Limfoma Non-Hodgkin adalah sekelompok keganasan
(kanker) yang berasal dari sistem kelenjar getah bening dan biasanya menyebar
ke seluruh tubuh. Beberapa dari limfoma ini berkembang sangat lambat (dalam
beberapa tahun), sedangkan yang lainnya menyebar dengan cepat (dalam beberapa
bulan). Penyakit ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan penyakit Hodgkin.
Limfoma malignum
non-Hodgkin atau Limfoma non-Hodgkin adalah suatu keganasan kelenjar limfoid
yang bersifat padat. Limfoma nonhodgkin hanya dikenal sebagai suatu
limfadenopati lokal atau generalisata yang tidak nyeri. Namun sekitar
sepertiga dari kasus yang berasal dari tempat lain yang mengandung jaringan
limfoid ( misalnya daerah orofaring, usus, sumsum tulang, dan kulit. Meskipun
bervariasi semua bentuk limfoma mempunyai potensi untuk menyebar dari
asalnya sebagai penyebaran dari satu kelenjar kekelenjar
lain yang akhirnya menyebar ke limfa, hati, dan sumsum tulang.
A.
Klasifikasi
Pembagian secara perjalanan penyakit:
·
Limfoma Hodgkin
·
Limfoma non-Hodgkin.
Menurut golongan histologisnya limfoma dibagi atas 3
kelompok, besar yaitu:
·
LNH derajat keganasan rendah
·
LNH derajat keganasan menengah
·
LNH derajat keganasan tinggi
B.
ETIOLOGI
Etiologi sebagian besar LNH tidak
diketahui. Namun terdapat beberapa faktor resiko terjadinya LNH, antara lain:
1. Imunodefisiensi
25 % kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH
antara lain adalah : severe combined immunodeficiency, hypogamaglobulinemia,
common variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan
ataxia-telangiectasia. Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan
tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus (EBV) dan
jenisnya beragam, mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma
monoklonal.
2. Agen Infeksius
EBV DNA ditemukan pada 95 % limfoma Burkit endemik, dan lebih jarang
ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma
Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma
Burkit belum diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan
faktor lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang terinfeksi EBV dan
meningkatkan resiko terjadinya kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan
posttransplant lymphoproliferative dissorders (PTLDs) dan AIDS-associated
lymphomas.
3. Paparan Lingkungan dan Pekerjaan
Beberapa pekerjaan yang sering
dihubungkan dengan resiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan
pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.
4. Diet dan Paparan Lainnya
Resiko LNH meningkat pada orang
yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena
paparan unlraviolet.
C.
EPIDEMIOLOGI
LNH merupakan neoplasma ganas padat yang cukup
sering dijumpai dengan frekuensi 3% dari seluruh kanker. Di Indonesia frekuensi
relatif LNH jauh lebih tinggi di bandingkan dengan limfoma Hodgkin. Pada tahun
2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru, dan 26.100
orang meninggal karena LNH. Di Amerika Serikat, 5 % kasus LNH baru terjadi pada
pria, dan 4 % pada wanita per tahunnya. Pada tahun 1997, LNH dilaporkan sebagai penyebab
kematian akibat kanker utama pada pria usia 20-39 tahun. Saat ini angka pasien LNH di
Amerika Serikat meningkat dengan pertambahan 5-10 % pertahunnya menjadikannya
urutan ke lima tersering dengan angka kejadian 12-15 per 100.000 penduduk.
Dengan makin meningkatnya insidens AIDS, jumlah kasus limfoma non-Hodgkin meningkat
secara signifikan. 1,2, 6
D.
PATOGENESIS
Perubahan sel limfosit normal
menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel
dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses tranformasi
menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Hal yang perlu
diketahui adalah proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel
limfosit tua berada diluar ”centrum germinativum” sedangkan imunoblast berada
di bagian paling sentral dari ”central germinativum”. Beberapa perubahan yang
terjadi pada limfosit tua, antara lain : 1) ukurannya makin besar, 2) kromatin
inti menjadi lebih ”halus”, 3) nukleolinya terlihat, 4) protein permukaan sel
mengalami perubahan (reseptor).
Hal mendasar lain yang perlu diingat adalah bahwa
sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap mempertahankan sifat
”dasar”nya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat
mudah masuk dalam aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah,
sedangkan sel kanker dari imunoblas amat jarang masuk ke dalam aliran darah,
namun dengan tingkat mitosis yang tinggi.
E.
MANIFESTASI KLINIS
Semua gejala yang dapat
disebabkan oleh limfoma non Hodgkin juga dapat ditimbulkan oleh penyakit lain.
Dengan kata lain, tidak ada satu gejala yang dapat digunakan untuk menjamin
adanya limfoma non Hodgkin. Ini merupakan salah satu alasan mengapa pemeriksaan
diagnostik sangat penting untuk menegakkan diagnosis limfoma non Hodgkin.
Sangat sering, pasien tidak
mempunyai gejala ketika limfoma non Hodgkindidiagnosis. Limfoma sering pertama
kali ditemukan sebagai hasil pemeriksaan fisik dokter atau pemeriksaan karena
kondisi lainnya, seperti tes darah atau sinar-X dada. Hal ini khususnya pada kasus pasien dengan
limfoma non Hodgkin indolen dimana pertumbuhan lambat dan sering tanpa gejala
untuk waktu yang lama.
Gejala klinis pada LNH dapat
berupa sebagai berikut:
Suatu pembengkakan kelenjar getah bening tanpa rasa sakit, biasanya lebih
dari 1 cm adalah gejala yang paling sering saat limfoma non Hodgkin
didiagnosis. Kelenjar paling mungkin didapatkan di leher, ketiak dan lipatan paha. Pembengkakan biasanya tidak menimbulkan
rasa sakit atau gejala lainnya, tetapi sering ukurannya meningkat dengan pasti.
Tentunya, harus diingat, bahwa pembengkakan kelenjar getah bening sangat umum,
dan mayoritas orang dengan pembengkakan kelenjar tidak menderita limfoma non
Hodgkin. Sejauh ini kebanyakan penyebab pembengkakan kelenjar getah bening
adalah infeksi. Kelenjar getah bening yang membengkak pada infeksi biasanya
mereda setelah infeksinya teratasi.
b. Gejala konstitusional
Gejala konstitusional adalah gejala-gejala yang tidak spesifik yang
mengindikasikan seseorang tidak sehat. Gejala konstitusional yang sering timbul
pada limfoma non Hodgkin termasuk:
·
Demam berulang, yang tidak dapat diterangkan
penyebabnya (dengan suhu tubuh melebihi 38 oC).
·
Keringat malam yang membasahi pakaian tidur dan alas
tidur.
·
Kehilangan berat badan yang tidak diinginkan
(penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan dalam 6 bulan).
·
Kelelahan yang berat dan menetap.
·
Penurunan nafsu makan.
·
Jangkitan orofaringeal dijumpai pada 5-10 % kasus yang
dapat menimbulkan keluhan sakit menelan (sore throat).
·
Anemia, infeksi, dan perdarahan dapat dijumpai pada
kasus yang mengenai sumsum tulang secara difus.
·
Dapat dijumpai hepato/splenomegali.
·
Gejala pada organ lain seperti kulit, otak, testis dan
tiroid dapat dijumpai. Kelainan kulit sering dijumpai pada mycosis funguides.
F. DIAGNOSIS
Selain berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik terhadap pasien dengan gejala klinis yang menggambarkan penyakit
LNH, namun dalam penegakkan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan histologi
biopsi eksisi kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal. Biopsi kelenjar
getah bening dilakukan hanya 1 kelenjar yang paling representative,
superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar perifer/superficial yang
representative, maka tidak perlu biopsi intra abdominal atau intratorakal.
Selain untuk menegakkan
diagnosis, pemeriksaan histologis dapat digunakan untuk menentukan derajat
keganasan LNH. Derajat yang paling rendah adalah limfoma indolent (jinak),
derajat selanjutnya limfoma agresif dan limfoma sangat agresif. Derajat limfoma
juga dapat ditentukan setelah pemeriksaan histologis. Berdasarkan sistem
“staging” Ann Arbor, tingkat penyakit pasien dibedakan atas: Stadium I
jangkitan LNH pada satu daerah kelenjar getah bening; Stadium II jangkitan
mengenai dua daerah kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama;
stadium III jangkitan pada daerah kelenjar getah bening pada kedua sisi
diafragma; dan stadium IV jangkitan difusa atau diseminata (menyeluruh) pada
satu atau lebih organ eksemfalitik. Pemeriksaan penunjang lainnya yang juga
diperlukan dalam pendekatan diagnostik yaitu pemeriksaan hematologi, aspirasi
dan biopsi sumsum tulang, radiologi, pemeriksaan di bidang THT, pemeriksaan
cairan tubuh, sampai pada pemeriksaan biologi molekuler dan imunologik jika
fasilitas pemeriksaan tersedia.
G.
PENDEKATAN DIAGNOSTIK PADA LIMFADENOPATI
Pendekatan
diagnostik penderita limfadenopati umumnya sama dengan pendekatan penderita
splenomegali dan/atau ke.lainan leukosit/imunoglobulin. Penderita dengan
pembesaran kelenjar getah bening dapat disebabkanoleh (1) infeksi
mikroorganisme (piogenik dan granulomatosa/parasit), (2) respon imun terhadap
infeksi atau terhadap bahan noninfeksius, (3) neoplasma (primer atau sekunder),
dan (4) penyebab yang tidak jelas (penyakit autoimin, reaksi obat, dan
lain-lain).
Penderita
limfadenopati mungkin tanpa keluhan, atau mungkin pula dengan gejala infeksi.
Umumnya penderita mengeluh demam tanpa terbukti adanya infeksi, lemah,
pembesaran kelenjar atau teraba massa tumor, perdarahan abnormal, berat badan
menurun, nyeri tulang dan sendi, serta gatal-gatal seluruh tubuh. Pada
penderita dengan gejala di atas perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang teliti,
terutama pemeriksaan kelenjar getah bening dan limpa. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan foto Ro toraks, analisis air seni, pemeriksaan darah tepi, biopsi
kelenjar getah bening, aspirasi sumsum tulang dan pemeriksaan Iainnya.
H.
STADIUM LIMFOMA NON HODGKIN
Penentuan stadium LNH didasarkan
pada jenis patologi dan tingkat keterlibatan. Jenis patologi (tingkat rendah,
sedang atau tinggi) didasarkan pada formulasi kerja yang baru. Tingkat
keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.
a. Formulasi kerja yang baru, yaitu
Tingkat rendah: Tipe yang baik
1. Limfositik kecil
2. Sel folikulas, kecil berbelah
3. Sel folikulas dan campuran sel
besar dan kecil berbelah
Tingkat sedang: Tipe yang tidak
baik
1. Sel folikulis, besar
2. Sel kecil berbelah, difus
3. Sel campuran besar dan kecil,
difus
4. Sel besar, difus
Tingkat tinggi: Tipe yang tidak
menguntungkan
1. Sel besar imunublastik
2. Limfoblastik
3. Sel kecil tak berbelah
b. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan
klasifikasi Ann Arbor
Stadium I:
Keterlibatan satu daerah kelenjar getah bening (I)
atau keterlibatan satu organ atau satu tempat ekstralimfatik(IIE)
Stadium II:
Keterlibatan 2 daerah kelenjar getah bening atau lebih
pada sisi diafragma yang sama (II) atau keterlibatan lokal pada organ atau
tempat ekstralimfatik dan satu atau lebih daerah kelenjar getah bening pada
sisi diafragma yang sama (IIE). Rekomendasi lain: jumlah daerah nodus yang
terlibat ditunjukkan dengan tulisan di bawah garis (subscript) (misalnya
II3).
Stadium III:
Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua
did diafragma (III), yang juga dapat disertai dengan keterlibatan lokal pada
organ atau tempat ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIIE+S).
Stadium IV:
Keterlibatan yang difus atau tanpa disertaipembesaran
kelenjar getah bening. Alasan untukmenggolongkan pasien ke dalam stadium IV
harusdijelaskan lebih lanjut dengan menunjukkan tempatitu dengan simbol.
I.
PENATALAKSANAAN
Terapi yang
dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Terapi yang dapat
dilakukan adalah:
1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen:
Pada prinsipnya simtomatik
a. Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika
dianggap perlu: COP (Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone)
b. Radioterapi: LNH sangat radiosensitif. Radioterapi ini
dapat dilakukan untuk lokal dan paliatif. Radioterapi: Low Dose TOI +
Involved Field Radiotherapy saja.
2. Derajat Keganasan Mengah (DKM)/agresif limfoma
a. Stadium I: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU)+radioterapi CHOP
(Cyclophosphamide, Hydroxydouhomycin,Oncovin, Prednisone)
b. Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi,
radioterapi berperan untuk tujuan paliasi.
3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT)
DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik)
a. Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia
Limfoblastik Akut(LLA)
b. Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:
1) setelah siklus kemoterapi ke-empat
2) setelah siklus pengobatan lengkap
a) Tahapan Terapi
Terapi untuk LNH terdiri atas
terapi spesifik untuk membasmi sel limfoma dan terapi suportif untuk
meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk menanggulangi efek samping
kemoterapi atau radioterapi. Terapi spesifik untuk LNH dapat diberikan dalam
bentuk berikut
·
Radioterapi
-
Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I)
-
Untuk ajuvan pada ”bulky dissease”
-
Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
·
Kemoterapi
-
Kemoterapi tunggal (single agent)
Chlorambucil atau siklofosfamid untuk LNH derajat
keganasan rendah.
-
Kemoterapi kombinasi, dibagi menjadi tiga, yaitu :
Kemoterapi kombinasi generasi I, terdiri atas :
1. CHOP (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine,
prednison);
2. CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + Bleomycine)
3. COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate
with leucovorin rescue);
4. CVP/COP (cyclophosphamide, doxorubicine, prednison)
5. C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine,
vincristine, prednisone, procarbazine)
-
Kemoterapi kombinasi generasi II, terdiri atas :
1. COP-Blam (cyclophosphamide,
mechlorethamine, vincristine, prednisone, bleomycine, doxorubicine,
procarbazine)
2. Pro-MACE-MOPP (Prednisone,
methatrexate with leucovorin rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etopuside,
mechlorethamine, vincristine, prednisone, procarbazine)
3. M-BACOD (methatrexate with leucovorin rescue,
doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone)
-
Kemoterapi kombinasi generasi III, terdiri atas :
1. COPBLAM III (Cyclophosphamide, infusional vincristine,
prednison, infusional bleomycine, doxorubicine, procarbazine)
2. ProMACE-CytaBOM (prednisone, methotrexate with
leucovorin rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide, cytarabine,
bleomycine, vincristine)
3. MACOP-B (methotrexate with leucovorin rescue,
doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, prednisone, bleomycine).
Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi kombinasi CHOP
terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi yang lain. Penambahan
jenis kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah angka kesembuhan,
malahan dapat menambah efek samping. Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua
dan ketiga jarang digunakan.
1. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel
induk merupakan terapi baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka
panjang.
2. Kemoterapi dosis tinggi dengan
rescue memakai peripheral blood stem cell transplantation
3. Terapi dengan imunomodulator
Terapi dengan interferon diberikan untuk indolent
lymphoma, dikombinasikan dengan kemoterapi atau diberikan setelah kemoterapi
untuk memperpanjang masa remisi. Hasilnya sampai sekarang masih kontroversial.
Antibodi monoklonal : rituximab (Mabthera) suatu
chimeric monoclonal antibody (human-mouse hybrid) ditujukan untuk CD20 antigen
yang diekspresikan oleh semua sel limfosit B. Pemberian rituximab intravena
tiap minggu selama 4 minggu memberikan remisi parsial pada 50% LNH indolen.
Sekarang cenderung di gabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada
LNH agresif.
Sebaiknya dikuasai suatu regimen kemoterapi yang
tersedia di tempat tersebut. Regimen yang paling umum dipakai adalah CHOP :
1) Cyclophosphamide 750 mg/m2 i.v hari 1
2) Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mg/m2
i.v hari 1
3) Oncovin (vincristine) 1,5 mg/m2,
i.v hari 1 dan 5
4) Prednison 100 mg peroral hari 1-5
Siklus diulangi tiap 3 minggu, sampai terjadi
remisi komplit, kemudian ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak
terjadi remisi komplit, sebaiknya diganti dengan regimen lain.
Strategi Terapi LNH 2
1. Pengobatan LNH derajat keganasan
rendah stage I dan II
ü
radioterapi merupakan obat pilihan.Pengobatan LNH
derajat keganasan rendah stage III dan IV
ü
Tumbuh lambat : chlorambucill cyclophosphamide oral
ü
Dengan jangkitan yang luas dapat diberikan CVP, C-MOPP
atau BACOP
2. Pengobatan LNH derajat keganasan
menengah stage I, II, III dan IV
ü
Obat pilihan kemoterapi kombinasi yaitu CHOP memberi
remisi 50-75%
3. Pengobatan LNH derajat keganasan
tinggi
ü
Kemoterapi dosis tinggi merupakan pilihan utama
ü
Limfoma imunoblastik sangat resisten pada kemoterapi
dan radioterapi
ü
Limfoma limfoblastik diberikan regimen terapi seperti
pada ALL
ü
Limfoma undifferentiated (Burkitt/non-Burkitt) diberi
kemoterapi kombinasi : vincristine, methotrexate, dan cyclophosphamide.