| Gudang artikel

Paduan Visite Untuk Apoteker

Rabu, 27 Juni 2018

Pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi telah berkembang orientasinya pada pelayanan kepada pasien (pharmaceutical care). Apoteker di rumah sakit diharapkan memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien, yang memastikan bahwa pengobatan yang diberikan pada setiap individu pasien adalah pengobatan yang rasional. Selain mampu menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat agar mampu memberikan manfaat bagi kesehatan dan berbasis bukti (evidence based medicines), pelayanan kefarmasian juga diharapkan mampu mengidentifikasi, menyelesaikan dan mencegah masalah terkait pengunaan obat yang aktual dan potensial.
Kegiatan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien adalah praktik apoteker ruang rawat (ward pharmacist) dengan visite sebagai salah satu aktivitasnya. Visite apoteker adalah kunjungan rutin yang dilakukan apoteker kepada pasien di ruang rawat dalam rangka mencapai hasil terapi (clinical outcome) yang lebih baik. Aktivitas visite dapat dilakukan secara mandiri atau kolaborasi secara aktif dengan tim dokter dan profesi kesehatan lainnya dalam proses penetapan keputusan terkait terapi obat pasien.
Beberapa penelitian menunjukkan dampak positif dari pelaksanaan kegiatan visite pada aspek humanistik (contoh: peningkatan kualitas hidup pasien, kepuasan  pasien),  aspek  klinik (contoh: perbaikan tanda-tanda klinik, penurunan kejadian reaksi obat yang tidak diinginkan, penurunan morbiditas dan mortalitas, penurunan lama hari rawat), serta aspek ekonomi (contoh: berkurangnya biaya obat dan biaya pengobatan secara keseluruhan).
Dalam penelitian Klopotowska 2010 yang dilakukan di Belanda, partisipasi apoteker dalam visite pada intensive care unit telah

melakukan 659 rekomendasi dari 1173 peresepan dengan tingkat penerimaan dokter sebesar 74%. Peran Apoteker dalam  ruang ICU mampu menurunkan kesalahan peresepan yang bermakna (p<0,001), yaitu: 190,5 per 1000 hari-pasien menjadi 62,5 per 1000 hari-pasien. Dari sisi penghematan biaya pengobatan, pencegahan reaksi obat yang tidak diinginkan menunjukkan penghematan biaya sebesar 26-40 Euro.
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi pelayanan kefarmasian, apoteker dituntut untuk terus meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan visite dengan baik. Saat ini, masih belum tersusun secara sistematis tata cara pelaksanaan visite sebagai panduan bagi apoteker yang akan melakukan visite. Oleh karena itu diperlukan pedoman bagi apoteker dalam menjalankan praktik visite untuk meningkatkan hasil terapi (clinical outcome) dan keselamatan pasien.
Pelaksanaan visite merupakan bagian dari implementasi standar pelayanan farmasi di rumah sakit.

     Tujuan

Pedoman visite apoteker di ruang rawat disusun sebagai panduan bagi apoteker dalam melakukan visite.

     Sasaran

Pedoman ini ditujukan bagi apoteker di fasilitas pelayanan kesehatan.

     Landasan Hukum

1.                              Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

2.                             Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
3.                             Peraturan Pemerintah Republik No 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
4.                             Kepmenkes No. 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit;
5.                             Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.Per/07/M.PAN/4/2008 Tentang Jabatan Fungsional Apoteker dan Angka Kreditnya;
6.                             Peraturan Bersama Menkes dan Ka.BAKN No. 1113/ Menkes/PB/XII/2008 dan No.26/2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Apoteker dan Angka Kreditnya;
7.                             Keputusan Menteri Kesehatan No.1333/Menkes/SK/ XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit;
8.                             Keputusan Menteri Kesehatan No.377/Menkes/PER/ V/2009 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Apoteker dan Angka Kreditnya;
9.                             Keputusan Menteri Kesehatan No.1144/Menkes/Per/ VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan;

     Ruang Lingkup

Visite yang dilakukan oleh apoteker berupa kunjungan apoteker ke pasien di ruang rawat, meliputi: (i) identifikasi masalah terkait penggunaan obat, (ii) rekomendasi penyelesaian/pencegahan

masalah terkait penggunaan obat dan/atau pemberian informasi obat, (iii) pemantauan implementasi rekomendasi dan hasil terapi pasien.
Apoteker dalam praktik visite harus berkomunikasi secara efektif dengan pasien/keluarga, dokter dan profesi kesehatan lain, serta terlibat aktif dalam keputusan terapi obat untuk mencapai hasil terapi (clinical outcome) yang optimal. Apoteker melakukan dokumentasi semua tindakan yang dilakukan dalam praktik visite sebagai pertanggungjawaban profesi, sebagai bahan pendidikan dan penelitian, serta perbaikan mutu praktik profesi.

BAB 2

PRAKTIK APOTEKER RUANG RAWAT

     Pengertian, Peran dan Fungsi

Praktik apoteker ruang rawat merupakan praktik apoteker langsung kepada pasien di ruang rawat dalam rangka pencapaian hasil terapi obat yang lebih baik dan meminimalkan kesalahan obat (medication errors).Apoteker melakukan praktik di ruang rawat sesuai dengan kompetensi dan kemampuan farmasi klinik yang dikuasai. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberadaan apoteker di ruang rawat mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah terkait obat, serta menurunkan medication errors.
Penelitian Kjeldby 2009 menunjukkan kontribusi positif apoteker terhadap jaminan kualitas terapi obat di ruang rawat (7 dari 8 dokter dan seluruh perawat mengakui hal tersebut). Apoteker mengidentifikasi 137 masalah terkait obat dari 384 lembar pemberian obat; 73 (53%) masalah terkait obat diantaranya memerlukan penanganan segera, yaitu: (i) 48 (41%) masalah terkait dosis, (ii) 35 (30,4%) masalah terkait pemilihan obat, (iii) 32 (27,8%) masalah terkait kebutuhan monitoring penggunaan obat.
Penelitian Martínez-López de Castro 2009 menunjukkan bahwa penyiapan unit dose dispensing (UDD) untuk pasien rawat inap oleh apoteker ruang rawat dan implementasi prosedur checking medication menurunkan kejadian medication error di bangsal gynaecology-urology (3.24% vs. 0.52%), orthopaedic (2% vs. 1.69%)
and neurology-pneumology (2.81% vs. 2.02%).
Peran dan fungsi apoteker ruang rawat secara umum adalah:
1.         Mendorong efektifitas dan keamanan pengobatan pasien
2.         Melaksanakan dispensing berdasarkan legalitas dan standar profesi

3.         Membangun tim kerja yang baik dengan menghormati kode etik masing-masing profesi dan asas confidential
4.         Melaksanakan pendidikan dan pelatihan dalam rangka pemenuhan kompetensi standar profesi
5.         Terlibat secara aktif dalam penelitian obat

     Tujuan apoteker ruang rawat

Pelaksanaan praktik apoteker ruang rawat bertujuan:
1.              Pasien mendapatkan obat sesuai rejimen (indikasi, bentuk sediaan, dosis, rute, frekuensi, waktu, durasi)
2.              Pasien mendapatkan terapi obat secara efektif dengan risiko minimal (efek samping, medication errors, biaya)

     Tanggung Jawab dan Tugas pokok

Tanggung jawab apoteker ruang rawat terutama terkait dengan:
1.         Ketersediaan obat yang berkualitas dan legal
2.         Penyelesaian masalah terkait obat
3.         Dokumentasi terapi obat (rekomendasi dan perubahan rejimen)
4.         Pemeliharaan dan peningkatan kompetensi tentang sediaan farmasi dan alat kesehatan (minimal sesuai kebutuhan di ruang rawat tersebut)
5.         Pelaksanaan pendidikan, pelatihan dan penelitian

Tugas Pokok Apoteker ruang rawat meliputi beberapa berikut:
1.         Penyelesaian masalah terkait penggunaan obat pasien
a.                              Memastikan kebenaran dan kelengkapan informasi terkait terapi obat dalam resep, rekam medis maupun dalam dokumen/kertas kerja lain

b.                             Memastikan tidak ada kesalahan peresepan melalui pengkajian resep (administratif, farmasetik, klinis) bagi setiap pasien
c.                             Memberikan informasi, penjelasan, konseling, saran tentang pemilihan bentuk sediaan (dosage form) yang paling sesuai bagi setiap pasien
d.                             Memastikan ketepatan indikasi penggunaan obat, yaitu: masalah terkait penggunaan obat dapat diidentifikasi, diselesaikan, dan efektivitas maupun kondisi yang tidak diinginkan dapat dipantau
e.                             Melakukan visite (ward rounds) mandiri maupun kolaborasi dengan dokter atau profesi kesehatan lain, melakukan penelusuran riwayat pengobatan dan terlibat dalam proses keputusan terapi obat pasien
f.                                Melakukan diskusi dengan dokter, perawat dan profesi kesehatan lain tentang terapi obat dalam rangka pencapaian hasil terapi yang telah ditetapkan (definite clinical outcome)
g.                             Melakukan komunikasi dengan pasien/keluarga pasien (care giver) terkait obat yang digunakan
h.                             Memberikan informasi obat yang diperlukan dokter, perawat, pasien/keluarga pasien (care giver) atau profesi kesehatan lain
i.                                  Melakukan monitoring secara aktif, dokumentasi dan pelaporan efek samping obat dan sediaan farmasi, termasuk alat kesehatan, kosmetik dan herbal.
j.                                  Melakukan pengkajian penggunaan obat secara aktif

2.         Memastikan ketepatan dispensing:
a.                             Memastikan keberlangsungan rejimen obat terpenuhi bagi pasien di ruang rawat maupun pasien pulang

b.                              Memastikan kebenaran dalam penyiapan dan pemberian obat, yang meliputi: tepat pasien, tepat dosis, tepat bentuk sediaan, tepat rute, tepat waktu pemberian obat, disertai dengan kecukupan informasi (lisan dan tertulis)
c.                              Memastikan ketepatan penyiapan obat yang potensial menyebabkan kondisi fatal (high alert medication)
d.                              Memastikan ketepatan rekonstitusi sediaan steril  sesuai kaidah teknik aseptik dengan memperhatikan kompatibilitas dan kelarutan untuk menjaga kestabilan
e.                              Memastikan ketepatan teknik penggunaan, misalnya: penggunaan inhaler, semprot hidung, injeksi insulin, injeksi enoxaparin
f.                                 Memastikan ketersediaan obat dan alat kesehatan emergensi agar selalu sesuai dengan stok yang ditetapkan di ruang rawat bersama perawat dan dokter jaga (jika ada)
g.                              Memastikan ketepatan penyimpanan obat sesuai dengan persyaratan farmasetik dan aspek legal
h.                              Memastikan proses dispensing sediaan non steril di ruang rawat menggunakan peralatan sesuai standar, meminimalkan kontaminan
i.                                   Memastikan proses dispensing sediaan steril memenuhi teknik aseptik dan keselamatan kerja sesuai dengan persyaratan dan prosedur yang berlaku.

3.         Pendidikan :
a.                              Partisipasi dalam proses pendidikan mahasiswa farmasi, tenaga teknis kefarmasian maupun profesi kesehatan lain
b.                              Partisipasi dalam proses pelatihan apoteker, mahasiswa farmasi, tenaga teknis kefarmasian maupun profesi kesehatan lain

c.                             Melakukan pendampingan profesi kesehatan yang belum mampu dan belum berpengalaman dalam penyiapan obat
d.                             Partisipasi dalam Pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development)

4.         Penelitian :
a.                             Partisipasi dalam penelitian terkait obat (drug use study) di rumah sakit
b.                             Partisipasi dalam uji klinik (penyimpanan, penyiapan, pendistribusian, pengendalian, dan pemusnahan)

5.         Partisipasi aktif dalam tim:
a.                             Pada saat praktik di ruang rawat berkolaborasi dengan dokter, perawat dan profesi kesehatan lain untuk memastikan keamanan, efektifitas dan kemanfaatan, serta keterjangkauan biaya penggunaan obat.
b.                             Bekerja sama dengan tim lain (misalnya: tim paliatif,  tim pengendalian infeksi, tim patient safety, Subkomite Farmasi dan Terapi, dll) di rumah sakit/fasilitas pelayanan kesehatan



BAB 3 PERSIAPAN PRAKTIK VISITE


Praktik visite yang dilakukan oleh apoteker bertujuan untuk:
(1) meningkatkan pemahaman mengenai riwayat pengobatan pasien, perkembangan kondisi klinik, dan rencana terapi secara komprehensif; (2) memberikan informasi mengenai farmakologi, farmakokinetika, bentuk sediaan obat, rejimen dosis, dan aspek lain terkait terapi obat pada pasien, (3) memberikan rekomendasi sebelum keputusan klinik ditetapkan dalam hal pemilihan terapi, implementasi dan monitoring terapi; (4) memberikan rekomendasi penyelesaian masalah terkait penggunaan obat akibat keputusan klinik yang sudah ditetapkan sebelumnya
Sebelum memulai praktik visite di ruang rawat, seorang apoteker perlu membekali diri dengan berbagai pengetahuan, minimal: patofisiologi, terminologi medis, farmakokinetika, farmakologi, farmakoterapi, farmakoekonomi, farmakoepidemiologi, pengobatan berbasis bukti. Selain itu diperlukan kemampuan interpretasi data laboratorium dan data penunjang diagnostik lain; berkomunikasi secara efektif dengan pasien, dan tenaga kesehatan lain. Praktik visite membutuhkan persiapan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

     Seleksi pasien

Seharusnya layanan visite diberikan kepada semua pasien yang masuk rumah sakit. Namun mengingat keterbatasan jumlah apoteker maka layanan visite diprioritaskan untuk pasien dengan kriteria sebagai berikut:
a.         Pasien baru (dalam 24 jam pertama);
b.         Pasien dalam perawatan intensif;
c.         Pasien yang menerima lebih dari 5 macam obat;

d.         Pasien yang mengalami penurunan fungsi organ terutama hati dan ginjal;
e.         Pasien yang hasil pemeriksaan laboratoriumnya mencapai nilai kritis (critical value), misalnya: ketidakseimbangan elektrolit, penurunan kadar albumin;
f.          Pasien yang mendapatkan obat yang mempunyai indeks terapetik sempit, berpotensi menimbulkan reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang fatal. Contoh: pasien yang mendapatkan terapi obat digoksin, karbamazepin, teofilin, sitostatika;

     Pengumpulan informasi penggunaan obat

Informasi penggunaan obat dapat diperoleh dari rekam medik, wawancara dengan pasien/keluarga, catatan pemberian obat. Informasi tersebut meliputi:
-                 Data pasien : nama, nomor rekam medis, umur, jenis kelamin, berat badan (BB), tinggi badan (TB), ruang rawat, nomor tempat tidur, sumber pembiayaan
-                 Keluhan utama: keluhan/kondisi pasien yang menjadi alasan untuk dirawat
-                 Riwayat penyakit saat ini (history of present illness) merupakan riwayat keluhan / keadaan pasien berkenaan dengan penyakit yang dideritanya saat ini
-                 Riwayat sosial: kondisi sosial (gaya hidup) dan ekonomi pasien yang berhubungan dengan penyakitnya. Contoh: pola makan, merokok, minuman keras, perilaku seks bebas, pengguna narkoba, tingkat pendidikan, penghasilan
-                 Riwayat penyakit terdahulu: riwayat singkat penyakit yang pernah diderita pasien, tindakan dan perawatan yang pernah diterimanya yang berhubungan dengan penyakit pasien saat ini

-           Riwayat penyakit keluarga: adanya keluarga yang menderita penyakit yang sama atau berhubungan dengan penyakit yang sedang dialami pasien. Contoh: hipertensi, diabetes, jantung, kelainan darah, kanker
-           Riwayat penggunaan obat: daftar obat yang pernah digunakan pasien sebelum dirawat (termasuk obat bebas, obat tradisional/ herbal medicine) dan lama penggunaan obat
-           Riwayat alergi/ ROTD daftar obat yang pernah menimbulkan reaksi alergi atau ROTD.
-           Pemeriksaan fisik: tanda-tanda vital (temperatur, tekanan darah, nadi, kecepatan pernapasan), kajian sistem organ (kardiovaskuler, ginjal, hati)
-           Pemeriksaanlaboratorium:Datahasilpemeriksaanlaboratorium diperlukan dengan tujuan: (i) menilai apakah diperlukan terapi obat, (ii) penyesuaian dosis, (iii) menilai efek terapeutik  obat,
(iv) menilai adanya ROTD, (v) mencegah terjadinya kesalahan dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan laboratorium, misalnya: akibat sampel sudah rusak, kuantitas sampel tidak cukup, sampel diambil pada waktu yang tidak tepat, prosedur tidak benar, reagensia yang digunakan tidak tepat, kesalahan teknis oleh petugas, interaksi dengan makanan/obat. Apoteker harus dapat menilai hasil pemeriksaan pasien dan membandingkannya dengan nilai normal. (lihat contoh kasus)
-           Pemeriksaan diagnostik: foto roentgen, USG, CT Scan. Data hasil pemeriksaan diagnostik diperlukan dengan tujuan:
(i) menunjang penegakan diagnosis, (ii) menilai hasil terapeutik pengobatan, (iii) menilai adanya risiko pengobatan.
-           Masalah medis meliputi gejala dan tanda klinis, diagnosis utama dan penyerta.
-           Catatan penggunaan obat saat ini adalah daftar obat yang sedang digunakan oleh pasien.

-                 Catatan perkembangan pasien adalah kondisi klinis pasien yang diamati dari hari ke hari.

     Pengkajian masalah terkait obat

Pasien yang mendapatkan obat memiliki risiko mengalami masalah terkait penggunaan obat baik yang bersifat aktual (yang nyata terjadi) maupun potensial (yang mungkin terjadi). Masalah terkait penggunaan obat antara lain: efektivitas terapi, efek samping obat, biaya. Penjelasan rinci tentang klasifikasi masalah terkait obat lihat lampiran 2.

     Fasilitas

Fasilitas praktik visite antara lain:
a.                             Formulir Pemantauan Terapi Obat
b.                             Referensi dapat berupa cetakan atau elektronik, misalnya: Formularium Rumah Sakit, Pedoman Penggunaan Antibiotika, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Daftar Obat Askes (DOA), Daftar Plafon Harga Obat (DPHO), British National Formulary (BNF), Drug Information Handbook (DIH), American Hospital Formulary Services (AHFS): Drug Information, Pedoman Terapi, dll.
c.                             Kalkulator

BAB 4 PELAKSANAAN VISITE


Kegiatan visite dapat dilakukan oleh apoteker secara mandiri atau kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan situasi dan kondisi. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing- masing (lihat tabel) yang perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan visite dan menetapkan rekomendasi.
Kegiatan visite mandiri




 

    

 


    

 



Kegiatan visite tim:




 

   

 

   

 


     Visite Mandiri

     Memperkenalkan diri kepada pasien
Pada kegiatan visite mandiri, apoteker harus memperkenalkan diri kepada pasien dan keluarganya agar timbul kepercayaan mereka terhadap profesi apoteker sehingga mereka dapat bersikap terbuka dan kooperatif. Contoh cara memperkenalkan diri, “Selamat pagi Bu Siti, saya Retno, apoteker di ruang rawat ini. Bagaimana keadaan Ibu hari ini? Membaik? Atau ada keluhan lain?”. Pada tahap ini, apoteker dapat menilai adanya hambatan pasien dalam berkomunikasi dan status klinis pasien (misalnya: kesadaran, kesulitan berbicara, dll).

     Mendengarkan respon yang disampaikan oleh pasien dan

identifikasi masalah
Setelah memberikan salam, apoteker berkomunikasi efektif secara aktif untuk menggali permasalahan pasien terkait penggunaan obat (lihat informasi penggunaan obat di atas). Respon dapat berupa keluhan yang disampaikan oleh pasien, misalnya: rasa nyeri menetap/bertambah, sulit buang air besar; atau adanya keluhan baru, misalnya: gatal-gatal, mual, pusing. Apoteker harus melakukan kajian untuk memastikan apakah keluhan tersebut terkait dengan penggunaan obat yang telah diberitahukan sebelumnya, misalnya urin berwarna merah karena penggunaan rifampisin; mual karena penggunaan siprofloksasin atau metformin.
Setelah bertemu dengan pasien berdasarkan informasi penggunaan yang diperoleh, apoteker dapat (i) menetapkan status masalah (aktual atau potensial), dan (ii) mengidentifikasi adanya masalah baru.

     Memberikan rekomendasi berbasis bukti berkaitan dengan masalah terkait penggunaan obat

Pada visite mandiri, rekomendasi lebih ditujukan kepada pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan penggunaan

obat dalam hal aturan pakai, cara pakai, dan hal-hal yang harus diperhatikan selama menggunakan obat. Rekomendasi kepada pasien yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan pendampingan cara penggunaan obat.
Setelah pelaksanaan visite mandiri, apoteker dapat menyampaikan rekomendasi kepada perawat tentang jadwal dan cara pemberian obat, misalnya: obat diberikan pada waktu yang telah ditentukan (interval waktu pemberian yang sama), pemberian obat sebelum/sesudah makan, selang waktu pemberian obat untuk mencegah terjadinya interaksi, kecepatan infus, jenis pelarut yang digunakan, stabilitas dan ketercampuran obat suntik. Rekomendasi kepada perawat yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan pendampingan cara penyiapan obat.
Rekomendasi yang diberikan harus berdasarkan pada bukti terbaik, terpercaya dan terkini agar diperoleh hasil terapi yang optimal.
Rekomendasi kepada apoteker lain dapat dilakukan dalam proses penyiapan obat, misalnya: kalkulasi dan penyesuaian  dosis, pengaturan jalur dan laju infus. Rekomendasi kepada dokter yang merawat yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa diskusi pembahasan masalah dan kesepakatan keputusan terapi.

              Melakukan pemantauan implementasi rekomendasi

Apoteker harus memantau pelaksanaan rekomendasi kepada pasien, perawat, atau dokter. Jika rekomendasi belum dilaksanakan maka apoteker harus menelusuri penyebab tidak dilaksanakannya rekomendasi dan mengupayakan penyelesaian masalah. Contoh: pasien minum siprofloksasin bersama dengan antasida karena sudah terbiasa minum semua obat setelah makan atau minum siprofloksasin bersama dengan susu. Seharusnya siprofloksasin diminum dengan selang waktu 2 jam sebelum minum antasida/susu. Hal tersebut dapat diatasi dengan memberi edukasi kepada perawat/ pasien tentang adanya interaksi antara siprofloksasin dan antasida/

susu    membentuk   kompleks   yang   menyebabkan   penyerapan
siprofloksasin terganggu dan efektivitas siprofloksasin berkurang.

     Melakukan pemantauan efektivitas dan keamanan terkait penggunaan obat

Pemantauan efektivitas dan keamanan efek samping dapat dilakukan dengan menggunakan metode Subject-Object Assessment Plan (SOAP). Subjektif adalah semua keluhan yang dirasakan pasien. Objektif adalah hasil pemeriksaan yang dapat diukur, misalnya temperatur, tekanan darah, kadar glukosa darah, kreatinin serum, bersihan kreatinin, jumlah leukosit dalam darah, dll. Assessment adalah penilaian penggunaan obat pasien (identifikasi masalah terkait obat). Plan adalah rekomendasi yang diberikan berdasarkan assessment yang dilakukan. Apoteker juga harus memantau hasil rekomendasi dengan mengamati kondisi klinis pasien baik yang terkait dengan efektivitas terapi maupun efek samping obat. Contoh: efektivitas antibiotika dapat dinilai dari perbaikan tanda-tanda infeksi setelah 48-72 jam, misalnya: demam menurun (36,5-37oC), jumlah leukosit mendekati nilai normal (5000-10.000x109/L); sedangkan efek samping antibiotika, misalnya: diare, mual.

     Visite tim

     Memperkenalkan diri kepada pasien dan/atau tim
Pada kegiatan visite bersama dengan tenaga kesehatan lain, perkenalan anggota tim kepada pasien dan keluarganya dilakukan oleh ketua tim visite.

     Mengikuti          dengan    seksama    presentasi    kasus    yang disampaikan

Pada saat mengunjungi pasien, dokter yang merawat akan memaparkan perkembangan kondisi klinis pasien berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan wawancara dengan

pasien; hal ini dapat dimanfaatkan apoteker untuk memperbarui data pasien yang telah diperoleh sebelumnya  atau  mengkaji  ulang permasalahan baru yang timbul karena perubahan terapi. Apoteker harus berpartisipasi aktif dalam menggali latar belakang permasalahan terkait penggunaan obat. Contoh: keluhan pasien berupa sulit buang air besar dapat disebabkan oleh imobilitas atau efek samping obat, misalnya codein.

             Memberikan rekomendasi berbasis bukti berkaitan dengan masalah terkait penggunaan obat

Sebelum memberikan rekomendasi, apoteker berdiskusi dengan anggota tim secara aktif untuk saling mengklarifikasi, mengkonfirmasi, dan melengkapi informasi penggunaan obat, Pada visite tim, rekomendasi lebih ditujukan kepada dokter yang merawat dengan tujuan untuk meningkatkan hasil terapi, khususnya dalam pemilihan terapi obat, misalnya pemilihan jenis dan rejimen antibiotika untuk terapi demam tifoid, waktu penggantian antibiotika injeksi menjadi antibiotika oral, lama penggunaan antibiotika sesuai pedoman terapi yang berlaku.
Rekomendasi yang diberikan harus berdasarkan informasi dari pasien, pengalaman klinis (kepakaran) dokter dan bukti terbaik yang dapat diperoleh. Rekomendasi tersebut merupakan kesepakatan penggunaan obat yang terbaik agar diperoleh hasil terapi yang optimal. Pemberian rekomendasi kepada dokter yang merawat dikomunikasikan secara efektif, misalnya: saran tertentu yang bersifat sensitif (dapat menimbulkan kesalahpahaman) diberikan secara pribadi (tidak di depan pasien/perawat).

             Melakukan pemantauan implementasi rekomendasi

Setelah rekomendasi disetujui dokter yang merawat untuk diimplementasikan, apoteker harus memantau pelaksanaan rekomendasi perubahan terapi pada rekam medik dan catatan pemberian obat. Jika rekomendasi belum dilaksanakan maka

apoteker harus menelusuri penyebabnya dan mengupayakan penyelesaian masalah. Contoh: jika saran untuk mengganti antibiotika injeksi menjadi antibiotika oral setelah 2 hari suhu tubuh pasien normal tidak dilaksanakan (dapat diketahui dari rekam medik/catatan pemberian obat) maka apoteker harus menelusuri penyebabnya. Contoh penyebabnya: dokter belum memberikan instruksi, obat tidak tersedia, perawat belum memberikan. Apoteker dapat mengingatkan dokter tentang penggantian bentuk sediaan antibiotika.

     Melakukan pemantauan efektivitas dan keamanan terkait penggunaan obat

Pemantauan efektivitas dan keamanan penggunaan obat berupa keluhan pasien, manifestasi klinis, dan hasil pemeriksaan penunjang; dapat dilakukan dengan menggunakan metode SOAP. Contoh: pemberian insulin harus dipantau secara ketat untuk penyesuaian dosis (target kadar glukosa darah tercapai) dan menghindari terjadinya hipoglikemia; pada penggunaan Kaptopril, apoteker memperhatikan penurunan tekanan darah pasien sebagai indikator efektivitas terapi dan menanyakan keluhan batuk kering sebagai indikator ROTD.

     Dokumentasi praktik visite

Pendokumentasian merupakan hal yang harus dilakukan dalam setiap kegiatan pelayanan farmasi. Pendokumentasian adalah kegiatan merekam praktik visite yang meliputi: informasi penggunaan obat, perubahan terapi, catatan kajian penggunaan obat (masalah terkait penggunaan obat, rekomendasi, hasil diskusi dengan dokter yang merawat, implementasi, hasil terapi).
Tujuan pendokumentasian kegiatan visite pasien adalah:
a.         Menjamin akuntabilitas dan kredibilitas
b.         Bahan evaluasi dan perbaikan mutu kegiatan
c.         Bahan pendidikan dan penelitian kegiatan

Pendokumentasian dilakukan pada lembar kerja  praktik visite dan lembar kajian penggunaan obat (lihat contoh pada lampiran). Penyimpanan dokumentasi kegiatan visite dapat disusun berdasarkan nama pasien dan tanggal lahir, serta nomor rekam medik agar mudah ditelusuri kembali. Hal yang harus diperhatikan oleh apoteker adalah bahwa dokumen bersifat rahasia, oleh karena itu harus dikelola dengan baik sehingga terjaga kerahasiaannya.



BAB 5

EVALUASI PRAKTIK VISITE

Evaluasi merupakan proses penjaminan kualitas pelayanan dalam hal ini praktik visite apoteker ruang rawat berdasarkan indikator yang ditetapkan. Indikator dapat dikembangkan sesuai dengan program mutu rumah sakit masing-masing.
Secara garis besar evaluasi dapat dilakukan pada tahap input, proses maupun output. Lingkup materi evaluasi terhadap kinerja apoteker antara lain dalam hal:
1.         Pengkajian rencana pengobatan pasien
2.         Pengkajian dokumentasi pemberian obat
3.         Frekuensi diskusi masalah klinis terkait pasien termasuk rencana apoteker untuk mengatasi masalah tersebut
4.         Rekomendasi apoteker dalam perubahan rejimen obat (clinical pharmacy intervention)

Materi lingkup di atas dapat dibuat dalam bentuk indikator kinerja seperti contoh di bawah ini :

Indikator Kunci Kinerja visite apoteker (key performance indicator)

















 




BAB 6 PENUTUP


Pelayanan kefarmasian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pelayanan pasien. Visite adalah salah satu fungsi klinik apoteker dalam pelayanan kefarmasian untuk memantau efek terapi dan efek samping obat, menilai kemajuan kondisi pasien bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya.
Adanya pedoman visite bagi apoteker di fasilitas pelayanan kesehatan  diharapkan  dapat  menjadi  acuan  dan   referensi   bagi apoteker dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) secara menyeluruh. Kegiatan visite yang dilakukan secara benar akan meningkatkan peran dan citra tenaga farmasi di masyarakat luas dan dapat meningkatkan derajat kesehatan.