ginjal adalah menggunakan obat-obatan golongan ACE inhibitor dan ARB.
·         Bisovell (Bisoprolol)
Dosis               : 2,5 mg
Frekuensi         : 1 kali sehari
Durasi              : 12 hari
Efek samping  : fatigue, insomnia, diare, mual, rhinitis
Interakasi obat            :-
Evaluasi           : tidak tepat karena kontraindikasi terhadap pasien yang mengalami eksaserbasi akut. Pasien mengalami eksaserbasi akut dengan gejala sesak, udem, dan nyeri dada. Penggunaan bisoprolol pada pasien dengan kondisi eksaserbasi akut akan memperparah kondisinya.
·         Captopril
Dosis               : 12,5 mg
Frekuensi         : 2 kali sehari
Durasi              : 1 hari
Efek samping  : hipotensi, rash, hyperkalemia, batuk
Interaksi obat  : -
Evaluasi           : tidak tepat karena pasien mengalami batuk kering dengan efek samping dari kaptopril akan memperburuk batuk kering yang diderita oleh pasien.
·         Nifedipin
Dosis               : 5 mg
Frekuensi         : 3 kali sehari
Durasi              : 1 hari
Efek samping  : hipotensi, vasodilatasi ringan
Interaksi obat  : -
Evaluasi           : Kurang tepat karena anti hipertensi dengan komplikasi DM dan gangguan ginjal yang bisa digunakan adalah golongan ACE inhibitor atau ARB

3.      CHF
·         ISDN
Dosis               : 5 mg
Frekuensi         : 3 kali sehari
Durasi              :8 hari
Efek samping  : sakit kepala, hipotensi structural,
Interaksi obat  : -
Evaluasi           : sudah tepat karena pasien mengalami nyeri di di dada yang menjalar sampai ke bahu
·         Furosemid
Evaluasi           : sudah tepat karena pasien mengalami udem yang disebabkan oleh CHF-nya, namun perlu dikombinasikan dengan spironolakton karena pasien mengalami hipokalemia
·         ARB
Evaluasi           : sudah tepat karena pasien mengalami nephropathy
·         Bisoprolol       
Evaluasi           : tidak tepat karena peringatan bagi pasien yang mengalami CHF dan mengalami interakasi obat dengan valsartan yang akan meningkatkan resiko terjadinya kematian pada penderita CHF dan dengan furosemide yang akan memperburuk keadaan diabetes melitusnya karena dapat meningkatkan resiko terjadinya hiperglikemi
4.      Nephropathy
·         Furosemid       : sudah tepat karena pasien mengalami udem, namun perlu dikombinasikan dengna spironolakton karena pasien mengalami hypokalemia
·         Prorenal
Dosis               : 10 mg
Frekuensi         : 3 kali sehari
Durasi              : 1 hari
Efek samping  : hiperkalsemia
Interaksi obat  : -
Evaluasi           : sudah tepat karena pasien mengalami insufisiensi ginjal, namun durasinya kurang tepat seharusnya digunakan setiap hari sebagai suplemen yang nephroprotective.
5.      Neuropathy
·         Neurodex
Dosis               : vit B1 100 mg, vit B6 200 mg,vit B12 250 mcg
Frekuensi         : 2 kali sehari
Durasi              : 6 hari
Efek samping  : -
Interaksi obat  : -
Evaluasi           : sudah tepat karena pasien mengalami neuropathy
6.      Ulkus diabetikus
·         Cairan KCl dan NaCl
Untuk membasuh ulkus diabetikusnya.
·         Pletaal (Cilostazol)
Dosis               : 50 mg
Frekuensi         : 2 kali sehari
Durasi              : 9 hari
Efek samping  : ruam, palpitasi, takikardi, muka merah dan panas, sakit kepala, pusing, mual, muntah, anoreksia, diare
Interaksi obat  : -
Evaluasi           : sudah tepat karena digunakan untuk mencegah terjadinya angiopati
·         Antibiotik       
a.       Ceftriaxon
b.      Cefotaxim
c.       Meropenem
d.      Ciprofloxacin
e.       Metronidazole
Evaluasi           : pemberian antibiotic sudah tepat karena pasien mengalami gangrene basah. Antibiotik digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi pada ulkus diabetikus ari pasien, terlihat dari hasil kultur pasien tidak mengalami infeksi.Penggunaannya kurang tepat karena terjadi beberapa duplikasi terapi antibiotic, yaitu penggunaan ceftriaxone, cefotaxim, dan metronidazole.
·         Kalnex (asam traneksamat)
Evaluasi           : sudah tepat untuk terapi pasca operasi ulkus diabetikusnya
7.      Indikasi lain
·         Hipoalbuminemia        : Plasbumin (Albumin)
Evaluasi           : sudah tepat karena pasien memerlukan tambahan albumin karena mengalami hipoalbuminemia
·         Anemia                        : transfusi PRC 2 kolf
Evaluasi           : sudah tepat karena kadar Hb pasien drop sampai 7,7 mg/dl sehingga diperlukan tranfusi darah untuk meningkatkan kadar Hb-nya
·         Gelisah                        : Diazepam
Evaluasi           : sudah tepat karena pasien mengalami gelisah dan sulit tidur. Penggunaannya jika perlu yaitu hanya ketika pasien mengalami gelisah dan susuah tidur.
·         Konstipasi                   : Dulcolax suppo
·         Batuk                          : DMP, Ambroxol, Codipront
Evaluasi           : kurang tepat karena hanya merupakan terapi simtomatik bukan menghilangkan penyebab dari batuknya. Kemungkinan batuk terjadi karena pasien masih menderita TB paru.
·         Sesak napas                 : O2, Bricasma, Ventolin, aminofilin
Evaluasi           : sudah tepat namun penggunaannya hanya untuk simtomatik saja dan tidak mengatasi penyebabnya. Sesak napas yang terjadi pada pasien kemungkinan karena udem paru yang dialami pasien karena penyakit CHF mupun ginjalnya dan karena penyakit TB parunya yang belum sembuh.
·         Gastritis                       : Ranitidin
Evaluasi           : sudah tepat
8.      Obat tanpa indikasi
·         Dexametason
·         Kaltrofen suppo

Care Plan
1.      Diabetes Mellitus
Pasien mengalami diabetes mellitus tipe 2 yang sudah mengalami syndrome X yang meliputi penurunan sensitivitas insulin, fasting hyperglycemia, hiperuricemia, central obesity (pasien mengalami kegemukan hanya pada bagian perut dan sekitar payudara), dan hipertensi.
Obat yang digunakan:
·         Pasien mengalami fasting hyperglycemia dan penurunan sensifitas insulin, sehingga diperlukan terapi kombinasi menggunakan insulin dan metformin. Insulin yang digunakan adalah insulin mix antara insulin basal dan prandial, insulin basal diperlukan untuk mengatasi fasting hyperglycemia yang dialami oleh pasien. Metformin digunakan untuk meningkatkan sensifitas sekresi insulin
Monitoring :
·         Kadar gula darah puasa
·         Kadar gula darah sewaktu
·         ESO
KIE
·         Cara penggunaan insulin
·         Gejala hiperglikemia
·         Gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya..
·         Pengaturan diet
2.      Hipertensi
Pasien mengalami hipertensi yang disebabkan oleh DM yang diderita.Hipertensi merupakan komplikasi kronis dari penyakit Diabetes Mellitus akibat makroangiopati.Intervensi farmakoterapi mungkin dibutuhkan pada kondisi pasien yang telah menderita komplikasi tersebut.
Obat yang digunakan :
·         Valsartan
Valsartan merupakan antihipertensi golongan ARB yang merupakan line pertama obat untuk hipertensi dengan compelling indikasi DM dan CRF.
·         Furosemide
Pasein mengalami udem sehingga membutuhkan terapi deuretik. Loop diuretik merupakan terapi line pertama udem pada penderita CRF.
·         Spironolakton
Pasein mengalami hypokalemia sehingga terapi diuretic dengan furosemide perlu dikombinasikan dengan deuretik hemat kalium.
Monitoring :
·         Tekanan darah
·         Kadar kalium
·         ESO
KIE :
·         Diet rendah Na
·         Cara penggunaan diuretic
3.      CHF
Pasien mengalami CHF Karena DM dan hipertensi yang diderita, pasien mengalami CHF stage 3.CHF merupakan komplikasi kronis dari penyakit Diabetes Mellitus akibat makroangiopati.Intervensi farmakoterapi mungkin dibutuhkan pada kondisi pasien yang telah menderita komplikasi tersebut.
Obat yang digunakan :
·         ISDN
Pasien mengalami sakit nyeri sampai kebahu, sehingga diperlukan ISDN untuk meredakan nyerinya.
·         Valsartan
Pasien
Monitoring:
·         Udem
·         Frekuensi dan intensitas nyeri di dada
·         ESO
KIE
·         Cara pemakaian ISDN
·         Senam lansia/senam jantung
·         Kurangi aktifitas yang terlalu berat
4.      CRF
Pasien mengalami CRF karena DM  yang diderita, pasien mengalami CRF stage moderatate dengan Clcr 14,49 ml/menit.Nefropati diabetic disebabkan oleh adanya kerusakan sel nefron ginjal yang kemudian menyebabkan proteinuria dan hipertensi kemudian diikuti dengan penurunan laju filtrasi glomerolus (GFR).Nefropati merupakan penyebab utama kematian pada pasien DM. Faktor risiko terjadinya nefropati yang lainya adalah Hipertensi, Merokok dan Dislipidemia. Untuk mencegah atau mengurangi risiko terjadinya nefropati diabetic, adalah: 1) Kontrol gula darah yang ketat; 2) Kontrol tekanan darah yang ketat, bila terjadi hipertensi segera diobati; 3) Pemeriksaan kadar lemak dalam darah, bila  terdapat dislipidemia terapi obat dan asupan diet rendah lemak; 4) Berhenti merokok; 5) Pemberian ACE Inhibitor (Captopril, lisinopril, dll) atau Angiotensin Receptor Blocker/ARB (Losartan, irbesartan, dll) dapat mengurangi & mencegah micro dan macro albuminuria pada penderita DM sehingga menurunkan kejadian End Stage of Renal Disease (ESRD/gagal ginjal terminal).
Obat yang digunakan :
·         Prorenal
Prorenal digunakan sebagai sublemen untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
Monitoring :
·         Serum Kreatinin
·         Kadar Ureum
·         Clcr
·         Kalium
·         Hb
·         ESO
KIE :
·         Pengaturan diet
·         Kurangi aktifitas yang terlalu berat.
5.      Ulcus diabetikus
Perawatan kaki penderita DM juga merupakan hal yang penting. Neuropati perifer dapat menyebabkan kaki diabetesi menjadi kehilang-an sensor. Kombinasi antara kehilangan sensasi, kerusakan vaskuler (aliran darah berkurang) dan infeksi, akan berkembang menjadi ulcer. Luka yang kecil pada kaki dapat menyebabkan gangrene bila si empunya kaki tidak menyadari. Gangren yang meluas akan berakhir dengan amputasi. Oleh karena itu pasien dapat disarankan untuk menggunakan sepatu kain yang tidak terlalu ketat.Pasien dilatih untuk merawat kakinya agar tetap kering dan bersih.
Obat yang digunakan :
·         Pletaal (Cilostazol)
·         Antibiotik
·         Kalnex
·         NaCl
Monitoring :
·         Kultur bakteri
·         Kultur sensitifitas antibiotic
·         Kesembuhan ulcus
·         ESO
KIE :
·         Luka dibersihkan setiap hari menggunakan NaCl
·         Perawatan kaki.
·         Minum antibiotiknya dengan teratur
6.      Hipoalbuminemia
Pasien mengalami penurunan kadar albumin dalam darah sehingga pasien mengalami udem. Udem terjadi karena tekanan osmotic darah turun sehingga menyebabkan cairan dalam darah masuk ke dalam sel.
Obat yang digunakan :
·         Infus Albumin
·         Infus monitol
Infus manitol digunakan untuk meningkatkan tekanan osmotic dalam darah.
Monitoring :
·         Kadar albumin
·         Udema
·         ESO
7.      Anemia
Pasien mengalami CRF sehingga menyebabkan anemia karena kemampuan ginjal untuk memproduksi hormone epoetin yang diperlukan untuk memacu sintesis sel darah merah menurun.
Obat yang digunakan:
·         Epoetin α
Epoetin α merupakan terapi anemia pada CRF non hemodialisa.
Monitoring:
·         Kadar Hb
·         Kadar Ht
8.      TB paru
Pasien mengalami TB paru yang diderita sejak tahun 2006 dan sudah menjalani regimen terapi TB paru selama 1 tahun kemudian berhenti.Namun, ternyata pasien belum sembuh 100% terlihat dari hasil USG yang masih terdapat bercak pada paru-paru pasien.
Obat yang digunakan:
·         Terapi intensif : INH, rifampisin, pirazinamid
Terapi lanjutan : INH dan rifampisin
Monitoring:
·         Tes BTA
·         Batuk
·         Rontgen paru-paru
·         ESO
KIE                              
·         minum obat secara teratur dan rutin
·         Memisahkan alat makan dan minum dengan anggota keluarga lain untuk mencegah penularan pada yang lain.
9.      Neuropati
Pasien telah mengalami kehilangan sensasi dan nyeri pada ujung-ujung jari tangan dan kaki.Nefropati diabetic disebabkan oleh adanya kerusakan sel nefron ginjal yang kemudian menyebabkan proteinuria dan hipertensi kemudian diikuti dengan penurunan laju filtrasi glomerolus (GFR).Nefropati merupakan penyebab utama kematian pada pasien DM. Faktor risiko terjadinya nefropati yang lainya adalah Hipertensi, Merokok dan Dislipidemia. Untuk mencegah atau mengurangi risiko terjadinya nefropati diabetic, adalah: 1) Kontrol gula darah yang ketat; 2) Kontrol tekanan darah yang ketat, bila terjadi hipertensi segera diobati; 3) Pemeriksaan kadar lemak dalam darah, bila  terdapat dislipidemia terapi obat dan asupan diet rendah lemak; 4) Berhenti merokok; 5) Pemberian ACE Inhibitor (Captopril, lisinopril, dll) atau Angiotensin Receptor Blocker/ARB (Losartan, irbesartan, dll) dapat mengurangi & mencegah micro dan macro albuminuria pada penderita DM sehingga menurunkan kejadian End Stage of Renal Disease (ESRD/gagal ginjal terminal).
Obat yang digunakan:                                                                                          
·         Neurodex
Monitoring:
·         Hilangnya rasa nyeri
·         Hilangnya semutan
·         ESO
KIE:
·         Mengatir diet
·         Melakukan exercise yang menggerakkan kaki dan tangan

KESIMPULAN
1.      Ny, Rochingsih menderita DM tipe 2 dengan berbagai komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler
2.      Pasien menerima terapi untuk DM, hipertensi, CHF, CRF, TB paru, neuropati, ulkus diabetikus, dan anemia







DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 2009, MIMS Indonesia Petunjuk dan Konsultasi, Edisi 6 2008/2009, P.T. Infomaster, Jakarta.
Dipiro, J.T., et all,  2008, Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc., United States of America.
Tjay, Tan Hoan, Kirana Raharja, 2007, Obat-Obat Penting,Edisi VI, P.T Elex Media Komputindo, Jakarta.