IFRS untuk Persediaan: Principle Based vs Rule Based
Akuntansi
persediaan menjadi perhatian utama pada sebagian besar perusahaan, terutama
perusahaan dagang dan perusahaan manufaktur, karena pengaruhnya yang cukup
signifikan atas laporan rugi laba, yaitu dalam bentuk kos penjualan, dan juga
atas laporan posisi keuangan (neraca). Menurut IAS 2, persediaan didefinisikan
sebagai berikut:
Inventories
are assets: (a) held for sale in the ordinary course of business; (b) in the
process of production for such sale; or (c) in the form of materials or
supplies to be consumed in the production process or in the rendering of
services.
Definisi
persediaan menurut IAS 2 tersebut di atas tidak berbeda dengan definisi
persediaan menurut US GAAP, sebagaimana dikutip oleh Kieso (2007) sebagai
berikut:
Inventories
are asset items held for sale in the ordinary course of business or goods that
will be used or consumed in the production of goods to be sold.
Kompleksitas
akuntansi persediaan disebabkan oleh beberapa faktor seperti tingkat volume
perputaran persediaan, ragam alternatif pengukuran arus kos yang dapat
diterima, dan klasifikasi persediaan. Pertanyaan mendasar dalam akuntansi
persediaan adalah:
1.
Kapan item persediaan bisa diakuli dan dilaporkan sebagai persediaan?
2.
Kos atau pengeluaran apa saja yang dapat dimasukkan sebagi kos dari persediaan?
3.
Asumsi arus kos yang mana yang boleh digunakan untuk mengukur kos persediaan?
4.
Berdasarkan nilai apa persediaan harus dilaporkan (net realizable value)?
Secara umum
dalam merumuskan standard akuntansi, IFRS dikatakan menggunakan principles-based
sedangkan US GAAP menggunakan rules-based. Benarkah demikian untuk
kasus standard akuntansi persediaan?
PEMBAHASAN
Konsep Dasar
Pengukuran Kos Persediaan
Sebelum
tahun 2005 IAS 2 membolehkan penggunaan tiga alternatif pengukuran kos
persediaan, yaitu metode FIFO dan Rata-rata Tertimbang yang oleh IAS 2
disebut sebagai ?benchmark treatments?, serta satu lagi metode yang oleh
IAS 2 disebut sebagai ?allowed alternative treatments? yaitu metode
LIFO. Namun efektif mulai 1 Januari 2005 IFRS tidak membolehkan
penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kos yang berlaku tinggal
metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang. Pembatasan penggunakan metode
akuntansi semacam ini merupakan indikasi bahwa IFRS pada dasarnya tidak
sepenuhnya menggunakan principles-based, bahkan dalam kasus akuntansi
persediaan menjadi lebih rules-based dibanding US GAAP.
Pada
dasarnya metode LIFO telah lama digunakan di US dalam yurisdiksi tertentu,
sebagai contoh di US metode ini telah lama digunakan untuk memenuhi
kepentingan pemenuhan pajak, yaitu karena pengalaman yang cukup panjang
terjadinya kecenderungan kenaikan harga, sehingga untuk kepentingan pajak
metode LIFO dianjurkan untuk digunakan agar menghasilkan pelaporan laba dan
pembayaran pajak yang lebih kecil. Dalam kasus ini FASB menghadapi kendala yang
cukup berat bahkan tidak mungkin bisa melakukan konvergensi dengan IFRS,
kecuali undang-undang pajak di US juga diubah menjadi tidak membolehkan
penggunaan metode LIFO. Namun demikian jika undang-undang pajak diubah jelas
akan memberikan dampak sangat tidak menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan
yang beroperasi di US. Di sisi lain, SIC (the Standing Interpretations
Committee), yaitu komite yang bertugas untuk menginterpretasikan IFRS,
menyatakan bahwa perusahaan harus menggunakan formula kos yang sama untuk
seluruh persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang sama, perbedaan lokasi
geografis persediaan tidak bisa digunakan sebagai pembolehan penggunaan formula
kos yang berbeda. Sama dengan paragraf sebelumnya, Uraian dalam paragraf ini
mengindikasikan bahwa IFRS lebih condong ke rules-based dibanding ke principles-based.
Sebagaimana
halnya US GAAP, IFRS juga mengharuskan penggunaan metode akuntansi secara
konsisten, kecuali perubahan metode pengukuran kos tersebut dipandang memenuhi
kriteria IAS 8. Namun demikian untuk persediaan yang memiliki sifat dan fungsi
yang berbeda dimungkinkan untuk menggunakan metode pengukuran kos yang berbeda,
tetapi jika sifat dan fungsinya sama, meskipun lokasi geografisnya berbeda,
pengukuran kos persediaan tetap harus menggunakan metode yang sama. Untuk
persediaan yang perputarannya rendah, serta disediakan dan dipisahkan untuk
proyek-proyek tertentu, dimungkinkan untuk menggunakan metode identifikasi
khusus dalam pengukuran kosnya. Dalam hal penilaian persediaan, IFRS
(IAS2) menetapkan bahwa the lower of cost and net realizable value harus
digunakan sebagai basis penilaian persediaan.
Metode
pengukuran kos dan penilaian persediaan sebagaimana diatur dan ditetapkan dalam
IFRS adalah metode-metode yang selama ini sudah dikenal dan diterapkan dalam US
GAAP. Sehingga perbedaan mendasar akuntansi persediaan antara IFRS dan US
GAAP adalah pada alternatif metode yang diperkenankan untuk diterapkan.
IFRS lebih membatasi penggunakan alternatif metode akuntansi yang boleh
digunakan, sedangkan US GAAP memberi keleluasaan lebih luas dalam memilih
alternatif akuntansi persediaan yang akan diterapkan, sesuai dengan situasi dan
keadaan yang dihadapi oleh masing-masing perusahaan, sehingga dapat dikatakan
bahwa untuk kasus standard akuntansi persediaan, fakta yang terjadi justru
sebaliknya, yaitu IFRS justru lebih condong ke rules-based sedangkan US
GAAP justru lebih condong ke principles-based.
Kepemilikan
Persediaan
Tidak ada
perbedaan tentang standard pengakuan persediaan antara IFRS dengan US GAAP,
keduanya menyatakan bahwa persediaan hanya akan diakui sebagai aset perusahaan
atau mudahnya diakui sebagai persediaan pada saat persediaan tersebut telah
menjadi sumber ekonomi bagi perusahaan, atau secara hukum telah menjadi hak
milik perusahaan. Secara umum, perusahaan harus mencatat adanya pembelian atau
penjualan persediaan pada saat secara legal telah terjadi perpindahan
kepemilikan persediaan. Baik IFRS maupun US GAAP menyatakan
pentingnya ketepatan cut-off transaksi persediaan pada akhir periode
akuntansi untuk menjamin ketepatan pengukuran kinerja operasional perusahaan
selama satu periode, sehingga untuk kepentingan pelaporan persediaan dan kos
penjualan dalam laporan keuangan diperlukan ketepatan penentuan transfer
kepemilikan atas persediaan.
Kesalahan
umum yang banyak terjadi, yang sama-sama menjadi topik utama kajian akuntansi
persediaan, baik pada akuntansi persediaan berdasarkan IFRS maupun berdasarkan
US GAAP adalah adanya anggapan atau pemahaman bahwa yang dimaksud dengan
persediaan adalah seluruh persediaan yang ada di tangan, sementara secara legal
persediaan yang ada ditangan belum tentu milik perusahaan dan sebaliknya
persediaan yang tidak ditangan tidak selalu berarti tidak dimiliki oleh
perusahaan, misalnya dalam kasus barang konsinyasi atau barang komisi.
Baik kajian
akuntansi berdasarkan IFRS maupun berdasarkan US GAAP menyadari adanya empat
hal yang bisa menimbulkan ketidaktepatan pelaporan persediaan, yaitu: (1)
persediaan dalam perjalanan dengan syarat FOB destination atau FOB
shipping point, (2) penjualan konsinyasi, (3) pembelian persediaan dengan
skema pendanaan tertentu (product financing arrangements), dan (4)
penjualan dengan hak istimewa untuk pengembalian barang (sales with generous
or unusual right of return). Tidak ada perbedaan standard akuntansi
antara IFRS dan US GAAP untuk akuntansi atas empat kemungkinan kasus pembelian
dan penjualan persediaan seperti tersebut di atas.
Dalam hal product
financing arrangements, IAS 18 dan FAS 49 (accounting for product
financing) sama-sama menyatakan bahwa substansi transaksi sama dengan
peminjaman uang. Untuk kasus sales with generous or unusual right of return,
baik IAS 18 maupun FAS 48 (revenue recognition when right of return
exists) sama-sama menyatakan bahwa pendapatan akan diakui pada saat jumlah
retur penjualan dapat diestimasi dengan memadai. Dapat disimpulkan bahwa
ketentuan standard akuntansi untuk kepemilikan persediaan, baik IFRS maupun US
GAAP sama-sama menekankan pada kejelasan aturan akuntansi dengan mengacu pada
substansi transaksi, sehingga bisa dikatakan bahwa kedua standard sama-sama
menggunakan basis aturan atau rules-based, atau jika sudut pandangnya
ditekankan pada substansi transaksi, dapat dikatakan bahwa keduanya sama-sama
menggunakan basis prinsip atau principles-based.
Penilaian
Persediaan
IAS 2 mendiskripsikan
bahwa basis utama akuntansi persediaan adalah kos, dan kos didefinisikan
sebagai jumlah kos pembelian atau kos konversi, termasuk kos lain untuk membuat
persediaan ada di lokasi perusahaan dan dalam kondisi seperti pada saat
pelaporan persediaan. Dikatakan bahwa kos atas pembelian persediaan
mencakup harga beli, biaya angkut, asuransi, dan biaya penanganan persediaan (handling
costs). Potongan tunai, rabat, dan jenis-jenis potongan pembelian
lain jika ada harus dikurangkan ke kos persediaan. Dapat disimpulkan
bahwa sampai dengan titik ini, tidak ada perbedaan kententuan pengukuran kos
persediaan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya membuat aturan yang boleh
dikatakan sama persis, karena memang untuk kasus kos perolehan persediaan tidak
ada ruang untuk penerapan konsep principles-based, sehingga mau tidak
mau harus menggunakan konsep rules-based.
Untuk kasus
persediaan yang memerlukan proses produksi cukup lama, IAS 23 mengatur
bahwa bagian dari biaya pendanaan (borrowing costs) harus diperlakukan
sebagai bagian dari kos persediaan. Dalam kasus ini dapat disimpulkan
bahwa IFRS justru sangat mengatur tentang bagaimana biaya pendanaan harus
diperlakukan, atau justru menggunakan rules-based dan bukannya
menggunakan principles-based. Semestinya jika konsisten menggunakan principles-based,
financing costs untuk keperluan proses produksi yang panjang semacam ini
tetap diperlakukan sebagai period costs dan bukannya diperlakukan
sebagai production costs, karena jika manajemen memutuskan untuk tidak
menggunakan dana luar dalam proses produksinya, maka financing costs tidak
akan pernah terjadi.
Dalam IAS 23
selanjutnya dikatakan bahwa biaya pendanaan ?biasanya? tidak dikapitalisasi
sebagai kos persediaan untuk kasus persediaan yang diperoleh dalam keadaan siap
untuk dijual.
IAS 2
menyebutkan bahwa kos konversi untuk proses produksi persediaan mencakup
seluruh kos yang berhubungan langsung dengan proses produksi persediaan,
seperti biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead. Alokasi biaya overhead
harus dilakukan secara sistematis dan rasional, dan dalam kasus biaya overhead
tetap, yaitu yang jumlahnya tidak berubah-ubah menyesuaikan dengan volume
produksi, alokasi harus dilakukan berdasarkan tingkat produksi normal. Dalam
periode tingkat produksi turun secara tidak normal, sebagian dari biaya
overhead tetap harus dibebankan langsung ke periode terjadinya biaya, atau
dengan kata lain harus diperlakukan sebagai biaya periode (period costs),
dan tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kos persediaan. Dalam kasus
standard pengukuran kos produksi ini, sekali lagi dapat dirasakan bahwa IFRS
membuat aturan dengan cukup jelas tetang bagaimana pengukuran kos produksi
harus dilakukan, sama sekali tidak berbeda dengan standard pengukuran kos
produksi versi US GAAP, sehingga dapat disimpulkan baik IFRS maupun US GAAP
tetap menggunakan konsep rules-based, dan bukannya menggunakan konsep principles-based.
Berdasarkan paparan dalam paragraf ini, sama sekali tidak ada alasan untuk
bisa mengatakan IFRS menggunakan principles-based dan US GAAP
menggunakan konsep rules-based.
Kos produksi
selain bahan baku dan biaya konversi (biaya tenaga kerja langsung dan biaya
overhead) hanya akan dibebankan sebagai bagian dari kos persediaan pada saat
biaya tersebut dipandang sangat diperlukan untuk membuat persediaan dalam
kondisi siap untuk dijual atau dilaporkan dalam laporan keuangan. Contoh
biaya semacam ini adalah biaya perancangan produk dan biaya persiapan produksi
untuk memenuhi kepuasan sekelompok pelanggan tertentu. Di sisi lain, seluruh
biaya riset dan pengembangan produk, berdasarkan IAS 38, tidak boleh
diperlakukan sebagai bagian dari kos persediaan. Kos lain yang juga tidak
perperbolehkan diperlakukan sebagai bagian dari kos persediaan adalah biaya
administrasi dan biaya penjualan atas persediaan, kos sisa bahan-bahan
produksi, serta kos penggudangan persediaan. Kos lain yang harus dimasukkan
sebagai bagian dari kos overhead, dan oleh karenanya diperlakukan sebagai
bagian dari kos persediaan adalah biaya perbaikan dan pemeliharaan mesin, biaya
peralatan produksi, biaya sewa peralatan produksi, biaya tenaga kerja tidak
langsung, biaya gaji pengawas produksi, kos bahan-bahan produksi tidak
langsung, biaya pengendalian dan pengawasan kualitas produk, dan kos atas
peralatan kecil yang tidak dikapitalisasi. Ketentuan dalam IFRS atas biaya
produksi selain kos bahan baku dan kos konversi, yang diuraikan dalam paragraf
ini, juga memperjelas fakta bahwa untuk kasus ini IFRS tidak menggunakan principles-based,
tetapi menggunakan rules-based sebagaimana yang terjadi pada US
GAAP.
Joint Products dan By-Products
Dalam
beberapa kasus proses produksi, perusahaan memproduksi lebih dari satu jenis
produk secara bersamaan. Jika masing-masing jenis produk memiliki nilai yang
cukup signifikan, produk tersebut dinamakan sebagai joint products atau
produk bersama, jika hanya salah satu produk yang memiliki nilai signifikan,
maka produk lain dinamakan sebagai by-produks atau produk
sampingan. Dalam IAS 2, pada saat kos dari masing-masing produk dalam
produk bersama sulit diidentifikasi, maka diperlukan alokasi kos produksi
secara rasional ke masing-masing jenis produk. Biasanya, alokasi dilakukan
berdasarkan pada nilai relatif dari masing-masing jenis produk, yaitu yang diukur
berdasarkan harga jual masing-masing jenis produk. By-products didefinisikan
sebagai produk yang memiliki nilai relatif tidak signifikan dibanding nilai
dari produk utama perusahaan. IAS 2 menganjurkan bahwa by-products dinilai
berdasarkan nilai bersih yang dapat direalisasi (net realizable value), selanjutnya
kos yang dialokasikan ke by-products dikurangkan terhadap keseluruhan
kos produksi. Dalam kasus pengukuran kos untuk joint products dan by-products,
IFRS mendiskripsikan dengan sangat jelas tentang bagaimana standard
akuntansinya, dan dalam hal ini standard akuntansi yang ditawarkan oleh IFRS
juga tidak berbeda dengan standard akuntansi versi US GAAP, sehingga dalam
kasus inipun tidak bisa dikatakan bahwa IFRS menggunakan konsep principles-based
dan US GAAP menggunakan konsep rules-based, tetapi akan lebih tepat
dikatakan bahwa baik IFRS maupun US GAAP sama-sama menggunakan konsep rules-based.
Direct
Costing
Metode yang
telah diterima secara umum dalam mengalokasikan kos overhead tetap ke dalam
persediaan akhir dan kos penjualan dikenal dengan nama (full) absorption
costing. Dalam kasus ini IAS 2 mengharuskan penerapan metode ini.
Namung demikian untuk keperluan keputusan manajerial perusahaan bisa menerapkan
alternatif dari absorption costing, yaitu variable costing atau
direct costing. Dalam direct costing kos persediaan hanya terdiri
dari kos langsung saja, yaitu terdiri dari kos bahan baku, kos tenaga kerja
langsung, dan kos overhead variabel, selanjutnya seluruh kos tetap diperlakukan
sebagai kos periode (period costs). Alasan utama penggunakan direct
costing adalah agar kontribusi marjinal (marginal contribution) untuk
masing-masing jenis produk bisa kelihatan jelas efek linieritasnya, sehingga
memudahkan proses perencanaan dan pengendalian bisnis. Namun demikian,
penggunakan direct costing mengakibatkan kos persediaan tidak mencakup
seluruh kos yang diperlukan untuk memproduksi persediaan, sehingga direct
costing dipandang sebagai metode yang tidak sesuai dengan IAS 2, sehingga
jika perusahaan secara interen menggunakan direct costing maka untuk
keperluan pelaporan keuangan harus membuat penyesuaian untuk membuat kos
persediaan sesuai dengan IFRS yang menganjurkan penggunakan absorption
costing. Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus direct costing, IFRS
tidak menggunakan konsep principles-based melainkan sama persis dengan
US GAAP yang menggunakan konsep rules-based.
Pengukuran
Kos Persediaan Dengan Metode Identifikasi Khusus
Basis
teoritis penilaian persediaan dan kos penjualan adalah berdasarkan kos produksi
atau kos peroleh yang melekat pada barang yang masih ada dalam persediaan atau
barang yang sudah terjual, dan jika teori ini benar-benar diterapkan maka
dikatakan bahwa penilaian persediaan menggunakan metode identifikasi khusus. Namun
demikian, secara umum praktik penilaian persediaan semcam ini dipandang tidak
praktis, bahkan tidak bisa dioprasionalkan dalam tataran praktik, karena
biasanya setiap produk akan kehilangan identitas spesifiknya pada saat produk
tersebut telah melewati proses produksi dan proses penjualan, kecuali untuk
persediaan-persediaan yang memiliki nilai sangat tinggi dan perputarannya
sangat rendah. IAS 2 menetapkan bahwa metode identifikasi khusus harus
diterapkan atas persediaan yang tidak saling menggantikan (interchangeable) serta
atas barang yang dibuat dan dipisahkan untuk memenuhi projek tertentu.
Untuk persediaan yang memenuhi kreteria semacam ini penggunaan metode
identifikasi khusus menjadi keharusan (mandatory) dan alternatif metode
penilaian persediaan yang lain tidak diperkenankan untuk diterapkan. US
GAAP tidak mengharuskan penerapan metode penilaian persediaan tertentu, tetapi
hanya menyodorkan alternatif metode penilaian, yang menjadi keharusan hanyalah
konsistensi dalam menggunakan metode akuntansi yang dipilih untuk diterapkan.
Melihat fakta semacam ini, dapat dikatakan bahwa untuk kasus semacam ini US
GAAP lebih princile-based dibanding IFRS.
Firs-In, First-Out (FIFO) dan Weighted-Average Cost
Metode
penilaian persediaan lain yang diperkenankan oleh IFRS adalah metode FIFO
dan metode rata-rata tertimbang (weighted-average method). Dalam metode
FIFO diasumsikan bahwa barang yang pertama dibeli akan menjadi barang yang
pertama digunakan atau barang yang pertama dijual, tanpa memperhatikan aliran
fisik persediaan yang sesungguhnya. Metode ini dipandang paralel atau paling
tidak lebih dekat dengan aliran fisik persediaan pada perusahaan-perusahaan
yang memiliki persediaan dengan tingkat perputaran persediaan sedang hingga
tinggi. Kekuatan metode ini adalah pada pelaporan persediaan dalam laporan
posisi keuangan (neraca), karena persediaan yang pertama dibeli diasumsikan
sebagai persediaan yang pertama dijual, maka saldo persediaan akan terdiri dari
persediaan yang terakhir dibeli, sehingga pelaporan persediaan menjadi semakin
dekat dengan tujuan pelaporan aset sebesar nilai wajarnya. Dalam metode
rata-rata tertimbang, kos persediaan akhir ditentukan sebesar rata-rata kos
persediaan selama satu periode. Meskipun dalam metode rata-rata kos persediaan
bisa terdistorsi oleh perubahan tingkat harga persediaan, tetapi metode
persediaan ini dalam kasus-kasus tertentu cukup praktis untuk diterapkan.
Untuk kasus metode FIFO dan metode rata-rata tertimbang tidak ada perbedaan
antara IFRS dengan US GAAP, keduanya membuat aturan dan ketentuan yang sama.
Net Realizable Value
IAS 2
mendefinisikan Net Realizable Value sebagai berikut:
Net
realizable value is the estimated selling price in the ordinary course of
business less the estimated costs of completion and the estimated costs
necessary to make the sale.
Definisi
tersebut sama definisi batas bawah (floor) pada penilaian persediaan
dengan metode COMWIL atau LCM yang ditawarkan pada akauntansi persediaan
berbasis US GAAP. Ketentuan ini didasarkan pada dua basis pertimbangan,
yaitu pertama persediaan tidak boleh dilaporkan di atas nilai bersih yang
dapat direalisasi (net realizable value), dan kedua penurunan nilai
persediaan harus dilaporkan pada periode terjadinya penurunan nilai persediaan
untuk ketepatan penandingan dengan pendapatan pada periode yang bersangkutan.
IAS 2
menyatakan bahwa estimasi net realizable value harus diterapan untuk
setiap jenis persediaan atau item demi item, kecuali terdapat sekelompok
persediaan yang sejenis dan dapat dinilai secara tepat per kelompok jenis
persediaan. Sebagai pedoman umum, penilaian harus dilakukan untuk setiap jenis
persediaan untuk mencegah kemungikan terjadinya kompensasi unrealized gain dengan
unrealized loss kelompok persediaan lain, sehingga menurunkan jumlah
rugi yang harus diakui, hal ini penting untuk diperhatikan mengingat IFRS
melarang pengakuan unrealized gain pada laporan rugi-laba. Dikatakan
bahwa evaluasi penurunan nilai persediaan yang dilakukan atas sekelompok
persediaan, tidak atas item per item persediaan, adalah merupakan mekanisme
tidak langsung atau ?backdoor mechanism? untuk mengakui unrealized
gain yang seharusnya tidak diakui, sehingga perlu ditegaskan bahwa tuntutan
dasar evaluasi penurunan nilai persediaan adalah diterapkan atas item demi item
persediaan. Paparan dalam dua paragraf di atas menegaskan bahwa IAS 2 sangat
mengatur penerapan net realizable value, yaitu harus diterapkan item
demi item demi untuk mencegah potensi pengakuan unrealized gain secara
tidak langsung, di sisi lain US GAAP tidak mengatur hingga sedetil ini,
sehingga dapat disimpulkan bahwa IFRS ternyata justru lebih condong ke rules-based
dan bukannya berbasis pada konsep principles-based.
Recoveries of previously recognized losses. Untuk kasus terjadinya kenaikan kembali
nilai persediaan, IAS 2 mendeskripsikan bahwa pengukuran net realizable
value harus dilakukan pada setiap periode pelaporan keuangan, dan pada saat
tidak terdapat lagi fakta adanya penurunan nilai persediaan, misalnya karena
nilai persediaan mengalami kenaikan kembali, maka penurunan nilai persediaan
harus dibatalkan dengan membuat jurnal koreksi, dan karena penurunan nilai
persediaan telah dimasukkan ke dalam laporan rugi-laba, maka jurnal koreksi
atas penurunan nilai persediaan juga harus direfleksikan dalam laporan
rugi-laba. Juga ditegaskan bahwa jurnal koreksi atau recovery hanya
diperkenankan maksimum sebesar penurunan nilai yang telah diakui pada periode
sebelumnya. Dalam kasus ini perbedaannya dengan US GAAP adalah bahwa dalam US
GAAP penurunan nilai persediaan yang telah diakui pada periode sebelumnya tidak
boleh ditutup dengan kenaikan nilai pada periode berikutnya. Dari sudut
pandang istilah konsep principles-based dan ruled-based, ternyata
untuk kasus inipun keduanya lebih bisa dikatakan sama-sama menggunakan ruled-based.
Metode Harga
Eceran (Retail Method)
IAS 2
menjelaskan bahwa metode harga eceran mungkin diterapkan pada kelompok industri
tertentu. Metode harga eceran konvensional digunakan oleh perusahaan-perusahaan
yang menjual barangnya secara eceran untuk mengestimasi kos persediaan akhir.
Metode harga eceran dapat diterapkan pada metode pengukuran kos FIFO, rata-rata
tertimbang, atau pada metode the lower of cost or net realizable value (LCNRV).
Kunci utama metode harga eceran adalah pada penentuan rasio kos atas harga
eceran (cost-to-retail ratio). Perhitungan rasio bisa bervariasi sesuai
dengan asumsi arus kos yang digunakan, yaitu FIFO atau rata-rata tertimbang.
Metode perhitungan rasio kos atas harga eceran dapat diterapkan dengan berbagai
kemungkinan sebagai berikut:
1.
FIFO cost
2.
FIFO ? menggunakan LCNRV
3.
Average cost
4.
Average cost ? menggunakan LCNRV
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hal persediaan dinilai dengan metode
harga eceran (retail method), tidak ada perbedaan teknis perhitungan
antara IFRS dengan US GAAP, keduanya mengatur teknis perhitungan kos persediaan
dengan cara yang sama, sehingga untuk kasus ini dapat dikatakan IFRS dan US
GAAP menggunakan konsep rules-based atau bisa juga dikatakan menggunakan
konsep principles-based dari sisi keleluasaan pemilihan alternatif
metode.
Gross Profit Method
Metode lain
yang juga dikenal dalam IFRS adalah metode laba bruto (gross profit method),
metode ini secara konsep tidak berbeda dengan metode harga eceran,
fungsinya adalah untuk menentukan nilai persediaan akhir berdasarkan rasio kos
atas harga jual, terutama pada saat perusahaan dalam posisi tidak memungkinkan
untuk melakukan perhitungan fisik persediaan, atau pada saat perhitungan fisik
persediaan dipandang tidak layak untuk diterapkan. Metode ini juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi kewajaran (reasonableness) jumlah dan nilai
persediaan akhir. Dalam hal teknis penerapan metode ini, dapat disimpulkan pula
bahwa tidak ada perbedaan antara IFRS dengan US GAAP.
Fair Value as an Inventory Costing Method
Secara umum
persediaan dilaporkan sebesar kos-nya, namun demikian sebagaimana telah
dideskripsikan dalam berbagai metode penilaian persediaan di atas, kos
persediaan kemungkinan harus dipastikan kelayakannya dengan menggunakan
berbagai metode penilaian sebagaimana dideskripsikan dalam IAS 2, dan
pada saat jumlah nilai persediaan (recoverable amounts) tidak sama
dengan kos persediaan (dalam hal ini lebih rendah dari kos), maka perlu
dilakukan penghapusan atas kos persediaan untuk merefleksikan adanya penurunan
nilai (impairment) persediaan.
Namun
demikian untuk lingkungan industri tertentu dimungkinkan untuk melaporkan
persediaan sebesar fair value di atas kos produksi atau kos perolehan
persediaan. IAS 41 menyatakan bahwa untuk produk-produk pertanian dapat
dilaporkan berdasarkan fair value-nya, selanjutnya IAS 41 juga
mendeskripsikan bahwa seluruh aset biologis harus dinilai berdasarkan fair
value dikurangi taksiran biaya penjualan, kecuali pada saat fair value tidak
bisa diukur dengan memadai. Produk-produk pertanian dinilai berdasarkan fair
value pada saat penen dikurangi dengan taksiran biaya penjualan. Ketentuan
tentang penggunaan fair value dalam penilaian persediaan, sampai sejauh
ini juga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan signifikan antara IFRS dengan US
GAAP.
PENUTUP
Persediaan
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap laporan keuangan, karena esensi
dari kegiatan bisnis, terutama perusahaan dagang dan perusahaan manufaktur,
adalah melakukan jual beli persediaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa volume
transaksi dan volume saldo persediaan secara umum jumlahnya akan signifikan
terhadap laporan keuangan. Kesalahan akuntansi atas persediaan secara otomatis
akan berakibat ganda, yaitu mempengaruhi laporan posisi keuangan (neraca) dan
sekaligus mempengaruhi laporan rugi-laba, karena jumlah persediaan dalam neraca
akan menentukan jumlah kos penjualan pada laporan rugi-laba.
IFRS dan US
GAAP adalah dua mainstream standar akuntansi yang mempengaruhi praktik
akuntansi secara internasional, yang dalam banyak hal memiliki perbedaan
standard akuntansi yang cukup signifikan, yang secara umum dikatakan bahwa
standard akuntansi IFRS bersifat ?principles-based? sedangkan US GAAP
bersifat ?rules-based?. Principles-based mengandung makna bahwa standard
akuntansi tidak bersifat ketat atau rigid, melainkan hanya memberikan
prinsip-prinsip umum standard akuntansi yang harus diikuti untuk memastikan
pencapaian kualitas informasi tertentu, misalnya relevan, dapat
diperbandingkan, dan objektif. Sedangkan rules-based mengandung
makna bahwa untuk mencapai kualitas informasi tertentu, misalnya relevan, dapat
diperbandingkan, dan objektif, standard akuntansi harus bersifat ketat
atau rigid. Namun demikian, untuk kasus standard akuntansi
persediaan, berdasarkan kajian standard akuntansi IFRS dan US GAAP sebagaimana
dipaparkan dalam artikel ini, tidak ditemukan adanya fakta pendukung yang dapat
digunakan untuk mendukung pernyataan bahwa IFRS bersifat principles-based sedangkan
US GAAP bersifat rules-based. Bahkan dalam beberapa hal IFRS justru
lebih mengatur atau lebih bersifat rules-based dibanding US GAAP.