Peresepan Obat Pada Anak | Gudang artikel

Peresepan Obat Pada Anak

Rabu, 25 April 2018

Seorang praktisi medik dalam praktek sehari-hari sering dihadapkan pada berbagai permasalahan pengobatan yang kadang memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus, seperti misalnya pengobatan pada kelompok  umur tertentu (anak dan usia lanjut), serta pada kehamilan. Meskipun prinsip dasar dan tujuan terapi pada kelompok-kelompok tersebut tidak banyak berbeda, tetapi mengingat masing-masing memiliki keistimewaan khusus dalam penatalaksanaannya, maka diperlukan pendekatan-pendekatan yang sedikit berbeda dengan kelompok dewasa. Pertimbangan pengobatan pada anak, tidak saja diambil berdasarkan ketentuan dewasa, tetapi perlu beberapa penyesuaian seperti dosis dan perhatian lebih besar pada kemungkinan efek samping, karena adanya imaturitas fungsi organ-organ tubuh, sehingga mungkin diperlukan penyesuaian dosis serta pemilihan obat yang benar-benar tepat. Selain itu, pengobatan pada anak juga memerlukan pertimbangan lebih kompleks, antara lain karena berbagai masalah cara pemberian obat, pemilihan bentuk sediaan, dan masalah ketaatan (patient's compliance). Dalam makalah ini akan dibahas pemakaian obat pada kelompok pasien anak, terutama  absorbsi pada anak, faktor-faktor yang mempengaruhi terapi serta masalah pemakaian obat akan dibahas secara singkat agar dapat memberikan gambaran umum mengenai permasalahan pada anak.


Pada peresepan pada anak pemberian obat yang diracik dengan mencampur berbagai obat menjadi puyer atau dimasukkan ke dalam kapsul atau sirup oleh petugas apotek. Peresepan obat puyer untuk anak Indonesia sangat sering dilakukan karena beberapa faktor :
1.      Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan anak secara lebih tepat
2.      Biayanya biar ditekan menjadi lebih murah
3.      Obat yang diserahkan kepada pasien hanya satu macam, walaupun mengandung banyak komponen
4.      Di Negara maju, praktik ini sudah sangat berkurang karena:
5.      Kemungkinan kesalahan manusia dalam pembuatan obat racik puyer ini tidak dapat diabaikan, misalnya kesalahan menimbang obat, atau membagi puyer dalam porsi porsi yang tidak sama besar. Control kualitas sulit sekali dapat dilaksanakan untuk membuat obat racikan ini.
6.      Stabilitas obat tertentu yang dapoat menurunbila bentuk aslinya digerus, misalnya bentuk tablet salut selaput (film coated), tablet salut selaput( enteric coated) , atau obat yang tidak stabil (misalnya asam klavulanat) dan obat yang higroskopis(misalnya preparat yang mengadung enzim pencernaan).
7.      Toksisitas obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat bila digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya.
8.      Waktu penyediaan obat lebih lama. Rata-rata diperlukan 10 menit untuk membuat satu resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan kapsul, sedangkan untuk mengambil obat yang sudah jadi hanya pertlu kurang dari 1 menit kelambatan ini berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien terhadap layanan di apotek
9.      Efektifitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender atau mortir dan kertas pembungkus. Hal ini terutama terjadi pada obat – obat yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, misalnya puyer yang mengandung klorpromazin.
10.  Pembuatan puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang kronis dibagian farmasi akibat bubuk obat yang berterbangan disekitarnya. Hal ini dapat merusak kesehatan petugas setempat.
11.  Obat racikan puyer tidak dapat dibuat dengan tingkat higienis yang tinggi sebagaimana halnya obat yang dibuat pabrik karena kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu pembuatanya.
12.  Pembuatan obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal karena menggunakan jam kerja tenaga dibagian farmasi sehingga asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum tentu tercapai.
13.  Dokter yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat sulit dibuat puyer (difficult to compound drugs) misalnya preparat enzim.
14.  Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.
Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.
Jumlah obat :
1.      Rata-rata 5 ( dengan rentang 2 – 11 obat)
2.      Batuk merupakan kondisi yang jumlah obat dalam peresepannya paling  tinggi yaitu 11 obat.
3.      Tingkat peresepan puyer mencapai 55,4% pada diare akut, 72,6 % pada demam, 77,4 pada ISPA, dan 87% pada batuk.
Anbiotikika:
1.      Demam yaitu 87%
2.      Diare 7%
3.      ISPA 54,4 %
4.      Anak batuk tanpa demam sebesar 47%
Generik :
1.      Tingkat peresepan sangat rendah
2.      0% pada kasus demam
3.      5% pada diare akut
4.      7% pada ISPA
5.      10,5% pada batuk tanpa demam
Steroid :
1.      Anak batuk sebesar 60,9%
2.      ISPA sebesar 50,9%
3.      Demam sebesar 53,5%
4.      Diare 18,5%
5.      Tingginya  tingkat pemberian steroid sangat memprihatinkan, terlebih karena tidak sesui tata laksana ( guideline ) penanganan penyakit-penyakit tersebut dan steroid yang diberikan merupakan steroid yang cukup “ keras “.
Suplemen :
1.      Peresepan  mulitivitamin, enzim, perangsang nafsu makan atau imunomodulator cukup tinggi.
2.      21,9% pada ISPA
3.      Demam 34,9%
4.      Batuk 2,4%
5.      Diare 61,9%
Biaya pembelian obat:
1.      ISPA  Rp 15.000 – Rp 747.000 ( median Rp 117.500 )
2.      Demam Rp 20.800 – Rp 137.000 ( maksimum Rp 326.000 )
3.      Daire akut Rp 56.000 – Rp 161.000 ( maksimum Rp 349.000 )
4.      Analisis biaya pada peresepan pediatri di Jakarta menunjukkan tingginya biaya ketika dokter tidak bekerja sesuai tata laksana.

Penggolongan usia anak berdasarkan perubahan biologis :
·         neonatus/bayi baru lahir (4 minggu pertama setelah kelahiran)
terjadi perubahan fungsi fisiologi yang sangat penting namun masih premature
·         bayi (1 bulan sampai 12 bulan)
merupakan masa awal pertumbuhan yang pesat
·         anak-anak (1-12 tahun)
merupakan masa pertumbuhan secara bertahap.
terbagi menjadi anak usia 1-3 tahun, anak usia pra sekolah 3-5 tahun dan anak usia sekolah 6-12 tahun remaja (13-17 tahun), merupakan akhir tahap perkembangan secara pesat hingga menjadi orang dewasa.


II. ISI
A.    Absorpsi
Secara umum, kecepatan absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik tergantung pada cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat, seperti misalnya berat molekul, dan sifat lipofilik obat. Sifat fisikokimiawi obat terutama menentukan kecepatan dan luasnya transfer molekul obat melalui membran. Hal ini berlaku pada semua golongan usia.
Pada neonatus, sekresi asam lambung relatif rendah, tetapi apakah ini mempengaruhi absorpsi dan kemanfaatan terapi oral, belum banyak diselidiki. Umumnya absorpsi oral pada bayi dan anak tidak jauh berbeda dengan dewasa.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam absorpsi obat pada anak adalah :
1)      Beberapa saat setelah lahir akan terjadi perubahan-perubahan biokimiawi dan fisiologis pada traktus gastrointestinal. Pada 24 jam pertama kelahiran/kehidupan, terjadi peningkatan keasaman lambung secara menyolok. Oleh sebab itu obat-obat yang terutama dirusak oleh asam lambung (pH rendah) sejauh mungkin dihindari.
2)      Pengosongan lambung pada hari I dan II kehidupan relatif lambat (6-8 jam). Keadaan ini berlangsung selama + 6 bulan untuk akhirnya mencapai nilai normal seperti pada dewasa. Pada tahap ini obat yang absorpsi utamanya di lambung akan diabsorpsi secara lengkap dan sempurna, sebaliknya untuk obat-obat yang diabsorpsi di intestinum efeknya menjadi sangat lambat/tertunda.
3)      Absorpsi obat setelah pemberian secara injeksi i.m. atau subkutan tergantung pada kecepatan aliran darah ke otot atau area subkutan tempat injeksi. Keadaan fisiologis yang bisa menurunkan aliran darah antara lain syok kardiovaskuler, vasokonstriksi oleh karena pemberian obat simpatomimetik, dan kegagalan jantung. Absorpsi obat yang diberikan perkutan meningkat pada neonatus, bayi dan anak, terutama jika terdapat ekskoriasi kulit atau luka bakar. Dengan meningkatnya absorpsi ini kadar obat dalam darah akan meningkat pula secara menyolok, yang kadang mencapai dosis toksik obat. Keadaan ini sering dijumpai pada penggunaan kortikosteroid secara berlebihan, asam borat (yang menimbulkan efek samping diare, muntah, kejang hingga kematian), serta aminoglikosida/polimiksin spray pada luka bakar yang dapat menyebabkan tuli.
4)      Pada keadaan tertentu di mana injeksi diperlukan, sementara oleh karena malnutrisi, anak menjadi sangat kurus dan volume otot menjadi kecil, pemberian injeksi harus sangat hati-hati. Pada keadaan ini absorpsi obat menjadi sangat tidak teratur dan sulit diduga oleh karena obat mungkin masih tetap berada di otot dan diabsorpsi secara lambat. Pada keadaan ini otot berlaku sebagai reservoir. Tetapi bila perfusi tiba-tiba membaik, maka jumlah obat yang masuk sirkulasi meningkat secara mendadak dan menyebabkan tingginya konsentrasi obat dalam darah yang dapat mencapai kadar toksik. Obat-obat yang perlu diwaspadai penggunaannya antara lain: glikosida jantung, aminoglikosida, dan anti kejang.
5)      Gerakan peristaltik usus bayi baru lahir relatif belum teratur, tetapi umumnya lambat. Sehingga jumlah obat-obat yang diabsorpsi di intestinum tenue sulit diperkirakan. Jika peristaltik lemah maka jumlah obat yang diabsorpsi menjadi lebih besar, yang ini memberi konsekuensi berupa efek toksik obat. Sebaliknya jika terjadi peningkatan peristaltik, misalnya pada diare, absorpsi obat cenderung menurun oleh karena lama kontak obat pada tempat-tempat yang mempunyai permukaan absorpsi luas menjadi sangat singkat.
6)      Metabolisme
-          Glukoronidasi belum sempurna sampai umur 3 tahun
-          garam empedu masih sedikit
-          obat lipofilik sulit diabsorpsi pada infant.



0 komentar:

Posting Komentar