Seorang praktisi medik dalam praktek sehari-hari
sering dihadapkan pada berbagai permasalahan pengobatan yang kadang memerlukan
pertimbangan-pertimbangan khusus, seperti misalnya pengobatan pada
kelompok umur tertentu (anak dan usia
lanjut), serta pada kehamilan. Meskipun prinsip dasar dan tujuan terapi pada
kelompok-kelompok tersebut tidak banyak berbeda, tetapi mengingat masing-masing
memiliki keistimewaan khusus dalam penatalaksanaannya, maka diperlukan pendekatan-pendekatan
yang sedikit berbeda dengan kelompok dewasa. Pertimbangan pengobatan pada anak,
tidak saja diambil berdasarkan ketentuan dewasa, tetapi perlu beberapa
penyesuaian seperti dosis dan perhatian lebih besar pada kemungkinan efek
samping, karena adanya imaturitas fungsi organ-organ tubuh, sehingga mungkin
diperlukan penyesuaian dosis serta pemilihan obat yang benar-benar tepat.
Selain itu, pengobatan pada anak juga memerlukan pertimbangan lebih kompleks,
antara lain karena berbagai masalah cara pemberian obat, pemilihan bentuk
sediaan, dan masalah ketaatan (patient's compliance). Dalam makalah ini akan
dibahas pemakaian obat pada kelompok pasien anak, terutama absorbsi pada anak, faktor-faktor yang mempengaruhi
terapi serta masalah pemakaian obat akan dibahas secara singkat agar dapat
memberikan gambaran umum mengenai permasalahan pada anak.
Pada peresepan pada anak pemberian obat yang diracik dengan mencampur berbagai obat menjadi puyer atau dimasukkan ke dalam kapsul atau sirup oleh petugas apotek. Peresepan obat puyer untuk anak Indonesia sangat sering dilakukan karena beberapa faktor :
1. Dosis
obat dapat disesuaikan dengan berat badan anak secara lebih tepat
2. Biayanya
biar ditekan menjadi
lebih murah
3. Obat
yang diserahkan kepada pasien hanya satu macam, walaupun mengandung banyak
komponen
4. Di
Negara maju, praktik ini sudah sangat berkurang karena:
5. Kemungkinan
kesalahan manusia dalam pembuatan obat racik puyer ini tidak dapat diabaikan,
misalnya kesalahan menimbang obat, atau membagi puyer dalam porsi porsi yang
tidak sama besar. Control kualitas sulit sekali dapat dilaksanakan untuk
membuat obat racikan ini.
6. Stabilitas
obat tertentu yang dapoat menurunbila bentuk aslinya digerus, misalnya bentuk
tablet salut selaput (film coated), tablet salut selaput( enteric coated) ,
atau obat yang tidak stabil (misalnya asam klavulanat) dan obat yang
higroskopis(misalnya preparat yang mengadung enzim pencernaan).
7. Toksisitas
obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat bila digerus akan
kehilangan sifat lepas lambatnya.
8. Waktu
penyediaan obat lebih lama. Rata-rata diperlukan 10 menit untuk membuat satu
resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan kapsul, sedangkan untuk mengambil
obat yang sudah jadi hanya pertlu kurang dari 1 menit kelambatan ini berpengaruh
terhadap tingkat kepuasan pasien terhadap layanan di apotek
9. Efektifitas
obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender atau
mortir dan kertas pembungkus. Hal ini terutama terjadi pada obat – obat yang
dibutuhkan dalam jumlah kecil, misalnya puyer yang mengandung klorpromazin.
10. Pembuatan
puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang kronis dibagian farmasi akibat
bubuk obat yang berterbangan disekitarnya. Hal ini dapat merusak kesehatan
petugas setempat.
11. Obat
racikan puyer tidak dapat dibuat
dengan tingkat higienis yang tinggi sebagaimana halnya obat yang dibuat pabrik
karena kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu pembuatanya.
12. Pembuatan
obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal karena menggunakan jam kerja
tenaga dibagian farmasi sehingga asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum
tentu tercapai.
13. Dokter
yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat sulit dibuat puyer
(difficult to compound drugs) misalnya preparat enzim.
14. Peresepan
obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena
penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.
Peresepan obat racik puyer meningkatkan
kecenderungan penggunaan obat polifarmasi tidak mudah
diketahui oleh pasien.
Jumlah obat :
1. Rata-rata
5 ( dengan rentang 2 – 11 obat)
2.
Batuk merupakan kondisi yang jumlah obat
dalam peresepannya paling tinggi yaitu
11 obat.
3.
Tingkat peresepan puyer mencapai 55,4%
pada diare akut, 72,6 % pada demam, 77,4 pada ISPA, dan 87% pada batuk.
Anbiotikika:
1.
Demam yaitu 87%
2.
Diare 7%
3.
ISPA 54,4 %
4.
Anak batuk tanpa demam sebesar 47%
Generik :
1.
Tingkat peresepan sangat rendah
2.
0% pada kasus demam
3.
5% pada diare akut
4.
7% pada ISPA
5.
10,5% pada batuk tanpa demam
Steroid :
1.
Anak batuk sebesar 60,9%
2.
ISPA sebesar 50,9%
3.
Demam sebesar 53,5%
4.
Diare 18,5%
5.
Tingginya tingkat pemberian steroid sangat
memprihatinkan, terlebih karena tidak sesui tata laksana ( guideline ) penanganan penyakit-penyakit tersebut dan steroid yang
diberikan merupakan steroid yang cukup “ keras “.
Suplemen :
1.
Peresepan mulitivitamin, enzim, perangsang nafsu makan
atau imunomodulator cukup tinggi.
2.
21,9% pada ISPA
3.
Demam 34,9%
4.
Batuk 2,4%
5.
Diare 61,9%
Biaya pembelian obat:
1.
ISPA
Rp 15.000 – Rp 747.000 ( median Rp 117.500 )
2.
Demam Rp 20.800 – Rp 137.000 ( maksimum
Rp 326.000 )
3.
Daire akut Rp 56.000 – Rp 161.000 (
maksimum Rp 349.000 )
4.
Analisis biaya pada peresepan pediatri
di Jakarta menunjukkan tingginya biaya ketika dokter tidak bekerja sesuai tata
laksana.
·
neonatus/bayi baru lahir (4 minggu
pertama setelah kelahiran)
terjadi perubahan fungsi fisiologi yang sangat
penting namun masih premature
·
bayi (1 bulan sampai 12 bulan)
merupakan masa awal pertumbuhan yang pesat
merupakan masa awal pertumbuhan yang pesat
·
anak-anak (1-12 tahun)
merupakan masa pertumbuhan secara
bertahap.
terbagi menjadi anak usia 1-3 tahun,
anak usia pra sekolah 3-5 tahun dan anak usia sekolah 6-12 tahun remaja (13-17
tahun), merupakan akhir tahap perkembangan secara pesat hingga menjadi orang
dewasa.
II.
ISI
A.
Absorpsi
Secara
umum, kecepatan absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik tergantung pada cara
pemberian dan sifat fisikokimiawi obat, seperti misalnya berat molekul, dan
sifat lipofilik obat. Sifat fisikokimiawi obat terutama menentukan kecepatan
dan luasnya transfer molekul obat melalui membran. Hal ini berlaku pada semua
golongan usia.
Pada neonatus, sekresi asam lambung
relatif rendah, tetapi apakah ini mempengaruhi absorpsi dan kemanfaatan terapi
oral, belum banyak diselidiki. Umumnya absorpsi oral pada bayi dan anak tidak
jauh berbeda dengan dewasa.
Hal-hal
yang perlu dipertimbangkan dalam absorpsi obat pada anak adalah :
1) Beberapa
saat setelah lahir akan terjadi perubahan-perubahan biokimiawi dan fisiologis pada
traktus gastrointestinal. Pada 24 jam pertama kelahiran/kehidupan, terjadi
peningkatan keasaman lambung secara menyolok. Oleh sebab itu obat-obat yang
terutama dirusak oleh asam lambung (pH rendah) sejauh mungkin dihindari.
2) Pengosongan
lambung pada hari I dan II kehidupan relatif lambat (6-8 jam). Keadaan ini
berlangsung selama + 6 bulan untuk akhirnya mencapai nilai normal seperti pada
dewasa. Pada tahap ini obat yang absorpsi utamanya di lambung akan diabsorpsi
secara lengkap dan sempurna, sebaliknya untuk obat-obat yang diabsorpsi di
intestinum efeknya menjadi sangat lambat/tertunda.
3) Absorpsi
obat setelah pemberian secara injeksi i.m. atau subkutan tergantung pada
kecepatan aliran darah ke otot atau area subkutan tempat injeksi. Keadaan
fisiologis yang bisa menurunkan aliran darah antara lain syok kardiovaskuler,
vasokonstriksi oleh karena pemberian obat simpatomimetik, dan kegagalan
jantung. Absorpsi obat yang diberikan perkutan meningkat pada neonatus, bayi
dan anak, terutama jika terdapat ekskoriasi kulit atau luka bakar. Dengan
meningkatnya absorpsi ini kadar obat dalam darah akan meningkat pula secara
menyolok, yang kadang mencapai dosis toksik obat. Keadaan ini sering dijumpai
pada penggunaan kortikosteroid secara berlebihan, asam borat (yang menimbulkan
efek samping diare, muntah, kejang hingga kematian), serta
aminoglikosida/polimiksin spray pada luka bakar yang dapat menyebabkan tuli.
4) Pada
keadaan tertentu di mana injeksi diperlukan, sementara oleh karena malnutrisi,
anak menjadi sangat kurus dan volume otot menjadi kecil, pemberian injeksi
harus sangat hati-hati. Pada keadaan ini absorpsi obat menjadi sangat tidak
teratur dan sulit diduga oleh karena obat mungkin masih tetap berada di otot
dan diabsorpsi secara lambat. Pada keadaan ini otot berlaku sebagai reservoir.
Tetapi bila perfusi tiba-tiba membaik, maka jumlah obat yang masuk sirkulasi
meningkat secara mendadak dan menyebabkan tingginya konsentrasi obat dalam
darah yang dapat mencapai kadar toksik. Obat-obat yang perlu diwaspadai penggunaannya
antara lain: glikosida jantung, aminoglikosida, dan anti kejang.
5) Gerakan
peristaltik usus bayi baru lahir relatif belum teratur, tetapi umumnya lambat.
Sehingga jumlah obat-obat yang diabsorpsi di intestinum tenue sulit
diperkirakan. Jika peristaltik lemah maka jumlah obat yang diabsorpsi menjadi
lebih besar, yang ini memberi konsekuensi berupa efek toksik obat. Sebaliknya
jika terjadi peningkatan peristaltik, misalnya pada diare, absorpsi obat
cenderung menurun oleh karena lama kontak obat pada tempat-tempat yang
mempunyai permukaan absorpsi luas menjadi sangat singkat.
6) Metabolisme
-
Glukoronidasi belum sempurna sampai umur
3 tahun
-
garam empedu masih sedikit
-
obat lipofilik sulit diabsorpsi pada
infant.
0 komentar:
Posting Komentar