MANAJEMEN ZAKAT Pengertian dan dasar hukum | Gudang artikel

MANAJEMEN ZAKAT Pengertian dan dasar hukum

Senin, 26 Oktober 2015


MANAJEMEN ZAKAT
a. Pengertian dan Dasar Hukum Zakat
Zakat adalah memberikan harta yang telah mencapai nisab dan haul kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Nisab adalah ukuran tertentu dari harta yang dimiliki yang mewajibkan dikeluarkannya zakat, sedangkan haul adalah berjalan genap satu tahun. Zakat juga berarti kebersihan, setiap pemeluk Islam yang mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan (nisab) zakat, wajiblah membersihkan hartanya itu dengan mengeluarkan zakatnya.
Dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Segala sesuatu yang bertambah disebut zakat. Menurut istilah fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut “muzakki”,sedangkan orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq” .Zakat merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk mengalahkan kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan hati. Di dalam Alquran Allah telah berfirman sebagai berikut:
“Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”. Q.S. Al-Baqarah, 2:110
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. Q.S. At-Taubah, 9:60.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. Q. S. At-Taubah, 9:103.
Adapun hadis yang dipergunakan dasar hukum diwajibkannya zakat antara lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’az ke Yaman, ia bersabda: “Sesungguhnya engkau akan datang ke satu kaum dari Ahli Kitab, oleh karena itu ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka taat kepadamu untuk ajakan itu, maka beritahukannlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka atas mereka salat lima kali sehari semalam; lalu jika mereka mentaatimu untuk ajakan itu, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka; kemudian jika mereka taat kepadamu untuk ajakan itu, maka berhati-hatilah kamu terhadap kehormatan harta-harta mereka, dan takutlah terhadap doa orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara doa itu dan Allah tidak hijab (pembatas)”.
Adapun harta-harta yang wajib dizakati itu adalah sebagai berikut:
1. Harta yang berharga, seperti emas dan perak.
2. Hasil tanaman dan tumbuh-tumbuhan, seperti padi, gandum, kurma, anggur.
3. Binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, dan domba.
4. Harta perdagangan.
5. Harta galian termasuk juga harta rikaz.
Adapun orang yang berhak menerima zakat adalah:
1. Fakir, ialah orang yang tidak mempunyai dan tidak pula berusaha.
2. Miskin, ialah orang yang tidak cukup penghidupannya dengan pendapatannya sehingga ia selalu dalam keadaan kekurangan.
3. Amil, ialah orang yang pekerjaannya mengurus dan mengumpulkan zakat untuk dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya.
4. Muallaf, ialah orang yang baru masuk Islam yang masih lemah imannya, diberi zakat agar menambah kekuatan hatinya dan tetap mempelajari agama Islam.
5. Riqab, ialah hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan berusaha untuk menebus dirinya agar menjadi orang merdeka.
6. Gharim, ialah orang yang berhutang yang tidak ada kesanggupan membayarnya.
7. Fi sabilillah, ialah orang yang berjuang di jalan Allah demi menegakkan Islam.
8. Ibnussabil, ialah orang yang kehabisan biaya atau perbekalan dalam perjalanan yang bermaksud baik (bukan untuk maksiat).
b. Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia
Sejak Islam memsuki Indonesia, zakat, infak, dan sedekah merupakan sumber sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam dan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda khawatir dana tersebut akan digunakan untuk melawan mereka jika masalah zakat tidak diatur. Pada tanggal 4 Agustus 1938 pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan zakat dan fitrah yang dilakukan oleh penghulu atau naib sepanjang tidak terjadi penyelewengan keuangan. Untuk melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu, pemerintah Belanda melarang semua pegawai dan priyai pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan itu memberikan dampak yang sangat negatif bagi pelakasanaan zakat di kalangan umat Islam, karena dengan sendirinya penerimaan zakat menurun sehingga dana rakyat untuk melawan tidak memadai. Hal inilah yang tampaknya diinginkan Pemerintah Kolonial Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, di Aceh satu-satunya badan resmi yang mengurus masalah zakat. Pada masa orde baru barulah perhatian pemerintah terfokus pada masalah zakat, yang berawal dari anjuran Presiden Soeharto untuk melaksanakan zakat secara efektif dan efisien serta mengembangkannya dengan cara-cara yang lebih luas dengan pengarahan yang lebih tepat. Anjuran presiden inilah yang mendorong dibentuknya badan amil di berbagai propinsi.
c. Manajemen Pengelolaan Zakat Produktif
Sehubungan pengelolaan zakat yang kurang optimal, sebagian masyarakat yang tergerak hatinya untuk memikirkan pengelolaan zakat secara produktif, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada umumnya dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan dan masyarakat membentuk Baitul Mal atau lembaga yang bertugas mengelola dan zakat, infak dan sedekah dari karyawan perusahaan yang bersangkutan dan masyarakat. Sementara pemerintah juga membentuk Badan Amil Zakat Nasional.
Dalam pengelolaan zakat diperlukan beberapa prinsip, antara lain:
1. Pengelolaan harus berlandasakn Alquran dan Assunnah.
2. Keterbukaan. Untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat, pihak pengelola harus menerapkan manajemen yang terbuka.
3. Menggunakan manajemen dan administrasi modern.
4. Badan amil zakat dan lembaga amil zakat harus mengelolah zakat dengan sebaik-baiknya.
Selain itu amil juga harus berpegang teguh pada tujuan pengelolaan zakat, antara lain:
1. Mengangkat harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan dan penderitaan.
2. Membantu pemecahan masalah yang dihadapi oleh para mustahik
3. Menjembatani antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu masyarakat.
4. Meningkatkan syiar Islam
5. Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara.
6. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat.
d. Hikamah Ibadah Zakat
Apabila prinsip-prinsip pengelolaan dan tujuan pengelolaan zakat dilaksanakan dipegang oleh amil zakat baik itu berupa badan atau lembaga, dan zakat, infak, dan sedekah dikelola dengan manajemen modern dengan tetap menerapkan empat fungsi standar manajemen, tampaknya sasaran zakat, infak maupun sedekah akan tercapai.
Zakat memiliki hikmah yang besar, bagi muzakki, mustahik, maupun bagi masyarakat muslim pada umumnya. Bagi muzakki zakat berarti mendidik jiwa manusia untuk suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong dan angkuh yang biasanya menyertai pemilikan harta yang banyak dan berlebih.
Bagi mustahik, zakat memberikan harapan akan adanya perubahan nasib dan sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan suudzan terhadap orang-orang kaya, sehingga jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dapat dihilangkan.
Bagi masyarakat muslim, melalui zakat akan terdapat pemerataan pendapatan dan pemilikan harta di kalangan umat Islam. Sedangkan dalam tata masyarakat muslim tidak terjadi monopoli, melainkan sistim ekonomi yang menekankan kepada mekanisme kerja sama dan tolong-menolong.

0 komentar:

Posting Komentar