Pelayanan kefarmasian yang
semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi telah berkembang
orientasinya pada pelayanan kepada pasien (pharmaceutical
care). Apoteker di rumah sakit diharapkan memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien, yang memastikan bahwa pengobatan yang diberikan
pada setiap individu pasien adalah pengobatan yang rasional. Selain mampu
menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat agar mampu memberikan manfaat bagi
kesehatan dan berbasis bukti (evidence
based medicines), pelayanan kefarmasian juga diharapkan mampu
mengidentifikasi, menyelesaikan dan mencegah masalah terkait pengunaan obat
yang aktual dan potensial.
Kegiatan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien adalah praktik
apoteker ruang rawat
(ward pharmacist) dengan visite sebagai salah satu aktivitasnya.
Visite apoteker adalah kunjungan rutin yang dilakukan apoteker kepada pasien di
ruang rawat dalam rangka mencapai hasil terapi (clinical outcome) yang lebih baik. Aktivitas visite dapat dilakukan
secara mandiri atau kolaborasi secara aktif dengan
tim dokter dan profesi kesehatan lainnya dalam proses
penetapan keputusan terkait terapi obat pasien.
Beberapa penelitian
menunjukkan dampak positif dari pelaksanaan kegiatan visite pada aspek
humanistik (contoh: peningkatan kualitas hidup pasien, kepuasan pasien),
aspek klinik (contoh: perbaikan
tanda-tanda klinik, penurunan kejadian reaksi obat yang tidak diinginkan,
penurunan morbiditas dan mortalitas, penurunan lama hari rawat), serta aspek
ekonomi (contoh: berkurangnya biaya obat dan biaya pengobatan secara
keseluruhan).
Dalam penelitian Klopotowska 2010 yang
dilakukan di Belanda, partisipasi apoteker dalam
visite pada intensive care unit telah
melakukan 659 rekomendasi dari 1173 peresepan dengan tingkat penerimaan
dokter sebesar 74%. Peran Apoteker dalam
ruang ICU mampu menurunkan kesalahan peresepan yang bermakna (p<0,001),
yaitu: 190,5 per 1000 hari-pasien menjadi 62,5 per 1000 hari-pasien. Dari sisi
penghematan biaya pengobatan, pencegahan reaksi obat yang tidak diinginkan
menunjukkan penghematan biaya sebesar 26-40
Euro.
Sebagai konsekuensi
perubahan orientasi pelayanan kefarmasian, apoteker dituntut untuk terus
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan
visite dengan baik. Saat ini, masih belum tersusun secara
sistematis tata cara pelaksanaan visite sebagai panduan bagi apoteker
yang akan melakukan visite. Oleh karena itu diperlukan pedoman bagi apoteker
dalam menjalankan praktik visite untuk meningkatkan hasil terapi (clinical outcome) dan keselamatan pasien.
Pelaksanaan visite
merupakan bagian dari implementasi standar pelayanan farmasi di rumah sakit.
Tujuan
Pedoman visite apoteker di
ruang rawat disusun sebagai panduan bagi apoteker dalam melakukan visite.
Sasaran
Pedoman ini ditujukan bagi
apoteker di fasilitas pelayanan kesehatan.
Landasan Hukum
1.
Undang-undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
2.
Undang-undang Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072);
3.
Peraturan Pemerintah
Republik No 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5044);
4.
Kepmenkes No.
1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit;
5.
Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.Per/07/M.PAN/4/2008 Tentang Jabatan Fungsional Apoteker dan
Angka Kreditnya;
6.
Peraturan Bersama
Menkes dan Ka.BAKN No. 1113/ Menkes/PB/XII/2008
dan No.26/2008 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Jabatan Fungsional Apoteker dan Angka Kreditnya;
7.
Keputusan Menteri
Kesehatan No.1333/Menkes/SK/ XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit;
8.
Keputusan Menteri
Kesehatan No.377/Menkes/PER/ V/2009 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Apoteker dan Angka Kreditnya;
9.
Keputusan Menteri
Kesehatan No.1144/Menkes/Per/ VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan;
Ruang Lingkup
Visite yang dilakukan oleh
apoteker berupa kunjungan apoteker ke pasien di ruang rawat, meliputi: (i)
identifikasi masalah terkait penggunaan obat,
(ii) rekomendasi penyelesaian/pencegahan
masalah terkait penggunaan obat dan/atau
pemberian informasi obat, (iii) pemantauan implementasi rekomendasi dan hasil
terapi pasien.
Apoteker dalam praktik
visite harus berkomunikasi secara efektif dengan pasien/keluarga, dokter dan
profesi kesehatan lain, serta terlibat aktif dalam keputusan terapi obat untuk
mencapai hasil terapi (clinical outcome)
yang optimal. Apoteker melakukan dokumentasi semua tindakan yang dilakukan
dalam praktik visite sebagai pertanggungjawaban profesi, sebagai bahan
pendidikan dan penelitian, serta perbaikan mutu praktik profesi.
BAB 2
PRAKTIK APOTEKER
RUANG RAWAT
Pengertian, Peran dan Fungsi
Praktik apoteker ruang
rawat merupakan praktik apoteker langsung kepada pasien di ruang rawat dalam
rangka pencapaian hasil terapi obat yang lebih baik dan meminimalkan kesalahan
obat (medication errors).Apoteker melakukan praktik
di ruang rawat
sesuai dengan kompetensi dan kemampuan farmasi klinik yang dikuasai.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberadaan apoteker di ruang rawat mampu
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah terkait obat, serta menurunkan medication
errors.
Penelitian Kjeldby 2009 menunjukkan
kontribusi positif apoteker terhadap jaminan kualitas terapi obat di ruang
rawat (7 dari 8 dokter dan seluruh perawat mengakui hal tersebut). Apoteker
mengidentifikasi 137 masalah
terkait obat dari 384 lembar
pemberian obat; 73 (53%) masalah terkait obat diantaranya memerlukan
penanganan segera, yaitu: (i) 48 (41%) masalah terkait dosis, (ii) 35 (30,4%)
masalah terkait pemilihan obat, (iii) 32 (27,8%) masalah terkait kebutuhan
monitoring penggunaan obat.
Penelitian Martínez-López
de Castro 2009 menunjukkan bahwa penyiapan unit
dose dispensing (UDD) untuk pasien rawat inap oleh apoteker ruang rawat dan implementasi prosedur
checking medication menurunkan
kejadian medication error di bangsal gynaecology-urology (3.24% vs. 0.52%),
orthopaedic (2% vs. 1.69%)
and neurology-pneumology
(2.81% vs. 2.02%).
Peran
dan fungsi apoteker ruang rawat secara umum adalah:
1.
Mendorong
efektifitas dan keamanan pengobatan pasien
2.
Melaksanakan
dispensing berdasarkan legalitas dan standar profesi
3.
Membangun tim
kerja yang baik dengan menghormati kode etik masing-masing profesi dan asas confidential
4.
Melaksanakan
pendidikan dan pelatihan dalam rangka pemenuhan kompetensi standar profesi
5.
Terlibat
secara aktif dalam penelitian obat
Tujuan apoteker ruang rawat
Pelaksanaan
praktik apoteker ruang rawat bertujuan:
1.
Pasien mendapatkan
obat sesuai rejimen (indikasi, bentuk sediaan, dosis, rute, frekuensi, waktu, durasi)
2.
Pasien mendapatkan
terapi obat secara efektif dengan risiko minimal (efek samping, medication errors, biaya)
Tanggung Jawab dan Tugas pokok
Tanggung jawab
apoteker ruang rawat terutama terkait dengan:
1.
Ketersediaan obat
yang berkualitas dan legal
2.
Penyelesaian masalah
terkait obat
3.
Dokumentasi terapi
obat (rekomendasi dan perubahan rejimen)
4.
Pemeliharaan dan
peningkatan kompetensi tentang sediaan farmasi dan alat kesehatan (minimal
sesuai kebutuhan di ruang rawat tersebut)
5.
Pelaksanaan
pendidikan, pelatihan dan penelitian
Tugas
Pokok Apoteker ruang rawat meliputi beberapa berikut:
1.
Penyelesaian masalah
terkait penggunaan obat pasien
a.
Memastikan kebenaran
dan kelengkapan informasi terkait terapi obat dalam resep, rekam medis maupun
dalam dokumen/kertas kerja lain
b.
Memastikan tidak ada
kesalahan peresepan melalui pengkajian resep (administratif, farmasetik,
klinis) bagi setiap pasien
c.
Memberikan
informasi, penjelasan, konseling, saran tentang pemilihan bentuk sediaan (dosage form) yang paling sesuai bagi
setiap pasien
d.
Memastikan ketepatan
indikasi penggunaan obat, yaitu: masalah terkait penggunaan obat dapat
diidentifikasi, diselesaikan, dan efektivitas maupun kondisi yang tidak
diinginkan dapat dipantau
e.
Melakukan visite (ward rounds) mandiri maupun kolaborasi
dengan dokter atau profesi kesehatan lain, melakukan penelusuran riwayat
pengobatan dan terlibat dalam proses
keputusan terapi obat pasien
f.
Melakukan diskusi
dengan dokter, perawat dan profesi
kesehatan lain tentang terapi obat dalam rangka pencapaian hasil terapi yang
telah ditetapkan (definite clinical outcome)
g.
Melakukan komunikasi
dengan pasien/keluarga pasien (care giver)
terkait obat yang digunakan
h.
Memberikan informasi
obat yang diperlukan dokter, perawat, pasien/keluarga pasien (care giver) atau profesi
kesehatan lain
i.
Melakukan monitoring
secara aktif, dokumentasi dan pelaporan efek samping obat dan sediaan farmasi,
termasuk alat kesehatan, kosmetik dan herbal.
j.
Melakukan pengkajian
penggunaan obat secara aktif
2.
Memastikan ketepatan dispensing:
a.
Memastikan
keberlangsungan rejimen obat terpenuhi bagi pasien di ruang rawat maupun pasien pulang
b.
Memastikan kebenaran dalam penyiapan dan pemberian
obat, yang meliputi: tepat pasien, tepat dosis, tepat bentuk sediaan, tepat rute,
tepat waktu pemberian obat, disertai dengan kecukupan informasi (lisan dan tertulis)
c.
Memastikan ketepatan
penyiapan obat yang potensial menyebabkan kondisi fatal (high alert medication)
d.
Memastikan ketepatan
rekonstitusi sediaan steril sesuai
kaidah teknik aseptik dengan memperhatikan kompatibilitas dan kelarutan untuk
menjaga kestabilan
e.
Memastikan ketepatan
teknik penggunaan, misalnya: penggunaan inhaler,
semprot hidung, injeksi insulin, injeksi enoxaparin
f.
Memastikan
ketersediaan obat dan alat kesehatan emergensi agar selalu sesuai dengan stok
yang ditetapkan di ruang rawat bersama perawat dan dokter jaga (jika ada)
g.
Memastikan ketepatan penyimpanan obat sesuai
dengan persyaratan farmasetik dan aspek
legal
h.
Memastikan proses
dispensing sediaan non steril di ruang rawat menggunakan peralatan sesuai
standar, meminimalkan kontaminan
i.
Memastikan proses
dispensing sediaan steril memenuhi
teknik aseptik dan keselamatan kerja sesuai dengan persyaratan dan prosedur
yang berlaku.
3.
Pendidikan :
a.
Partisipasi dalam
proses pendidikan mahasiswa farmasi, tenaga teknis kefarmasian maupun profesi kesehatan
lain
b.
Partisipasi dalam
proses pelatihan apoteker, mahasiswa farmasi, tenaga teknis
kefarmasian maupun profesi kesehatan lain
c.
Melakukan pendampingan profesi kesehatan yang
belum mampu dan belum berpengalaman dalam penyiapan obat
d.
Partisipasi dalam
Pendidikan berkelanjutan (Continuing
Professional Development)
4.
Penelitian :
a.
Partisipasi dalam
penelitian terkait obat (drug use study) di rumah sakit
b.
Partisipasi dalam
uji klinik (penyimpanan, penyiapan, pendistribusian, pengendalian, dan pemusnahan)
5.
Partisipasi aktif
dalam tim:
a.
Pada saat praktik di
ruang rawat berkolaborasi dengan dokter, perawat
dan profesi kesehatan lain untuk memastikan keamanan, efektifitas dan
kemanfaatan, serta keterjangkauan biaya penggunaan obat.
b.
Bekerja sama dengan
tim lain (misalnya: tim paliatif, tim
pengendalian infeksi, tim patient safety,
Subkomite Farmasi dan Terapi, dll)
di rumah sakit/fasilitas pelayanan kesehatan
BAB 3 PERSIAPAN PRAKTIK VISITE
Praktik
visite yang dilakukan oleh apoteker bertujuan untuk:
(1) meningkatkan pemahaman mengenai riwayat
pengobatan pasien, perkembangan kondisi klinik, dan rencana terapi secara
komprehensif; (2) memberikan informasi mengenai farmakologi, farmakokinetika,
bentuk sediaan obat, rejimen dosis, dan aspek lain terkait terapi obat pada
pasien, (3) memberikan rekomendasi sebelum keputusan klinik ditetapkan dalam
hal pemilihan terapi, implementasi dan monitoring terapi; (4) memberikan
rekomendasi penyelesaian masalah terkait penggunaan obat akibat keputusan
klinik yang sudah ditetapkan sebelumnya
Sebelum memulai praktik
visite di ruang rawat, seorang apoteker perlu membekali diri dengan berbagai
pengetahuan, minimal: patofisiologi,
terminologi medis, farmakokinetika, farmakologi,
farmakoterapi, farmakoekonomi, farmakoepidemiologi, pengobatan berbasis bukti.
Selain itu diperlukan kemampuan interpretasi data laboratorium dan data
penunjang diagnostik lain; berkomunikasi secara efektif
dengan pasien, dan tenaga kesehatan lain. Praktik visite
membutuhkan persiapan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Seleksi pasien
Seharusnya layanan visite
diberikan kepada semua pasien yang masuk rumah sakit. Namun mengingat
keterbatasan jumlah apoteker maka layanan visite diprioritaskan untuk pasien
dengan kriteria sebagai berikut:
a.
Pasien baru (dalam
24 jam pertama);
b.
Pasien dalam
perawatan intensif;
c.
Pasien yang menerima
lebih dari 5 macam obat;
d.
Pasien yang mengalami penurunan
fungsi organ terutama
hati dan ginjal;
e.
Pasien yang
hasil pemeriksaan laboratoriumnya mencapai nilai
kritis (critical value), misalnya:
ketidakseimbangan elektrolit, penurunan kadar
albumin;
f.
Pasien yang
mendapatkan obat yang mempunyai indeks terapetik sempit, berpotensi menimbulkan
reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang fatal. Contoh: pasien yang
mendapatkan terapi obat digoksin, karbamazepin, teofilin, sitostatika;
Pengumpulan informasi penggunaan obat
Informasi penggunaan obat dapat diperoleh dari rekam medik, wawancara dengan pasien/keluarga,
catatan pemberian obat. Informasi tersebut meliputi:
-
Data pasien : nama, nomor rekam medis, umur, jenis kelamin,
berat badan (BB), tinggi badan (TB), ruang rawat, nomor tempat tidur, sumber pembiayaan
-
Keluhan utama:
keluhan/kondisi pasien yang menjadi alasan untuk dirawat
-
Riwayat penyakit
saat ini (history of present illness) merupakan riwayat keluhan / keadaan pasien berkenaan dengan
penyakit yang dideritanya saat ini
-
Riwayat sosial:
kondisi sosial (gaya
hidup) dan ekonomi
pasien yang berhubungan dengan penyakitnya. Contoh: pola makan, merokok,
minuman keras, perilaku seks bebas, pengguna narkoba, tingkat pendidikan, penghasilan
-
Riwayat penyakit
terdahulu: riwayat singkat penyakit yang pernah
diderita pasien, tindakan dan perawatan yang
pernah diterimanya yang berhubungan dengan penyakit pasien saat ini
-
Riwayat penyakit
keluarga: adanya keluarga yang menderita penyakit yang sama atau berhubungan
dengan penyakit yang sedang dialami pasien. Contoh: hipertensi, diabetes,
jantung, kelainan darah, kanker
-
Riwayat penggunaan obat: daftar obat yang pernah
digunakan pasien sebelum dirawat
(termasuk obat bebas,
obat tradisional/ herbal medicine) dan lama penggunaan obat
-
Riwayat alergi/ ROTD
daftar obat yang pernah menimbulkan reaksi alergi atau ROTD.
-
Pemeriksaan fisik:
tanda-tanda vital (temperatur, tekanan darah, nadi, kecepatan pernapasan),
kajian sistem organ (kardiovaskuler, ginjal,
hati)
-
Pemeriksaanlaboratorium:Datahasilpemeriksaanlaboratorium
diperlukan dengan tujuan: (i) menilai apakah diperlukan terapi obat, (ii)
penyesuaian dosis, (iii) menilai efek terapeutik obat,
(iv) menilai adanya
ROTD, (v) mencegah
terjadinya kesalahan dalam
menginterpretasikan hasil pemeriksaan laboratorium, misalnya: akibat sampel
sudah rusak, kuantitas sampel tidak cukup, sampel diambil pada waktu yang tidak
tepat, prosedur tidak benar, reagensia yang digunakan tidak tepat, kesalahan
teknis oleh petugas, interaksi dengan makanan/obat. Apoteker harus dapat
menilai hasil pemeriksaan pasien dan membandingkannya dengan nilai normal.
(lihat contoh kasus)
-
Pemeriksaan
diagnostik: foto roentgen, USG, CT Scan. Data hasil
pemeriksaan diagnostik diperlukan
dengan tujuan:
(i) menunjang penegakan diagnosis, (ii)
menilai hasil terapeutik pengobatan, (iii) menilai adanya risiko pengobatan.
-
Masalah medis
meliputi gejala dan tanda klinis, diagnosis utama dan penyerta.
-
Catatan penggunaan
obat saat ini adalah daftar obat yang sedang digunakan oleh pasien.
-
Catatan perkembangan
pasien adalah kondisi klinis pasien yang diamati dari hari ke hari.
Pengkajian masalah terkait obat
Pasien yang mendapatkan
obat memiliki risiko mengalami masalah terkait penggunaan obat baik yang
bersifat aktual (yang nyata terjadi) maupun potensial (yang mungkin terjadi).
Masalah terkait penggunaan obat antara lain: efektivitas terapi,
efek samping obat, biaya.
Penjelasan rinci tentang klasifikasi masalah terkait obat lihat lampiran 2.
Fasilitas
Fasilitas
praktik visite antara lain:
a.
Formulir Pemantauan Terapi Obat
b.
Referensi dapat
berupa cetakan atau elektronik, misalnya: Formularium Rumah Sakit, Pedoman
Penggunaan Antibiotika,
Pedoman Diagnosis dan Terapi, Daftar
Obat Askes (DOA), Daftar Plafon Harga Obat (DPHO), British National Formulary (BNF), Drug Information Handbook (DIH), American Hospital Formulary Services (AHFS): Drug Information, Pedoman Terapi,
dll.
c.
Kalkulator
BAB 4 PELAKSANAAN VISITE
Kegiatan visite dapat
dilakukan oleh apoteker secara mandiri atau
kolaborasi dengan tenaga
kesehatan lain sesuai
dengan situasi dan kondisi.
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing- masing (lihat tabel) yang
perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan visite dan menetapkan rekomendasi.
Kegiatan
visite mandiri
|
|
|
|
|
|
|
|
Kegiatan
visite tim:
|
|
|
|
|
|
|
|
Visite Mandiri
Memperkenalkan
diri kepada pasien
Pada kegiatan
visite mandiri, apoteker
harus memperkenalkan diri kepada
pasien dan keluarganya agar timbul kepercayaan mereka terhadap profesi apoteker sehingga mereka dapat bersikap
terbuka dan kooperatif. Contoh
cara memperkenalkan diri, “Selamat pagi Bu
Siti, saya Retno, apoteker di ruang rawat
ini. Bagaimana keadaan
Ibu hari ini? Membaik?
Atau ada keluhan
lain?”. Pada tahap ini, apoteker dapat menilai adanya hambatan
pasien dalam berkomunikasi dan status klinis pasien (misalnya: kesadaran,
kesulitan berbicara, dll).
Mendengarkan respon yang disampaikan oleh pasien dan
identifikasi masalah
Setelah memberikan salam,
apoteker berkomunikasi efektif secara aktif untuk
menggali permasalahan pasien
terkait penggunaan obat
(lihat informasi penggunaan obat di atas). Respon dapat berupa keluhan
yang disampaikan oleh pasien, misalnya:
rasa nyeri menetap/bertambah,
sulit buang air besar; atau adanya keluhan baru, misalnya: gatal-gatal, mual, pusing. Apoteker harus melakukan
kajian untuk memastikan apakah keluhan tersebut terkait dengan penggunaan obat
yang telah diberitahukan sebelumnya, misalnya urin berwarna merah karena
penggunaan rifampisin; mual karena penggunaan siprofloksasin atau metformin.
Setelah bertemu dengan
pasien berdasarkan informasi penggunaan yang diperoleh, apoteker dapat (i)
menetapkan status masalah (aktual atau potensial), dan (ii) mengidentifikasi
adanya masalah baru.
Memberikan rekomendasi berbasis bukti berkaitan dengan masalah terkait penggunaan obat
Pada visite mandiri,
rekomendasi lebih ditujukan kepada pasien dengan tujuan untuk meningkatkan
kepatuhan penggunaan
obat dalam hal aturan pakai, cara pakai, dan
hal-hal yang harus diperhatikan selama menggunakan obat. Rekomendasi kepada
pasien yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan
pendampingan cara penggunaan obat.
Setelah pelaksanaan visite
mandiri, apoteker dapat menyampaikan rekomendasi kepada perawat tentang jadwal
dan cara pemberian obat, misalnya: obat diberikan pada waktu yang telah
ditentukan (interval waktu pemberian yang sama), pemberian obat sebelum/sesudah
makan, selang waktu pemberian obat untuk mencegah terjadinya interaksi,
kecepatan infus, jenis pelarut yang digunakan, stabilitas dan ketercampuran
obat suntik. Rekomendasi kepada perawat yang dilakukan oleh apoteker dapat
berupa konseling, edukasi, dan pendampingan cara penyiapan obat.
Rekomendasi yang diberikan
harus berdasarkan pada bukti terbaik, terpercaya dan terkini agar diperoleh
hasil terapi yang optimal.
Rekomendasi kepada
apoteker lain dapat dilakukan dalam proses penyiapan obat, misalnya: kalkulasi
dan penyesuaian dosis, pengaturan jalur
dan laju infus. Rekomendasi kepada dokter yang merawat yang dilakukan oleh
apoteker dapat berupa diskusi pembahasan masalah dan kesepakatan keputusan terapi.
Melakukan pemantauan implementasi rekomendasi
Apoteker harus memantau
pelaksanaan rekomendasi kepada pasien, perawat, atau dokter.
Jika rekomendasi belum dilaksanakan
maka apoteker harus menelusuri penyebab tidak dilaksanakannya rekomendasi dan
mengupayakan penyelesaian masalah. Contoh: pasien minum siprofloksasin bersama
dengan antasida karena sudah terbiasa minum semua obat setelah makan atau minum
siprofloksasin bersama dengan susu. Seharusnya siprofloksasin diminum dengan
selang waktu 2 jam sebelum
minum antasida/susu. Hal tersebut
dapat diatasi dengan
memberi edukasi kepada
perawat/ pasien tentang adanya interaksi antara siprofloksasin dan antasida/
susu membentuk kompleks yang menyebabkan penyerapan
siprofloksasin
terganggu dan efektivitas siprofloksasin berkurang.
Melakukan pemantauan efektivitas dan keamanan terkait penggunaan obat
Pemantauan efektivitas dan
keamanan efek samping dapat dilakukan dengan menggunakan metode Subject-Object Assessment Plan (SOAP). Subjektif adalah semua keluhan
yang dirasakan pasien. Objektif adalah hasil
pemeriksaan yang dapat diukur, misalnya
temperatur, tekanan darah, kadar glukosa darah, kreatinin serum, bersihan
kreatinin, jumlah leukosit dalam darah, dll. Assessment adalah penilaian
penggunaan obat pasien (identifikasi masalah terkait obat). Plan adalah
rekomendasi yang diberikan berdasarkan assessment
yang dilakukan. Apoteker juga harus memantau hasil rekomendasi dengan
mengamati kondisi klinis pasien baik yang terkait dengan efektivitas terapi
maupun efek samping
obat. Contoh: efektivitas antibiotika dapat dinilai dari perbaikan tanda-tanda infeksi setelah 48-72 jam, misalnya: demam menurun (36,5-37oC), jumlah leukosit mendekati nilai normal
(5000-10.000x109/L); sedangkan efek samping
antibiotika, misalnya: diare, mual.
Visite tim
Memperkenalkan
diri kepada pasien dan/atau tim
Pada kegiatan visite
bersama dengan tenaga kesehatan lain, perkenalan anggota tim kepada pasien dan
keluarganya dilakukan oleh ketua tim visite.
Mengikuti dengan seksama presentasi kasus yang disampaikan
Pada saat mengunjungi
pasien, dokter yang merawat akan memaparkan perkembangan kondisi klinis pasien
berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan wawancara dengan
pasien; hal ini dapat dimanfaatkan apoteker
untuk memperbarui data pasien yang telah diperoleh sebelumnya atau
mengkaji ulang permasalahan baru
yang timbul karena perubahan terapi. Apoteker harus berpartisipasi aktif dalam
menggali latar belakang permasalahan terkait penggunaan obat. Contoh: keluhan
pasien berupa sulit buang air besar dapat disebabkan oleh imobilitas atau efek
samping obat, misalnya codein.
Memberikan rekomendasi berbasis bukti berkaitan dengan masalah terkait penggunaan obat
Sebelum memberikan
rekomendasi, apoteker berdiskusi dengan anggota tim secara aktif untuk saling
mengklarifikasi, mengkonfirmasi, dan melengkapi informasi penggunaan obat, Pada
visite tim, rekomendasi lebih ditujukan kepada dokter yang merawat dengan tujuan untuk meningkatkan hasil terapi, khususnya dalam pemilihan terapi obat,
misalnya pemilihan jenis dan rejimen antibiotika untuk terapi demam tifoid,
waktu penggantian antibiotika injeksi menjadi antibiotika oral, lama penggunaan
antibiotika sesuai pedoman terapi yang berlaku.
Rekomendasi yang diberikan harus
berdasarkan informasi dari pasien, pengalaman klinis (kepakaran) dokter dan bukti
terbaik yang dapat diperoleh.
Rekomendasi tersebut merupakan kesepakatan penggunaan obat yang terbaik agar
diperoleh hasil terapi yang optimal. Pemberian rekomendasi kepada dokter yang
merawat dikomunikasikan secara efektif, misalnya: saran tertentu yang bersifat sensitif
(dapat menimbulkan kesalahpahaman) diberikan secara pribadi (tidak di depan pasien/perawat).
Melakukan pemantauan implementasi rekomendasi
Setelah rekomendasi
disetujui dokter yang merawat untuk diimplementasikan, apoteker harus memantau
pelaksanaan rekomendasi perubahan terapi pada rekam medik dan catatan pemberian
obat. Jika rekomendasi belum dilaksanakan maka
apoteker harus menelusuri penyebabnya dan
mengupayakan penyelesaian masalah. Contoh: jika saran untuk mengganti
antibiotika injeksi menjadi antibiotika oral setelah 2 hari suhu tubuh pasien
normal tidak dilaksanakan (dapat diketahui dari rekam medik/catatan pemberian obat)
maka apoteker harus menelusuri penyebabnya. Contoh penyebabnya: dokter belum
memberikan instruksi, obat tidak tersedia, perawat belum memberikan. Apoteker
dapat mengingatkan dokter tentang penggantian bentuk sediaan antibiotika.
Melakukan pemantauan efektivitas dan keamanan terkait penggunaan obat
Pemantauan efektivitas dan
keamanan penggunaan obat berupa keluhan pasien, manifestasi klinis, dan hasil
pemeriksaan penunjang; dapat dilakukan dengan menggunakan metode SOAP. Contoh:
pemberian insulin harus dipantau secara ketat untuk penyesuaian dosis (target
kadar glukosa darah tercapai) dan menghindari terjadinya hipoglikemia; pada
penggunaan Kaptopril, apoteker memperhatikan penurunan tekanan darah pasien
sebagai indikator efektivitas terapi dan menanyakan keluhan batuk kering
sebagai indikator ROTD.
Dokumentasi praktik visite
Pendokumentasian merupakan
hal yang harus dilakukan dalam setiap kegiatan pelayanan farmasi.
Pendokumentasian adalah kegiatan merekam praktik visite yang meliputi:
informasi penggunaan obat, perubahan terapi, catatan kajian penggunaan obat
(masalah terkait penggunaan obat, rekomendasi, hasil diskusi dengan dokter yang
merawat, implementasi, hasil terapi).
Tujuan pendokumentasian kegiatan visite pasien adalah:
a.
Menjamin
akuntabilitas dan kredibilitas
b.
Bahan evaluasi dan
perbaikan mutu kegiatan
c.
Bahan pendidikan dan
penelitian kegiatan
Pendokumentasian dilakukan
pada lembar kerja praktik visite dan
lembar kajian penggunaan obat (lihat contoh pada lampiran). Penyimpanan
dokumentasi kegiatan visite dapat disusun berdasarkan nama pasien dan tanggal lahir, serta nomor rekam medik agar mudah
ditelusuri kembali. Hal yang harus diperhatikan oleh apoteker adalah bahwa
dokumen bersifat rahasia, oleh karena itu harus dikelola dengan baik sehingga
terjaga kerahasiaannya.
BAB 5
EVALUASI PRAKTIK VISITE
Evaluasi merupakan proses
penjaminan kualitas pelayanan dalam hal ini praktik visite apoteker ruang rawat
berdasarkan indikator yang ditetapkan. Indikator dapat dikembangkan sesuai
dengan program mutu rumah sakit masing-masing.
Secara garis besar evaluasi
dapat dilakukan pada tahap input, proses maupun output. Lingkup
materi evaluasi terhadap kinerja apoteker antara lain dalam hal:
1.
Pengkajian rencana
pengobatan pasien
2.
Pengkajian
dokumentasi pemberian obat
3.
Frekuensi diskusi
masalah klinis terkait pasien termasuk rencana apoteker untuk mengatasi masalah tersebut
4.
Rekomendasi apoteker
dalam perubahan rejimen
obat (clinical pharmacy intervention)
Materi lingkup di atas
dapat dibuat dalam bentuk indikator kinerja seperti contoh di bawah ini :
Indikator Kunci Kinerja visite apoteker (key performance indicator)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB 6 PENUTUP
Pelayanan kefarmasian
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pelayanan kesehatan yang
berorientasi pada pelayanan
pasien. Visite adalah salah satu fungsi klinik apoteker dalam pelayanan
kefarmasian untuk memantau efek terapi dan efek samping obat, menilai kemajuan
kondisi pasien bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya.
Adanya pedoman visite bagi
apoteker di fasilitas pelayanan kesehatan
diharapkan dapat menjadi
acuan dan referensi
bagi apoteker dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) secara menyeluruh.
Kegiatan visite yang dilakukan secara benar akan meningkatkan peran dan citra
tenaga farmasi di masyarakat luas dan dapat meningkatkan derajat kesehatan.