Aset tetap
atau PPE (Property, Plant, and Equipment) adalah aset berwujud (tangible
assets) yang digunakan dalam kegiatan operasional perusahaan, yang memiliki
manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Istilah aset tetap digunakan untuk
membedakan dengan aset tidak berwujud, yang juga memiliki masa manfaat lebih
dari satu periode akuntansi tetapi tidak memiliki wujud fisik, serta nilainya
tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh eksistensi fisik dari aset.
Dalam
standar akuntansi yang mengacu ke Amerika (US GAAP), akuntansi untuk aset tetap
relatif tidak menimbulkan banyak masalah, karena standar akuntansi aset tetap
berdasar US GAAP menggunakan basis kos historis. IFRS tidak menggunakan basis
kos historis, mengingat basis kos historis berimplikasi pada penyajian laporan
keuangan yang dipandang kurang relevan dengan kebutuhan nyata pengguna
informasi karena tidak mampu menggambarkan nilai riil aset tetap yang disajikan
di dalam laporan keuangan.
Artikel ini
tidak dimaksudkan untuk membahas secara detil seluruh aspek teknis akuntansi
atas aset tetap, tetapi dimaksudkan untuk mendeskripsikan aspek-aspek umum
akuntansi aset tetap yang membedakan antara US GAAP dengan IFRS. Secara umum
permasalahan akuntansi aset tetap yang akan dibahas dalam artikel ini adalah
mencakup prinsip-prinsip dasar akuntansi aset tetap sebagai berikut:
- Akuntansi
perolehan aset tetap
- Akuntansi
alokasi kos aset tetap ke masing-masing periode akuntansi yang menikmati
jasa aset tetap.
- Akutansi
perubahan nilai aset setelah pemilikan aset, seperti akuntansi kenaikan
nilai dan penurunan nilai (impairments) aset tetap.
- Akuntansi
penghentian aset.
Baik standar
akuntansi versi US GAAP maupun versi IFRS area utama permasalahan akuntansi
yang diatur dalam masing-masing standard adalah sama, yaitu dalam empat area
tersebut di atas, sehingga dengan melakukan pengkajian atas keempat area utama
akuntansi tersebut akan diperoleh pemahaman tentang kesamaan dan perbedaan standard
akuntansi yang berlaku pada masing-masing standar.
PEMBAHASAN
Pengukuran
Kos Investasi Awal
Seluruh
biaya yang dikeluarkan untuk membuat aset tetap dalam kondisi siap dioperasikan
harus dicatat sebagai bagian dari kos aset. Elemen kos mencakup (1) harga beli,
termasuk biaya legal dan fee perantara, pajak impor, pajak pertambahan nilai,
dan pajak-pajak lain yang bersifat final, dikurangi dengan diskon atau
rabat dan (2) seluruh biaya langsung untuk membawa aset ke lokasi hingga
siap dioperasikan sesuai harapan manajemen, termasuk biaya persiapan lokasi
penempatan aset tetap, biaya pemasangan, dan biaya uji coba, dan (3) taksiran
biaya pembongkaran (dismantling costs), pemindahan barang, dan penyiapan
lokasi. Dari tiga macam elemen kos, letak perbedaan US GAAP dan IFRS adalah
pada perlakukan akuntansi atas dismantling costs, US GAAP menggunakan
prinsip kos historis, sehingga unsur biaya yang sifatnya masih preditif,
apalagi peristiwanya akan terjadi setelah aset tetap dihentikan pemanfaatannya,
tidak diperlakukan sebagai unsur kos aset tetap.
Dalam hal
aset tetap diperoleh dengan cara kredit, bunga kredit tidak termasuk sebagi kos
aset tetap, dalam kasus ini kos aset tetap diakui sebesar nilai tunai dari
pembayaran periodik. Biaya inkremental lain, seperti biaya konsultasi dan biaya
komisi dalam rangka pembelian aset termasuk sebagai bagian dari kos aset tetap
berwujud. Dalam kasus ini, secara prinsip dan konsep tidak ada perbedaan antara
US GAAP dengan IFRS.
Biaya
restorasi lokasi aset (decommissioning costs) yang diprediksi akan
terjadi pada akhir masa manfaat aset diperlakukan sebagai bagian dari kos aset
tetap. Dengan demikian kos aset tetap adalah mencakup kos perolehan aset tetap
ditambah dengan decommissioning costs dan dismantling costs. Rekening
lawan dari decommissioning costs adalah rekening utang bersyarat. IAS 37
menegaskan bahwa provisions atau pencadangan utang atas decommissioning
costs akan diakui hanya pada saat dipenuhi kriteria sebagai berikut:
- Pada
saat pelaporan keuangan perusahaan terbukti memiliki kewajiban (present
obligation) baik secara legal maupun bersifat konstruktif, sebagai
akibat dari peristiwa yang lalu.
- Dapat
diprediksi akan terjadinya arus keluar sumberdaya ekonomi untuk
menyelesaikan kewajiban, dan
- Dapat
diprediksi secara memadai jumlah kewajiban yang harus diselesaikan diwaktu
yang akan datang.
Dalam
proposal amandemen IAS 37: Provision, Contingent Liabilities and Contingent
Assets, IASB (the International Accounting Standards Board) mengusulkan
untuk menghapus istilah ?Provisions? dan menggantinya dengan istilah
baru ?nonfinancial liabilities?. Dalam US GAAP masalah decommissioning
costs tidak diatur karena prinsip yang digunakan adalah kos historis, meskipun
pada dasarnya jika unsur decommissioning costs diakomodasi oleh US GAAP
perlakukan akuntansinya cocok dengan prinsip kehati-hatian atau conservative
principle yang digunakan sebagai basis pengembangan US GAAP. Namun
demikian US GAAP tidak menerapkan prinsip hati-hati untuk mengakui decommissioning
costs, dengan kemungkinan alasan karena objectivitas atau validitas
estimasi kos sulit untuk diukur.
Contoh
implementasi decommissioning costs adalah sebagai berikut, misalnya
dalam rangka memenuhi ketentuan perizinan pemerintah dalam pengadaan aset
tetap, perusahaan diwajibkan pada akhir masa pakai aktiva tetap perusahaan
harus membongkar aktiva tetap, membersihkan lokasi penempatan aktiva tetap, dan
mengembalikan tanah seperti keadaan semula. Kondisi semacam ini memenuhi
ketentuan sebagai kewajiban masa sekarang sebagai akibat peristiwa masa lalu
(pengadaan aset tetap), yang kemungkinan besar akan mengakibatkan arus keluar
sumberdaya di masa yang akan datang. Pengakuan kos atas peristiwa di masa yang
akan datang semacam ini memerlukan estimasi yang cukup cermat, mengingat estimasi
berhubungan dengan jangka waktu yang cukup panjang, yang sangat rentan dengan
berbagai kemungkinan yang bisa mempengaruhi ketepatan estimasi, paling tidak
bisa sangat dipengaruhi oleh evolusi atau bahkan revolusi perubahan teknologi,
yang kemungkinan besar akan mempengarui realisasi decommissioning dan dismantling
costs.
Untuk
mengatasi kerumitan estimasi, IAS 37 memberikan arahan teknis dengan menyatakan
bahwa estimasi yang terbaik adalah dengan cara mengukur dengan tepat decommissioning
dan dismantling costs pada akhir masa kegunaan aset tetap, kemudian
mengukurnya dengan nilai sekarang (discounted to present value), selanjutnya
present value dari kedua unsur kos tersebut dimasukkan sebagai bagian
dari kos perolehan aset tetap. Meskipun telah disediakan arahan teknis semacam
ini, kesulitan dalam praktik tetap akan terjadi, karena yang menjadi persoalan
utama adalah pada teknis pengukuran secara tepat prediksi potensi kos yang akan
terjadi pada akhir umur ekonomis aset tetap, bukan pada bagaimana mengukur
nilai sekarang dari kedua unsur kos tersebut. Dari kaca mata US GAAP, masalah
berat seperti ini barangkali yang membuat US GAAP tidak mengatur standard
tentang unsur biaya semacam ini.
Perlu
difahami bahwa dismantling costs, legal costs atau constructive
obligations, yang merupakan bagian dari kos perolehan aset tetap, tidak
diperkenankan untuk diperluas sampai dengan kos operasional aset tetap di waktu
yang akan datang, mengingat kos operasional di waktu yang akan datang tidak
memenuhi kriteria sebagai kewajiban masa sekarang (present obligation).
Konsekuensi dari ketentuan kapitalisasi dismantling costs maka dismantling
costs harus dibebankan ke masing-masing periode yang menikmati jasa aset
tetap melalui prosedur depresiasi. Pada masing-masing periode dismantling
costs harus disesuaikan dengan perkembangan informasi terbaru dengan tujuan
untuk meningkatkan ketepatan prediksi dismantling costs. Kenaikan nilai
cadangan (provision) dari dismantling costs dilaporkan sebagai
bunga atau semacam biaya pendanaan.
Beberapa
contoh decommissioning costs atau dismantling costs yang harus
diakui pada saat perolehan aset tetap, misalnya sebagai berikut:
Contoh 1:
Kasus lease
premises (leasing aset tetap). Misalnya dalam transaksi
leasing terdapat kewajiban bagi lessee atau pembeli bahwa pada akhir umur
ekonomi aset tetap harus mengosongkan lokasi penempatan aset tetap, atau harus
membongkar dan memindahkan aset tetap ke lokasi lain. Dalam hal terjadi kasus
semacam, jika leasing termasuk kategori leasing pendanaan (finance lease), maka
taksiran biaya pembongkaran dan pemindahan aset (distmantling dan decommissioning
costs) harus dikapitalisasi atau dibukukan sebagai bagian dari kos aset
tetap, dan didepresiasi selama umur ekonomi aset tetap. Dalam hal leasing termasuk
sebagai kategori leasing operasional, kos semacam ini harus dipalorkan sebagai
beban ditangguhkan (deferred charge). Dalam US GAAP kos semacam ini
tidak diperlakukan sebagai kos aset tetap, karena kos aset tetap diukur
berdasarkan kos yang telah terjadi (historical costs), dan tidak
termasuk kos yang kemungkinan akan terjadi.
Contoh 2:
Kepemilikan
aset tetap (owned premises). Mesin dalam contoh 1 dipasang
pada lokasi pabrik yang dimiliki perusahaan. Pada akhir umur ekonomi mesin,
perusahaan memiliki opsi untuk membongkar dan memindahkan mesin serta
menanggung seluruh biaya pembongkaran dan pemindahan mesin, atau membiarkan
mesin tetap ditempatnya dan tidak dioperasikan lagi. Jika perusahaan memilih
tidak membongkar dan memindahkan mesin, maka akibat yang ditimbulkan adalah
menurunkan nilai wajar (fair value) dari lokasi mesin, jika perusahaan
memutuskan untuk menjual lokasi mesin sebagaimana adanya. Tetapi karena
tidak ada kewajiban legal untuk membongkar dan memindahkan aset tetap, dalam
hal ini mesin, maka kos pembongkaran tersebut tidak dimasukkan sebagai bagian
kos dari aset tetap. Semestinya kos pembongkaran harus tetap diakui sebagai kos
aset tetap, agar perlakuan akuntansinya konsisten dengan kasus nomor 1 (satu)
di atas.
Contoh 3:
Dengan menggunakan
kasus yang sama seperti contoh 1 dan 2, misalnya dalam kasus ini pemilik
perusahaan memberi opsi kepada fihak ketiga untuk membeli perusahaan pada akhir
tahun ke 5, yaitu akhir umur ekonomis aset tetap. Di dalam menawarkan opsi,
secara verbal pemilik perusahaan mengatakan bahwa perusahaan akan dalam keadaan
bersih, seluruh mesin serta perlengkapan kantor akan disingkirkan dari lokasi
pabrik. Pemilik perusahaan berharap bahwa pembeli opsi menjadi tertarik karena
biaya pembongkaran aset tetap (dalam hal ini mesin) ditanggung oleh penjual,
yaitu dalam bentuk janji untuk membersihkan pabrik dari mesin-mesin lama. Dalam
kasus semacam ini, meskipun status legalnya kemungkinan masih dapat
dipertanyakan, tetapi secara janji semacam ini telah memunculkan kewajiban
konstruktif (constructive obligation) dan harus diakui sebagai decommissioning
costs.
Contoh 4:
PT X
bergerak dalam produksi bahan-bahan kimia. Perusahaan memasang tank bawah
tanah untuk menyimpan berbagai jenis bahan kimia. Tank dipasang pada saat perusahaan
membeli fasilitas pabrik tujuh tahun yang lalu. Pada bulan Februari 2009
pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan perusahaan untuk membongkar
tank semacam ini pada saat tank sudah tidak digunakan lagi. Dalam kasus semacam
ini maka mulai sejak dikeluarkan peraturan pemerintah perusahaan harus mengakui
decomissioning obligation.
Misalnya
dalam kasus PT X ini, dalam kegiatan operasionalnya perusahaan juga menggunakan
cairan kimia untuk membersihkan peralatan pabrik yang dimilikinya, yang
ditempatkan dalam penampungan yang khusus dirancang untuk tujuan tersebut.
Penampungan dan tanah sekitarnya yang semuanya adalah milik PT X,
terkontaminasi oleh pembersih berbahan kimia tersebut. Pada tanggal 1 Februari
2009 pemerintah menerbitkan peraturan yang berisi keharusan untuk membersihkan
dan membuang limbah produksi yang membahayakan pada akhir penggunaan fasilitas
penampungan sisa bahan kimia. Atas berlakunya peraturan pemerintah tersebut,
berakibat timbulnya keharusan untuk mengakui dengan segera biaya pembersihan
dan pembuangan limbah industri (decommissioning costs and obligation) yang
berhubungan dengan kontaminasi yang telah terjadi.
Tentang
kemungkinan terjadinya perubahan taksiran decommissioning costs dan dismantling
costs, IFRIC nomor 1 menginterpretasikan bahwa penyesuaian hanya
diperlukan untuk sisa umur aset tetap, atau berlaku secara prospektif, dan
tidak berlaku secara restrospektif.
Inilah salah
satu perbedaan antara US GAAP dan IFRS, karena US GAAP berbasis kos historis,
maka dismantling dan decommissioning costs tidak diakui. Utang
bersyarat yang selama ini diakomodasi oleh US GAAP adalah bukan untuk konteks
semacam ini, misalnya hutang hadiah, utang garansi, atau utang karena adanya
tuntutan hukum fihak ketiga, yang jumlah nominalnya relatif lebih mudah
pengukurannya. Hambatan yang akan dihadapi pada saat IFRS diterapkan
adalah pada penaksiran atau pengukuran dismantling costs dan taksiran
kos lain yang akan timbul pada saat aset tetap dihentikan pemanfaatannya. Namun
demikian IFRIC nomor 1, telah memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi
hambatan ini.
Kos Aset
yang Dibangun Sendiri
Konsep
pengukuran kos atas aset tetap yang dibangun sendiri adalah sama dengan aset
tetap yang diperoleh dengan membeli dalam bentuk jadi, yaitu bahwa seluruh kos
yang diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan aset diperlakukan sebagai kos
aset tetap, permasalahan hanya akan terjadi pada saat kos aset ternyata
melampaui recoverable amount, kelebihan kos harus diperlakukan sebagai
biaya pada periode terjadinya kos. Jumlah abnormal dari sisa bahan, tenaga, dan
sumberdaya yang lain tidak boleh diperlakukan sebagai kos aset tetap.
Aset tetap
yang dibangun sendiri juga mencakup biaya pendanaan selama proses pembangunan
berlangsung. Ketentuan kapitalisasi biaya pendanaan diatur dalam IAS 23.
Kontroveri muncul untuk perlakuan akuntansi atas overhead kos tetap. Terdapat
dua alternatif perlakuan akuntansi atas overhead kos tetap:
- Dibebankan
ke kos aset berdasarkan jumlah wajarnya atau dibebankan secara rata-rata,
misalnya menggunakan basis yang sama dengan pembebanan untuk persediaan
yang diproduksi sendiri, atau
- Dibebankan
ke kos aset tetap hanya sebesar kenaikan fixed overhead cost yang dapat
diidentifikasi.
Ketentuan
dalam IAS 23 tersebut tidak berbeda dengan ketentuan yang berlaku dalam US
GAAP. Ketika IFRS belum mengatur masalah ini, praktisi akuntansi
dianjurkan untuk mempertimbangkan pedoman yang dikeluarkan oleh US GAAP. Dalam
monograf riset akuntansi AICPA, saran tersebut dinyatakan sebagai berikut:
???in the
absence of compelling evidence to the contrary, overhead costs considered to
have ?discernible future benefits? for the purposes of determining the cost of
inventory should be presumed to have ?discernible future benefits? for the
purpose of determining the cost of a self-constructed depreciable asset???
Sejauh hasil
penelitian penulis, dalam hal aset tetap diperoleh dengan cara dibangun
sendiri, sampai dengan saat ini belum ada perbedaan konsep dan standar antara
US GAAP dan IFRS.
Kos atas
Pertukaran Aset Tetap
Aset tetap
kemungkinan diperoleh melalui pertukaran antar aset tetap. US GAAP mengatur
bahwa pertukaran harus dibedakan sebagai berikut:
- Pertukaran
tersebut antar aset sejenis atau tidak sejenis, kriteria sejenis atau
tidak sejenis adalah pada fungsi dari aset tetap, jika fungsinya sama maka
akan disimpulkan sebagai aset tetap sejenis.
- Jika
pertukaran dilakukan antara aset tetap sejenis, maka tidak boleh diakui
adanya laba pertukaran aset tetap, kecuali dalam pertukaran tersebut diterima
sejumlah kas, maka laba diakui proporsional dengan kas yang diterima.
IFRS
menetapkan standar yang kurang lebih sejalan dengan yang diatur dalam US GAAP,
perbedaanya adalah pada ketentuan sejenis dan tidak sejenis. IFRS menggunakan
istilah ?substansi ekonomi?, dalam arti bahwa pertukaran tersebut mengandung
substansi ekonomi atau tidak. Ukuran substansi ekonomi adalah pada pengaruhnya
terhadap arus kas di waktu yang akan datang, jika arus kas di waktu yang akan
datang diprediksi tidak terpengaruh oleh pertukaran, maka pertukaran akan
dianggap sebagai tidak memiliki substansi ekonomi, atau dianggap sebagai
pertukaran aset tetap sejenis, meskipun pada dasarnya aset tetap tersebut
memiliki fungsi dan kegunaan yang berbeda.
Kos Setelah
Kepemilikan
Kos yang
terjadi setelah kepemilikan aset tetap, seperti perbaikan, pemeliharaan, atau
perbaikan (betterment). Perlakukan akuntansi atas kos setelah pemilikan
ditentukan oleh karakteristik dari kos tersebut. Kos setelah pemilikan dapat
dikapitalisasi sepanjang kos tersebut diprediksi akan memberikan manfaat
ekonomi di waktu yang akan datang melampau prediksi manfaat ekonomi semula,
misalnya umur ekonomisnya bertambah, kapasitas produksinya bertambah, atau
kualitas outputnya meningkat.
Sebagaimana
halnya dalam kos aset yang dibuat sendiri, jika kos penggantian melampaui
batasan kos yang telah ditetapkan, maka kelebihan kos harus dibebankan sebagai
biaya pada periode yang berjalan, dan pada saat perbaikan aset menyangkut
penggantian sebagian dari aset, bagian aset yang diganti harus diperlakukan
sebagai penghentian aset.
Untuk
komponen aset tetap yang harus diganti secara periodic, karena usia ekonomisnya
lebih cepat dibanding aset tetap utamannya, maka komponen tersebut harus
didepresiasi tersendiri sesuai dengan umur ekonomis bagian dari aset tetap
tersebut, sehingga ketika komponen tersebut diganti atau direnovasi total,
komponen tersebut diharapkan sudah habis didepresiasi secara penuh. Jika
ternyata masih tersisa kos komponen aset tetap yang belum didepresiasi penuh
dan komponen aset tetap yang baru telah dibukukan sebagai komponen aset tetap,
maka sisa kos aset tetap tersebut harus dihapus dari rekening komponen aset
tetap.
Prinsip umum
yang dapat digunakah adalah jika pengeluaran kos setelah pemilikan hanya ditujukan
untuk membuat aset tetap dapat berfungsi sesuai dengan prediksi kapasitas
produksi pada saat aset tetap diperoleh, atau untuk mengembalikan kapasitas
aset tetap ke kapasitas semula, pengeluaran kos setelah pemilikan tersebut
tidak boleh dikapitalisasi.
Pengecualian
dapat diberikan pada saat aset tetap diperoleh dalam kondisi memerlukan
pengeluran tertentu untuk membuat aset tetap tersebut dalam kondisi dapat
dioperasikan sebagaimana yang diharapkan. Dalam kondisi semacam ini, kos kos
yang dalam kondisi normal masuk dalam kategori biaya pemeliharan dan tidak
dikapitalisasi, dapat diperlakukan sebagai kos yang dikapitalisasi. Setelah
restorasi aset tetap selesai, selanjutnya pengeluaran biaya pemeliharaan harus
diperlakukan sebagai biaya periode.
Kos yang
berkaitan dengan keharusan inspeksi, misalnya dalam kasus inspeksi pesawat
terbang, kos semacam ini dapat dikapitalisasi dan didepresiasi sesuai dengan
periode berlakunya inspeksi teknis. Jika dikemudian hari diperlukan inspeksi
ulang karena kasus tertentu, maka kos inspeksi yang belum didepresiasi harus
dikeluarkan dari rekening dan diganti dengan kos inspeksi yang baru. Untuk
memudahkan teknis pembukuan, kos inspeksi dapat diperlakukan sebagai komponen
terpisah dari aset tetap utama.
Secara umum
standar akuntansi untuk pengeluaran setelah pemilikan, tidak ada perbedaan
antara standard versi US GAAP dengan versi IFRS. Ketentuan tentang kapitaliasi
pengeluaran, yang dalam US GAAP diklasifikasi ke dalam capital expenditures dan
revenue expenditures, dalam IFRS juga berlaku ketentuan yang sama.
Depresiasi
Tidak ada
perbedaan antara US GAAP dan IFRS tentang peran penting prinsip penandingan (matching
principle). Sesuai dengan konvensi dasar tentang prinsip penandingan, kos
aset tetap harus dialokasikan ke masing-masing periode yang menikmati jasa aset
tetap melalui depresiasi. Pemilihan metode depresiasi harus disesuaikan
dengan karakteristik aset tetap yang didepresiasi, dengan tujuan agar
menghasilkan alokasi kos aset tetap secara sistematis dan rasional selama umur
ekonomis aset tetap.
Penentuan
umur ekonomis aset tetap harus mempertimbangkan sejumlah factor, misalnya
faktor perubahan teknologi, keusangan normal, penggunaan secara fisik, serta
kemampuan untuk menggunakan aset tetap, baik secara legal maupun berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan keterbatasan yang lainnya. IAS 16 menyatakan
bahwa, meskipun secara normal tanah memiliki umur ekonomis tak terbatas
sehingga kos tanah tidak didepresiasi, tetapi pada saat di dalam kos tanah
dimasukkan unsur kos penataan kembali atau kos restorasi tanah pada akhir masa
penggunaannya, maka kos penataan kembali atau kos restorasi tanah harus
didepresiasi sesuai dengan umur ekonomisnya. Dalam bidang industri tertentu,
tanah kemungkinan memiliki umur ekonomis yang terbatas, misalnya terjadinya
penurunan kesuburan tanah atau karena spesifik yang lainnya, dalam kasus
semacam ini kos tanah harus didepresiasi sesuai dengan umur ekonomisnya.
IAS 16,
revisi 2003, menganjurkan penggunaan pendekatan komponen dalam depresiasi aset tetap.
Dalam pendekatan ini masing-masing komponen aset tetap yang memiliki umur
ekonomis berbeda atau memiliki pola pemanfaatan berbeda, didepresiasi secara
terpisah dengan metode yang bebeda. Pendekatan ini ditujukan untuk keperluan
ketepatan perlakuan akuntansi atas pengeluaran-pengeluaran di waktu yang akan
datang yang berkaitan dengan komponen aset tetap yang bersangkutan. Selanjutnya
IAS 16 menyatakan bahwa metode depresiasi harus merefleksikan pola harapan
manfaat ekonomis aset tetap di waktu yang akan datang, sehingga ketepatan
metode depresiasi harus dikaji ulang paling tidak satu tahun sekali untuk
disesuaikan dengan kemungkinan perubahan pola manfaat ekonomis aset tetap.
Berdasarkan
paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa IFRS mengatur secara lebih rinci
tentang ketentuan depresiasi aset tetap, terlebih lagi jika ketentuan
depresiasi ini dihubungkan dengan depresiasi untuk dismantling dan decommissioning
costs. Dalam hal terdapat situasi khusus seperti dalam kasus depresiasi
tanah tersebut di atas, pada dasarnya di bawah US GAAP praktik semacam itu
tetap dimungkinkan melalui wadah yang disebut dengan praktik industri, artinya
praktik-praktik akuntansi tertentu tetap dimungkinkan untuk diterapkan
sepanjang praktik tersebut telah berterima umum dalam bidang industri yang
bersangkutan, serta sesuai dengan rerangka konseptual akuntansi keuangan.
Nilai Residu
IAS 16
menyatakan bahwa nilai residu sering tidak material dan dalam praktik sering
diabaikan, namun demikian untuk aset tertentu sangat dimungkinkan bahwa nilai
residu cukup material, terutama pada saat perusahaan menghentikan aset lebih
awal dari umur ekonomisnya, misalnya nilai residu aset tetap untuk bisnis
perhotelan, yang karena tuntutan kualias pelayanan, aset tetap cenderung
dipelihara dengan standar tinggi, bahkan untuk aset tetap tertentu bisa jadi
nilai residunya lebih tinggi dari kos perolehannya.
Dalam
perspektif kos historis, nilai residu didefinisikan sebagai nilai yang
diharapkan dari aset tetap pada akhir masa kegunaan aset tetap, berdasar nilai
mata uang sekarang. Namun demikian nilai residu harus diukur berdasarkan nilai
bersih di luar biaya penghentian aset tetap. Dalam kasus tertentu, dimungkinkan
aset tetap memiliki nilai residu negatif, sebagai contoh adalah nilai residu
aset tetap pada saat suatu entitas harus mengeluarkan biaya untuk penghentian
aset tetap dalam jumlah yang cukup besar, atau pada saat suatu perusahaan
harus mengembalikan property seperti keadaan sebelum suatu aset ditempatkan,
misalnya untuk kasus tanah pertambangan yang menjadi objek undang-undang
perlindungan lingkungan. Dalam kasus semacam ini total beban depresiasi
kemungkinan akan melampaui kos perolehan aset tetap, sehingga pada akhir
umur ekonomis aset tetap, taksiran utang atas penghentian aset akan sama dengan
jumlah nilai residu negatif. Sehubungan dengan potensi kasus semacam ini,
nilai residu akan menjadi objek pengkajian ulang paling tidak satu tahun
sekali.
Jika
pengukuran aset tetap menggunakan metode revaluasi, nilai residu harus diukur
ulang pada setiap tanggal revaluasi aset tetap. Pengukuran nilai residu
dilakukan dengan menggunakan data nilai realisasi aset sejenis, dan umur
ekonomis aset tetap pada saat dilakukan revaluasi. Namun demikian dalam
pengukuran nilai residu tidak perlu dilakukan pengukuran potensi inflasi serta
tidak perlu dilakukan pengukuran nilai sekarang untuk mengakui adanya perubahan
nilai waktu uang. Sesuai dengan prinsip kos historis dalam akuntansi aset
tetap, jika diprediksi terjadi nilai residu negatif, nilai residu negatif
dibebankan selama umur ekonomis aset tetap, dengan cara seperti ini pada akhir
umur ekonomis jumlah biaya penghentian aset tetap telah habis dibebankan dan
disebar ke seluruh periode akuntansi selama umur ekonomis aset tetap.
Umur
Ekonomis Aset Tetap
Umur
ekonomis aset tetap dipengaruhi oleh berbagai hal seperti kebijakan perbaikan
dan pemeliharaan aset, perubahan teknologi, dan permintaan pasar atas barang
yang diproduksi dengan menggunakan aset tetap yang bersangkutan. Jika ketika
melakukan review metode depresiasi ternyata dapat diidentifikasi berbagai hal
yang mempengaruhi penggunaan aset tetap, sehingga taksiran umur ekonomis
menjadi di atas atau di bawah taksiran sebelumnya, maka perubahan taksiran umur
ekonomis diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi, bukan sebagai
koreksi atas kesalahan akuntansi. Dengan demikian, tidak perlu
dilakukan pelaporan ulang atas biaya depresiasi yang dibebankan pada periode
sebelumnya, perubahan diperhitungkan secara prospektif, yaitu direfleksikan
pada periode terjadinya perubahan dan periode-periode sesudahnya.
Contoh
perlakuan akuntansi atas perubahan estimasi umur ekonomis aset tetap, misalnya
suatu aset tetap dengan kos Rp100.000.000,00, prakiraan awal umur ekonomis 10
tahun, tanpa antisipasi nilai residu. Depresiasi menggunakan metode garis
lurus, sehingga depresiasi per tahun adalah Rp100.000.000/10 tahun = Rp
10.000.000. Setelah dua tahun berjalan, manajemen merevisi umur ekonomis aset
tetap tersebut menjadi 6 tahun. Dalam kasus ini maka depresiasi tahun ke 3
sampai dengan tahun ke enam adalah berdasarkan sisa nilai buku aset tetap,
tanpa harus merevisi depresiasi yang telah dibebankan selama dua tahun
sebelumnya, sehingga dipresiasi per tahun setelah tahun ke dua adalah: ? x
Rp80.000.000 = Rp20.000.000,00.
Revaluasi
Aset Tetap
IAS 16
menyediakan dua pendekatan akuntansi untuk revaluasi aset tetap berwujud.
Pertama adalah akuntansi berdasar kos historis, di mana kos perolehan atau kos
konstruksi digunakan sebagai dasar pengakuan perolehan aset tetap, menjadi
dasar perhitungan depresiasi selama umur ekonomis aset tetap, dan juga sebagai
dasar penghapusan aset tetap dalam hal terjadi penurunan nilai aset tetap yang
bersifat permanen. Dalam sejumlah Negara metode ini menjadi satu-satunya metode
yang diperkenankan, tetapi dalam beberapa negara tertentu, terutama di
negara-negara yang tingkat inflasinya tinggi, mengijinkan baik revaluasi penuh
maupun revaluasi secara terbatas (selected revaluation), dan IAS 16
membolehkan praktik semacam ini dengan memberi mandat yang dinyatakan dalam
suatu model yang disebut ?model revaluasi (revaluation model)?. Dalam
model revaluasi, setelah pengakuan aset, selanjutnya elemen-elemen aset tetap
yang nilai wajarnya dapat diukur dengan terpercaya (reliable) harus disajikan
sebesar nilai revaluasinya, yaitu sebesar nilai wajar aset tetap pada tanggal
revaluasi dikurangi dengan akumulasi depresiasi sesudah revaluasi dan akumulasi
rugi penurunan nilai setelah revaluasi.
Dasar
pemikiran pengakuan revaluasi adalah berhubungan dengan laporan posisi keuangan
(neraca) dan pengukuran kinerja periodik entitas yang disajikan dalam laporan
rugi laba komprehensif. Sehubungan dengan pengaruh inflasi, yang jika diukur
secara tahunan tidak material, tetapi jika diukur selama umur ekonomis aset
tetap jumlahnya bisa menjadi material, maka laporan pisisi keuangan dapat
menjadi kumpulan beragam kos yang tidak bermakna jika prinsip kos historis
tetap dipertahankan dan revaluasi aset tetap tidak diperkenankan untuk
diterapkan.
Lebih jauh lagi,
jika pembebanan depresiasi ke dalam laporan rugi laba didasarkan pada kos
historis, maka konsekuensinya laba akan menjadi lebih saji (overstated).
Dalam situasi semacam ini, entitas yang secara nominal tampak
menguntungkan, karena kinerjanya diukur dengan kos historis, bisa jadi akan
menghadapi persoalan likuiditas dan tidak mampu melanjutkan usahanya, atau
paling tidak akan berada dalam posisi kinerja organisasi yang lebih rendah dari
yang dipersepsikan pembaca laporan keuangan, tanpa adanya dukungan utang baru
atau investasi baru. IAS 29, Financial Reporting in Hyperinflationary
Economies, mengatur masalah penyesuaian depresiasi pada kondisi hiper
inflasi. Disadari bahwa penggunaan metode revaluasi akan menjadi tidak tepat
dalam situasi ekonomi yang dari waktu ke waktu tidak menghadapi inflasi yang
yang berarti.
Dalam model
revaluasi, frekuensi revaluasi tergantung pada perubahan nilai wajar dari
elemen yang akan direvaluasi, dan konsekuensinya kekita nilai wajar aset yang
direvaluasi berbeda cukup material dengan nilai tersajinya (carrying amount),
maka diperlukan revaluasi ulang. Telah pula disadari bahwa model revaluasi
memakan biaya yang lebih besar dibanding model kos historis, oleh sebab itu
hasil survey di Inggris tahun 2005 yang dilakukan oleh the Institute of
Chartered Accountants menyimpulkan bahwa hanya 4% dari EU Companies yang
menggunakan model revaluasi untuk bangungan, tetapi tidak menggunakan model
revaluasi untuk aset tetap yang lain, dan hanya 28% dari EU Companies dengan
investasi pada property yang menggunakan metode nilai wajar (revaluasi) untuk
aset yang dimilikinya.
Berdasarkan
uraian di atas, secara konseptual model revaluasi memang lebih ideal dibanding
model kos historis, namun demikian dalam praktik model revaluasi lebih sulit
untuk diterapakan serta lebih memakan biaya. Pertanyaan lain yang bisa
muncul adalah tentang kenaikan manfaat informasi kuangan dengan model revalusi
dibandingkan dengan biaya untuk mengimplementasikan model revaluasi. Jika
manfaatnya jauh melampaui biayanya, maka model revaluasi akan menjadi relevan
untuk diterapkan. US GAAP tidak mengatur masalah revaluasi karena berbagai
pertimbangan tentang konsekuensi dari penerapan model revaluasi.
Nilai Wajar
Sebagai
basis dari metode revaluasi, standar mendeskripsikan nilai wajar yang digunakan
dalam setiap kasus revaluasi, yaitu yang didefinisikan sebagai nilai aset yang
dapat digunakan sebagai basis nilai pertukaran antara dua fihak yang sama-sama
memahami aset dan berkenan untuk melakukan pertukaran.
Lebih jauh
standar mensyaratkan bahwa sekali suatu entitas menggunakan model revaluasi,
mereka harus secara konsiten melakukannya di waktu yang akan datang, atau
memastikan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara nilai wajar dengan nilai
saji pada saat pelaporan laporan keuangn. Dengan kata lain, jika suatu entitas
telah menggunakan metode revaluasi, entitas tersebut tidak boleh melaporkan
nilai aset yang tidak relevan dengan nilai wajarnya. Jika metode revaluasi
tidak dijalankan secara konsisten, dampaknya akan sangat besar terhadap
interpretasi pengguna laporan keuangan.
Sesuai
dengan IAS 16, pengukuran nilai wajar biasanya dilakukan oleh jasa penilai (appraisers)
dengan menggunakan bukti-bukti pasar yang valid. Namun demikian untuk aset
tetap yang tidak memiliki nilai pasar yang jelas, yang siap untuk dugunakan,
aset tersebut dapat dinilai berdasarkan depreciated replacement costs.
Nilai wajar
memang diakui sebagai nilai yang paling tepat untuk diterapkan, terlepas dari
sulitnya melakukan pengukuran atas nilai wajar aset tetap. Pada saat ini
istilah nilai wajar (fair value) diterapkan dalam IFRS tanpa petunjuk
detail tentang bagaimana menerapkannya. Pada bulan Mey 2009, IASB
mempublikasikan Exposure Draft (ED) tentang fair value measurements, yang
mengacu pada US GAAP, tepatnya mengacu pada FAS 157, yang digunakan oleh IASB
sebagai titik awal perumusan nilai wajar (as the starting point for its
deliberations) tentang pedoman pengukuran nilai wajar. Berdasarkan ED 2009,
IASB mendeskripsikan bahwa pengukuran nilai wajar dapat dibagi ke dalam 3
(tiga) peringkat sebagai berikut, peringkat I adalah didasarkan pada
harga standar (quoted prices) pada pasar aktif untuk aset atau utang
yang dinilai, peringkat II adalah didasarkan pada hasil obervasi langsung atau
tidak langsung atas harga di pasar aktif untuk aset dan utang yang sejenis, dan
peringkat III adalah berdasarkan data yang tidak diobservasi, tetapi mampu
merefkelsikan asumsi bahwa para partisipan pasar akan menggunakannya sebagai
dasar pengukuran harga dan utang, termasuk asumsi tentang risiko.
PENUTUP
Secara
konseptual IFRS menawarkan standard akuntansi yang lebih ideal untuk
diterapkan, terlepas dari berbagai hambatan yang dipastikan akan dihadapi pada
saat standard tersebut diterapkan. Dalam hal standard akuntansi untuk aset
tetap, terdapat sejumlah kesamaan dan juga sejumlah perbedaan. Hal-hal yang
berbeda dalam IFRS pada dasarnya sudah lama menjadi wacana dalam perumusan US
GAAP, dan tidak dimasukkannya wacana standar akuntansi ke dalam US GAAP adalah
karena faktor pertimbangan biaya, manfaat, dan risiko. Dengan demikian, jika
pada akhirnya wacana standar akuntansi yang tidak dimasukkan ke dalam US GAAP
sekarang justru dimasukkan ke dalam IFRS, maka pengguna standar harus
?terampil? di dalam menerapkannya sehingga tujuan ideal dari IFRS benar-benar
bisa dicapai.
Hal-hal yang
perlu mendapatkan perhatian dan dikaji ulang secara lebih komprehensif dalam
kaitannya dengan standard akuntansi untuk aset tetap adalah sebagai berikut:
1.
Masalah saat pengakuan aset tetap, tidak terdapat perbedaan antara US GAAP dan
IFRS.
2.
Masalah pengukuran kos perolehan aset tetap, terdapat perbedaan antara US GAAP
dengan IFRS, terutama dengan perlunya dimasukkan unsur dismantling costs dan
decommissioning costs.
3.
Masalah pengukuran kos depresiasi aset tetap, terdapat perbedaan antara US GAAP
dengan IFRS, yaitu dengan dimasukkannya dismantling costs, decommissioning
costs, pengukuran nilai residu, dan revaluasi aset tetap.
4.
Masalah penyajian kos aset tetap di dalam laporan posisi keuangan, terdapat
perbedaan antara US GAAP dan IFRS, yaitu berdasarkan kos historis untuk US GAAP
dan berdasarkan fair value untuk IFRS.
Dengan
memahami perbedaan pokok antara US GAAP dan IFRS, serta memahami pemikiran yang
melatarbelakangi masing-masing standard, akan menjadi lebih mudah di dalam
memetakan permasalah stadard akuntansi untuk aset tetap serta di dalam
menerapkannya di dalam dunia praktik. Pembandingan antara US GAAP dan IFRS
memegang peran penting dalam proses pemahaman mengingat US GAAP adalah standar
akuntansi yang sudah dikenal dan diterapkan secara luas selama puluhan tahun.